Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Cara jitu dan ramah lingkungan membasmi hama tikus: 'Burung hantu' jadi 'penjaga' sawah

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Burung hantu, Tyto alba Getty Images
Burung Serak Jawa (Tyto alba) lebih dikenal umum sebagai "burung hantu".

Puluhan tahun menghadapi gagal panen akibat hama tikus, petani di Demak, Jawa Tengah, memanfaatkan burung hantu sebagai predator alami untuk memangsa tikus sawah. Jurus jitu tersebut berhasil mengembalikan hasil panen mereka sehingga banyak daerah bahkan negara lain kemudian meniru inisiatif ini.

Burung Serak Jawa (Tyto alba) yang lebih dikenal umum sebagai "burung hantu" dipandang sebagai simbol spiritual sekaligus pertanda nasib buruk dalam budaya Jawa. Meskipun burung hantu sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan intuisi, kebiasaan nokturnal dan suaranya yang menakutkan bagi sebagian orang menyebabkan takhayul dan ketakutan.

Baca juga:

Mitos menyeramkan tentang burung yang di Inggris disebut sebagai Barn–owl ini perlahan terbantahkan di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Burung hantu menjelma menjadi pahlawan bagi 3.000 jiwa yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

Warga desa berinisiatif memanfaatkan burung hantu yang hidup di alam liar sebagai “penjaga” area sawah dari serangan hama tikus. Mereka hanya perlu menyediakan rumah burung hantu—tempat bersarang dan berkembang biak—yang berdiri di atas area sawah.

Terobosan efisien dan ramah lingkungan ini kini diadopsi oleh sejumlah daerah untuk mengatasi keresahan petani terhadap serbuan hama tikus yang menggerogoti padi dan jagung siap panen.

‘Palawija, padi habis dimakan tikus’

Baca juga:

Soetedjo adalah sosok yang mencetuskan ide pemanfaatan burung hantu untuk mengatasi hama tikus di desanya sekitar 24 tahun lalu.

“Ketika itu serangan tikus pada pertanian baik padi maupun palawija itu di atas 60 persen sehingga harapan petani untuk menikmati hasil panennya sangat minim," kata pria berusia 64 tahun itu kepada wartawan Nugroho yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (30/08).

“Palawija, padi habis dimakan tikus,” imbuhnya.

Tercatat ada sekitar 225 hektare area sawah di Desa Tlogoweru—sebagian besar ditanami padi, jagung dan palawija—yang terpuruk akibat serangan tikus kala itu.

Segala upaya telah dilakukan para petani dan perangkat desa untuk menghalau hama tikus di sawah, mulai dari gropyokan—istilah setempat untuk perburuan, pemasangan perangkap dan umpan racun, hingga jebakan listrik.

"Dari berbagai teknis gagal,” aku Soetedjo, seraya menambahkan bahwa satu pasang tikus jantan dan betina bisa mereproduksi sekitar 2.000 ekor dalam setahun.

“Bayangkan berpasang-pasang tikus itu kalau dibiarkan tidak diberantas," cetusnya.

Salah satu petani Tlogoweru, Pujo Arto, mengaku hampir putus asa kala itu. Berbagai cara yang dilakukan untuk mengendalikan hama tikus pun masih saja membuat para petani tekor.

Bahkan, perburuan ekstrem pun diterapkan. Satu keluarga yang tak punya sawah dikenakan setor 10 buntut tikus, sementara para petani yang memiliki sawah satu bahu diwajibkan setor 100 buntut tikus dan kelipatannya.

Bahu atau bau—dari bouw, kata bahasa Belanda berarti garapan—adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Satu bahu disamakan dengan 7.000-7.400 meter persegi.

“Upaya itu memang bisa mengurangi tikus dan terkumpul 27.000 buntut tikus. Upaya itu terus menerus setiap menjelang tanam padi atau setahun dua kali. Namun serangan tikus tidak reda dan selalu bermunculan," terang Pujo.

Burung hantu, ular, anjing, kucing, dan musang adalah pemangsa tikus dalam rantai makanan Getty Images
Burung hantu, ular, anjing, kucing, dan musang adalah pemangsa tikus dalam rantai makanan

Burung hantu, predator alami tikus di rantai makanan

Frustrasi dengan serangan tikus di sawah, Soetedjo yang kala itu menjabat sebagai kepala desa mulai putar otak mencari tahu sejumlah predator alami tikus dalam siklus rantai makanan.

“Saya mikir supaya tikus habis, siapa yang makan. Kami buka literatur-literatur itu ada pemangsa tikus, ular, anjing, kucing, musang dan burung hantu," ungkap pria kelahiran 9 April 1960 itu.

Dia kemudian memilih memanfaatkan burung hantu karena dinilai bersahabat dengan ekosistem desa dan mudah ditemukan di alam liar.

Selama enam bulan, tim Tyto alba yang dibentuk Soetedjo dan kelompok tani Desa Tlogoweru mempelajari seluk beluk burung nokturnal tersebut—termasuk habitat dan karakter satwa itu.

“Kita pelajari hidupnya, tempatnya, keluarnya malam hari dan pulangnya jam berapa. Betulkah itu makan tikus? Makanya kita punya karantina dan laboratorium untuk memastikan," ujarnya.

“Karantina” yang disebut lulusan sarjana sosial di Universitas Sultan Fatah ini adalah bangunan dengan panjang 10 meter dan lebar 6 meter setinggi 5 meter.

Delapan burung hantu yang berhasil dikumpulkan warga di alam liar kemudian dimasukkan dalam “karantina” yang sebagian berkonstruksi jaring besi itu. Di dalamnya, telah diisi 200 ekor tikus.

“Ternyata dalam semalam habis dibunuh semua oleh Tyto alba hingga kita yakin Tyto alba pemangsa, predator dan pemakan tikus," ungkap Soetedjo.

Optimistis dengan cara ini, dia dan kelompok tani menciptakan belasan rumah burung hantu (rubuha), bangunan serupa pagupon—rumah burung merpati, yang melekat di tiang setinggi 4-5 meter di atas area sawah.

Alih-alih menyebut pemanfaatan burung hantu ini sebagai “pengembangbiakan”, Soetedjo menganggap apa yang dilakukan kelompok tani itu sebagai “pengembangan”.

“Artinya [burung hantu] yang [ada] di alam difasilitasi tim kami, dibuatkan rubuha, karena burung hantu tak bisa membuat sarang sendiri,” kata Soetedjo, seraya menambahkan bahwa burung hantu kerap menjadikan gedung sekolah, masjid, atau gereja sebagai tempat bernaung mereka.

Baca juga:

“Secara otomatis rubuha bakal ditempati karena butuh tempat ketika akan reproduksi. Jadi kalau bertelur butuh tempat, tapi di luar itu dia berada di alam lingkungan, di pohon-pohon,” jelasnya kemudian.

Saat ini di Desa Tlogoweru sudah berdiri 125 unit rubuha di atas 225 hektar area persawahan.

Pujo Arto—yang juga menjabat sebagai ketua tim Tyto alba di desa tersebut—menyebut semula rubuha dibangun secara sederhana dengan bahan papan kayu dan tiang bambu. Namun itu tak bertahan lama sehingga timnya membangun rubuha dengan beton.

Idealnya, kata Pujo, tiap 2 hektare sawah idealnya ada satu rubuha berisi empat Tyto alba. Dalam sehari, burung tersebut bisa memangsa 20 ekor dan makan empat ekor tikus.

“Terbukti bahwa sejak kita mulai 2010, berangsur-angsur kerusakan sawah yang ditimbulkan akibat tikus menurun. Panen mulai membaik 100 persen tanpa serangan tikus sampai sekarang. Panen tanpa dimakan tikus," jelas Pujo.

Lambat laun, keberadaan burung hantu sebagai “sang penjaga sawah” membawa perubahan signifikan bagi sektor pertanian di sana.

Para petani Desa Tlogoweru kini semringah dengan hasil panen yang melimpah tanpa kerusakan tanaman imbas serangan hama tikus. Roda perekonomian pun meningkat hingga para petani bisa terus menyambung hidup serta menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Sejak pemanfaatan Tyto alba sebagai predator tikus sawah di Desa Tlogoweru, petani mampu memanen 7 ton padi per hektar dan 9 ton jagung per hektare.

Sanipan, petani di Desa Tlogoweru mengeklaim burung hantu berkontribusi besar pada hasil panen sawahnya seluas 2.000 meter persegi.

“Penanganan tikus lebih efektif dengan burung hantu, persawahan ada yang jaga juga. Panennya bagus, hampir 99 persen panen, dulu 60 persen,” kata Sanipan.

Berkat Tyto alba, kata pria berusia 62 tahun itu, para petani bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga SMA, bahkan lulus sarjana.

Tyto alba itu pahlawan, melindungi kami begitu juga sebaliknya,” kata dia.

Petani lainnya di desa tersebut, Mulyadi, mengaku kini tak lagi resah dengan hama tikus yang dulu mengganggu sawah miliknya seluas 3.000 meter persegi.

“Dari remaja bertani selalu gagal panen dibabat habis tikus, sekarang panen 99 persen sejak ada Tyto alba.

Mitos terbantahkan dan jadi sorotan

Meskipun Tyto alba bermanfaat sebagai pengendali hama di sawah, pada awalnya mitos buruk tentang burung hantu masih ada di antara penduduk desa.

Untuk melindungi burung hantu ini dan mempromosikan penggunaannya, desa menerapkan peraturan dan menggencarkan sosialisasi kesadaran publik.

Isi peraturan tersebut, kata Soetjedjo, adalah larangan membunuh, menembak, dan mengganggu burung hantu dengan sanksi denda senilai Rp600.000 per ekor.

“Tapi intinya lebih persuasif,” kata Soetedjo.

“Mitos bahwa burung hantu saat bersuara tak lama kemudian akan ada seseorang yang akan dipanggil Allah atau meninggal dunia, dan sekarang mitos itu tak terbukti. Saat Tyto alba berbunyi tak ada yang meninggal. Akhirnya mitos hilang," sambung Soetedjo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Simbiosis mutualisme antara serak Jawa dengan sekitar 900 keluarga di Desa Tlogoweru pun berlangsung dinamis.

Kini, Tyto Alba bisa leluasa bereproduksi di habitatnya tanpa terusik konflik dengan manusia, pun demikian para petani sejahtera dengan hasil panen yang tak tersentuh serangan ganas tikus.

Di lain sisi, burung nokturnal itu tercukupi pakannya, sementara para petani bisa tidur nyenyak tanpa harus bersusah payah membasmi hama tikus di areal persawahan.

Kesuksesan Desa Tlogoweru memanfaatkan Tyto alba untuk basmi serangan hama tikus menjadi sorotan. Sejumlah peneliti dan kepala daerah lain mulai berdatangan untuk belajar inovasi.

Berdasarkan data tim Tyto alba Desa Tlogoweru sejumlah daerah di Indonesia turut mengadopsi pemanfaatan Tyto alba sebagai predator alami tikus di area persawahan.

Di antaranya di Jateng yakni Kudus, Pati, Rembang, Blora, Grobogan, Kabupaten/Kota Semarang , Kendal, Batang, Pekalongan, Tegal, Pemalang, Brebes, Kebumen, Purworejo, Cilacap, Purbalingga, Boyolali, Salatiga, Sragen, Karanganyar, Klaten, Wonogiri dan Sukoharjo. Kemudian sejumlah Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jabar, Jatim, Bali, Sumatera, Nias, Kalimantan dan Sulawesi.

Baca juga:

Inovasi Soetedjo memanfaatkan Tyto Alba untuk membasmi hama tikus sawah bahkan membuat penasaran negara lain.

Pada 2012, Soetedjo diundang ke Singapura, 2013 diterbangkan ke Jepang, 2014 pemaparan ke Hongkong dan China hingga dua tahun berikutnya Soetedjo diundang ke Bangkok, Thailand.

“Jadi mengapa burung hantu kok bisa dikendalikan untuk mengatasi hama, teknisnya bagaimana, ternyata di sana saat itu belum ada,” kata dia.

"Bahkan pelajar, mahasiswa dan pengusaha dari luar negeri juga datang ke Desa Tlogoweru, mulai dari Jepang, Singapura, Australia, Kanada, Belgia, India, Hongkong, Bangkok dan Belanda," imbuh Soetedjo.

Menurut Soetedjo, sejatinya pemanfaatan Tyto alba sebagai predator alami tikus bisa diterapkan di daerah mana pun yang memang merupakan habitat asli Tyto alba. Soetedjo berharap semua daerah yang diresahkan dengan hama tikus bisa ikut belajar mengadopsinya.

Dulu burung hantu jadi penjaga kebun sawit

Burung hantu termasuk dalam kelompok Strigiformes yang terbagi dalam dua famili, yakni Tytonidae dan Strigidae. Perbedaan khas dari Tytonidae adalah memiliki wajah berbentuk hati sementara Strigidae berwajah bulat.

Hewan nokturnal ini merupakan karnivora yang gemar menyantap ular, tupai, ikan, katak, kelinci, burung, dan mamalian kecil lainnya.

Menurut Owl Research Institute, terdapat 250 jenis burung hantu yang tersebar di dunia. Sementara di Indonesia, diperkirakan terdapat 54 jenis burung hantu dan beberapa di antaranya berstatus endemik.

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, Dosen dan Peneliti Laboratorium Vertebrata Hama Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan, jenis Tyto alba kali pertama dideskripsikan oleh Giovani Scopoli pada 1769.

Nama penunjuk spesies "alba" mengacu pada warna bulunya yang putih (Lewis, 2020).

Dalam Bahasa Inggris disebut Barn–owl dan di Indonesia lebih dikenal dengan nama Serak Jawa.

Tyto alba, burung hantu, serak jawa Getty Images
Dalam Bahasa Inggris Tyto alba disebut Barn–owl dan di Indonesia lebih dikenal dengan nama Serak Jawa.

Serak Jawa memiliki ciri morfologi yang berukuran besar, 32-40 sentimeter dengan warna bulu putih, coklat muda pada bagian sayap dan puncak kepala.

Wajah berbentuk hati, kaki jenjang dengan cakar, serta paruh berwarna putih kekuningan yang membengkok ke bawah. Penyebarannya hampir di seluruh benua kecuali Antartika dan di Eropa juga ditemukan spesies Tyto alba dengan berbagai ragam sub spesies.

Swastiko Priyambodo, dosen dan peneliti Laboratorium Vertebrata Hama Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) mengungkapkan dari jamaknya jenis burung hantu yang tersebar di Indonesia, hanya Tyto alba yang tercatat berkontribusi besar bagi pengendalian hama tikus di sektor pertanian dan perkebunan.

Swastiko menjelaskan Tyto alba awalnya sukses dikembangkan di kebun sawit untuk mengendalikan tikus pohon (Rattus tiomanicus) sejak tahun 1980-an.

Kini burung hantu ini banyak dimanfaatkan untuk mengendalikan tikus sawah (Rattus argentiventer) di sawah.

“Dan alhamdulillah memberikan prospek yang sangat baik. Awalnya mungkin dikembangkan di Demak, tapi sekarang sudah banyak kabupaten di Jawa yang mengembangkan Tyto alba," terang Swastiko yang meneliti Tyto alba di Kabupaten Subang dan Kabupaten Karawang.

Swastiko mengungkapkan kelebihan dari pengendalian hayati (biological control) dengan Tyto alba yakni bersifat kontinu, karena musuh alami tikus yang sudah mapan di tempat tersebut dan akan terus menerus menekan populasi tikus dan mempertahankannya di bawah batas toleransi (ambang kendali).

Selain itu, pemanfaatan burung hantu sebagai predator alami tikus aman terhadap lingkungan, karena tidak ada bahan kimia yang berpengaruh buruk serta biaya pengelolaan yang relatif murah karena dapat berjalan dengan sendirinya, kecuali jika diperlukan monitoring terhadap populasi predatornya.

"Burung hantu lain masih banyak tapi peran ekologis di pertanian/perkebunan masih kurang. Mengapa Tyto alba? Karena penyebaran di muka bumi paling luas, memiliki kekhususan memangsa tinggi yaitu tikus, mudah dikembangbiakkan di habitat sekitar manusia dan kemampuan berburu tikus yang bagus,” ungkap Swastiko.

“Sehari seekor Tyto alba bisa makan tiga tikus dan membunuh tujuh tikus.”

burung hantu, tyto alba Getty Images
Burung hantu tak dapat membuat sarangnya sendiri, kerap kali mereka mendiami lubang pohon, gua dan bangunan

Burung hantu, kata Swastiko, dikenal tidak mampu menciptakan sarangnya sendiri—sering ditemukan bersarang pada lubang pohon, gua dan bangunan.

"Di kebun sawit, Tyto alba memanfaatkan bangunan bangunan tua di kebun peninggalan Belanda untuk dijadikan sarang dan bahkan ditemukan Tyto alba beranak pinak di atas sebuah rumah," kata Swastiko.

Dia menyebut penyediaan rubuha yang memadai dan berlokasi nyaman (jauh dari lampu) secara otomatis akan ditempati Tyto alba. Hewan itu akan melakukan semua aktivitas—termasuk reproduksi—di rubuha dan akan menetap lama di sana selama tidak ada gangguan dan mangsa selalu tersedia.

Di kebun sawit, sepasang Tyto alba yang mendiami satu rubuha bisa menjangkau area seluas 25 hektare. Sementara di sawah sangat bergantung pada tingkat populasi tikus sawah karena sawah tidak melulu ditanami.

Dijelaskan Swastiko, populasi tikus akan sangat banyak saat fase generatif padi dan akan menurun setelah panen.

Baca juga:

Pada saat populasi tikus sebagai mangsa Tyto alba menurun setelah masa panen padi, Tyto alba berusaha bertahan hidup dengan memangsa satwa liar lain seperti ular, kadal, katak dan sebagainya walaupun tikus tetap menjadi mangsa utama.

Hasil penelitian mahasiswa IPB di Sumsel, kata Swastiko, Tyto alba menjadi musuh peternak burung walet karena mangganggu burung walet.

“Tyto alba juga dikhawatirkan memangsa ternak unggas seperti ayam atau bebek, tapi petani padi tidak pernah melihat Tyto alba memangsa unggasnya," cetusnya.

Lebih jauh, Swastiko menjelaskan bahwa hama tikus diperkirakan sejak lama menjadi ancaman area persawahan dan perkebunan di Indonesia.

Bahkan, menurutnya, tikus sawah menjadi hama tanaman padi sejak peradaban nenek moyang, seperti terdokumentasikan dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah yang dibangun pada abad ke-9.

“Sampai sekarang tikus sawah menjadi hama utama padi, ditambah penggerek batang dan wereng cokelat," kata Swastiko.

Pengendalian tikus sawah secara terpadu telah dikembangkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan tahun 1980. Namun karena penerapannya yang kurang maksimal, sering kali terjadi ledakan hama tikus yang membuat petani gagal panen (puso).

Pemanfaatan Tyto alba sebagai predator alami dinilai Swastiko efektif menurunkan serangan hama tikus.

Swastiko berharap setiap kelompok tani padi memanfaatkan Tyto alba untuk membasmi hama tikus di area persawahan. Selain ramah lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia, inovasi pemanfaatan Tyto alba untuk membasmi hama tikus terhitung sukses dan efisien.

Tyto alba dapat bekerja dengan sendirinya, dan hanya perlu disediakan rubuha di awal pengembangannya. Untuk racun tikus, gropyokan, dan emposan, harus ada usaha manusia yang terus menerus untuk mengendalikan tikus sawah," tutur Swastiko.

"Harapannya lebih banyak kelompok tani padi yang memanfaatkan Tyto alba sebagai musuh alami tikus sawah karena dapat mengurangi penggunaan racun tikus.”

Reportase oleh Nugroho, wartawan di Demak, Jawa Tengah.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada