Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Laporan Human Rights Watch: Diskriminasi dan pelanggaran rasialis terhadap orang Papua 'lebih banyak dan sangat kelihatan' di rezim Jokowi

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Aktivis Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora. Ia dan puluhan orang berunjuk rasa untuk menentang rasisme terhadap orang Papua di depan istana presiden di Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2019. Getty Images
Aktivis Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora. Ia dan puluhan orang berunjuk rasa untuk menentang rasisme terhadap orang Papua di depan istana presiden di Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2019.

Laporan terbaru organisasi Human Rights Watch menyebutkan diskriminasi dan penangkapan yang terjadi pada orang asli Papua selama pemerintahan Joko Widodo "sangat kelihatan dan jumlah lebih banyak" dibandingkan dengan era presiden sebelumnya.

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan praktik itu nampak ketika aparat menahan setidaknya 400 orang berkaitan dengan demonstrasi yang berakhir rusuh di Kota Jayapura, Papua, pada akhir Agustus 2019--yang merupakan buntut dari peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.

Baca juga:

Tindakan diskriminasi dan penangkapan tersebut, katanya, tak lepas dari apa yang disebutnya persoalan rasisme yang dilanggengkan melalui kebijakan-kebijakan Jokowi terhadap Papua.

Itu mengapa, menurut Andreas Harsono, presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming disarankan untuk melihat persoalan ini dengan benar.

Langkah pertama yang bisa diambil Prabowo, menurut HRW, antara lain dimulai dari membebaskan semua tahanan politik Papua dan memberikan kompensasi atas kerugian yang mereka alami.

Baca juga:

Hingga laporan ini diterbitkan, pihak Presiden Jokowi maupun Prabowo Subianto belum memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diberikan BBC News Indonesia.

Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengatakan dirinya adalah presiden yang paling banyak mengunjungi Papua dan Papua mendapat perhatian tinggi selama kepemimpinannya.

Apa isi laporan Human Rights Watch?

Laporan HRW setebal 86 halaman ini memuat kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang masih berlangsung di Papua yang berakar pada diskriminasi rasial, kata peneliti Andreas Harsono.

Mulai dari banyaknya anak Papua tak memperoleh akses pendidikan yang memadai karena pemerintah Indonesia gagal merekrut guru bekerja di sana, tingginya angka kematian ibu dan bayi, hingga sulitnya mahasiswa Papua mencari tempat tinggal kala menempuh pendidikan di universitas di luar Papua.

Termasuk tindakan-tindakan kekerasan terhadap orang Papua oleh aparat.

"Dan semua itu tak lepas dari soal rasialisme terkait tanah, hutan, dan lain-lain. Hampir 99% lebih penangkapan orang Papua berkaitan dengan rasialisme," ujar Andreas kepada BBC News Indonesia.

Mahasiswa Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di Jakarta, Indonesia, pada 28 Agustus 2019. Mereka menuntut kasus pelecehan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Getty Images
Mahasiswa Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di Jakarta, Indonesia, pada 28 Agustus 2019. Mereka menuntut kasus pelecehan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.

Dalam laporan tersebut diuraikan bahwa akar rasialisme di Papua tak bisa dilepaskan dari sejarah integrasi ke Indonesia pada 1969 yang dianggap tidak sah hingga saat ini oleh sejumlah aktivis Papua.

Pasalnya proses integrasi itu mengabaikan prinsip "satu orang, satu suara".

Selama enam dekade sejak bergabung dengan Indonesia, suara-suara yang menuntut adanya referendum atau penentuan nasib sendiri pun terus menggema secara luas dan memicu banyak aksi protes.

Salah satu kasus besar yang dipicu oleh tindakan rasial, menurut HRW, adalah peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, pada 16 dan 17 Agustus 2019.

Kejadian itu bermula dari tuduhan perusakan tiang bendera yang terletak di depan asrama.

Baca juga:

Pihak aparat menuding mahasiswa Papua sebagai pelakunya. Tapi perwakilan mahasiswa Papua menyanggah. Mereka mengaku tidak tahu menahu soal tiang bendera yang jatuh ke dalam selokan.

Tak berselang lama, massa yang terdiri dari orang-orang berseragam tentara, satpol PP, dan polisi menyerbu asrama. Bersamaan dengan itu, sejumlah kata-kata rasial berupa nama-nama binatang terlontar ke arah mahasiswa Papua.

Esok siangnya, polisi yang mengepung bangunan itu lantas menembakkan gas air mata ke arah asrama. Kemudian aparat mendobrak gerbang dengan menenteng senjata laras panjang.

Polisi menggiring 43 orang dari kelompok mahasiswa Papua ke dalam truk dan memboyong mereka ke markas Polda Jawa Timur.

Di media sosial, tindakan aparat itu memicu gerakan Papuan Lives Matter -yang terinspirasi dari seruan serupa di Amerika Serikat yang juga dipicu oleh insiden brutal polisi terhadap seorang warga kulit hitam.

"Serangan itu memicu kembali kembali diskusi tentang diskriminasi rasial anti-Papua. Mahasiswa Papua di sejumlah wilayah ikut serta dalam gelobang protes yang pecah di beberapa wilayah," sebut laporan HRW yang diterima BBC News Indonesia.

Salah satu mahasiwa Papua yang ikut dalam aksi unjur rasa di Jayapura adalah Alfa Hisage. Ia kemudian termasuk di antara 400 orang yang ditahan dan dikenakan pasal 160 KUHP tentang penghasutan.

Alfa Hisage: Kepala saya dipukuli seperti bola

Ketika video-video dan pemberitaan tentang pengepungan dan penyerangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya viral di media sosial, mahasiswa di Papua katanya juga merasakan kemarahan.

"Kami juga manusia, punya perasaan," katanya kepada BBC News Indonesia.

"Kalau disamakan dengan monyet, sama saja kami tidak punya harkat dan martabat," sambungnya.

Aktivis Papua menggelar unjuk rasa di Surabaya pada 1 Desember 2020, untuk memperingati ulang tahun Organisasi Papua Merdeka. Getty Images
Aktivis Papua menggelar unjuk rasa di Surabaya pada 1 Desember 2020, untuk memperingati ulang tahun Organisasi Papua Merdeka.

Beberapa hari setelah insiden di Surabaya, Alfa Hisage dan sejumlah mahasiwa berencana menggelar aksi unjuk rasa. Tujuannya menuntut negara menindak para pelaku rasisme dan ujaran kebencian.

Aksi demonstrasi itu rencananya digelar pada 29 Agustus dari Setani, Abepura, Wamena sampai menuju ke kantor gubernur di Jayapura.

"Mulanya kami tidak diperbolehkan melakukan aksi itu, tapi akhirnya kami negosiasi ulang dan akhirnya diizinkan."

Alfa Hisage bertutur, unjuk rasa tersebut rupanya diikuti secara spontan oleh warga. Massa, klaimnya, meluapkan kemarahannya dengan melempari toko-toko serta kendaraan.

Belakangan demontrasi ini berakhir jadi kerusuhan.

Kantor-kantor pemda dibakar, bangunan sekolah, bank, bahkan kantor kejaksaan jadi sasaran pengerusakan.

"Kami sudah berusaha mengendalikan [massa], tapi tidak memungkinkan. Pada akhirnya kami jalan terus sampai ke kantor gubernur dan bermalam di sana karena polisi melakukan sweeping [razia]. Jadi susah untuk pulang."

Mahasiswa Papua menggelar aksi unjuk rasa di titik nol kilometer di Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2019. Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan dan memberikan solusi atas diskriminasi rasial warga Papua. Getty Images
Mahasiswa Papua menggelar aksi unjuk rasa di titik nol kilometer di Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2019. Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan dan memberikan solusi atas diskriminasi rasial warga Papua.

Keesokan harinya, Alfa Hisage bersama pamannya hendak pulang dengan taksi. Tapi di pertengahan jalan, ia diberhentikan oleh polisi dan tentara yang sedang razia.

Karena identitasnya sebagai koodinator lapangan aksi demontrasi sudah diketahui polisi, katanya, maka ia berpikir bakal jadi incaran aparat.

Benar saja polisi langsung memukulnya dengan popor senjata di dekat bokong dan terjatuh di aspal.

"Polisi lalu injak kepala dan badan saya... ditendang pakai sepatu. Tindakan mereka sangat brutal terhadap saya."

Di pos polisi kecil Dok 5, sambungnya, polisi kembali memukulinya dan memboyongnya ke markas Polda Jayapura.

Baca juga:

Di sana, dia mengeklaim dirinya kembali disiksa.

"Saya seperti bola, ibarat kepala ditendang dari kaki ke kaki. Kepala bocor dan badan saya penuh darah."

Penyiksaan itu kira-kira berlangsung selama lima menit seingatnya. Rambut gimbalnya juga dipotong paksa dengan sangkur.

"Penangkapan saya ini tidak sesuai prosedur, harusnya ada surat penangkapan baru dibawa."

"Surat penangkapan baru diberikan setelah 1x24 jam saat saya ditahan di polda, tanggal 31 Agustus."

Tak cuma siksaan fisik yang dialami Alfa Hisage, aparat katanya juga melontarkan kata-kata binatang padanya.

Oleh polisi dia dikenalan pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Namun oleh majelis hakim dia akhirnya dibebaskan demi hukum karena disebut tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan.

Kapolri kala itu, Tito Karnavian, mengatakan polisi menahan setidaknya 400 orang berkaitan dengan demonstrasi yang berakhir rusuh di Kota Jayapura.

Ia bilang, dari jumlah tersebut, polisi telah menyeleksi mereka yang ditetapkan sebagai tersangka dan yang sebatas dimintai keterangan.

Diskriminasi, rasialisme, dan penangkapan di era Jokowi meningkat, kata HRW

Peneliti HRW, Andreas Harsono dan peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas menyatakan bahwa perlakuan rasisme yang berujung pada tindakan diskriminasi dan pelanggaran terhadap orang Papua "sangat kelihatan dan jumlahnya sangat banyak" di era Jokowi.

Meskipun, sambungnya, rasisme terhadap orang Papua sudah terjadi sejak lama, namun yang membuat situasinya terus memburuk adalah Jokowi lebih banyak melakukan pendekatan keamanan ke Papua, memangkas kebebasan berekspresi, dan melakukan ekspolitasi sumber daya alam secara besar-besaran.

"Rasisme lebih banyak di zaman Jokowi karena dia lebih banyak melakukan persekusi terhadap orang Papua dan tidak menggunakan pendekatan dialog untuk penyelesaian konflik," ujar Cahyo Pamungkas.

Aktivis Papua menggelar unjuk rasa di Surabaya pada 1 Desember 2020, untuk memperingati ulang tahun Organisasi Papua Merdeka. Getty Images
Aktivis Papua menggelar unjuk rasa di Surabaya pada 1 Desember 2020, untuk memperingati ulang tahun Organisasi Papua Merdeka.
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Pertanyaannya, kalau pemerintah tidak rasis terhadap orang Papua, lantas mengapa Indonesia bisa menyelesaikan masalah Aceh secara damai dan non-kekerasan? Tapi di Papua tetap mempertahankan cara kekerasan?" tanyanya.

"Apakah karena berbeda ras, etnis, atau agama?"

Jika dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Cahyo, perlakuan rasisme dalam hal politik, teknokrasi, dan industrial, sebetulnya juga terjadi.

Akan tetapi, jumlahnya lebih banyak di masa pemerintahan Jokowi dan sangat-sangat kelihatan, klaimnya.

Di era SBY, kata dia, orang Papua yang berdemonstrasi menuntut kemerdekaan atau referendum tidak sampai "direpresi secara keras," sebutnya.

"Paling dibubarkan, jadi ruang-ruang publik dibuka meski sedkit."

"Di era Jokowi, ruang itu ditutup."

Baca juga:

Selain itu yang membedakan era SBY, menurut Andreas Harsono, adalah aktivis Papua yang dijebloskan ke penjara karena sangkaan "makar" jumlahnya sedikit namun vonisnya panjang hingga belasan tahun.

Sedangkan zaman Jokowi, klaimnya, aktivis Papua yang dibui sangat banyak hanya saja hukumannya "pendek-pendek antara satu sampai tiga tahun".

Organisasi Human Rights Watch mengutip laporan Papuans Behind Bars, sebuah organisasi non-pemerintah yang memantau penangkapan bermotif politik di Papua.

Lembaga itu mencatat ada 418 kasus penangkapan sejak Oktober 2020 hingga September 2021. Di antara ratusan kasus itu, setidaknya 245 didakwa, dinyatakan bersalah, dan dipenjara karena bergabung dalam aksi protes -dengan 109 orang divonis penjara karena tuduhan "makar".

Salah satu mahasiswa Papua yang dikenakan pasal makar adalah Ariana Elopere.

Di laporan HRW diceritakan mahasiswa teologi ini bergabung dalam aksi protes pada Agustus 2019 di Jakarta.

Mahasiswa Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di Jakarta, Indonesia, pada 28 Agustus 2019. Mereka menuntut kasus pelecehan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Getty Images
Mahasiswa Papua mengecat wajahnya dengan warna bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa di Jakarta, Indonesia, pada 28 Agustus 2019. Mereka menuntut kasus pelecehan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.

Ia pun menghiasai tubuhnya dengan riasan budaya Papua, mengenakan pakaian adat, rok salis, dan menghiasi wajahnya dengan warna Bintang Fajar: merah, putih, dan biru.

Warna hitam dan cokelat juga digunakan. Sebab itu, katanya, adalah simbol bahwa mereka adalah anak-anak Papua.

Tanpa disadari, ia difoto oleh seseorang yang diduga pejabat intelijen yang mengenakan Bendera Bintang Kejora.

Ariana dipotret dengan bendera Bintang Kejora yang melilit ditubuhnya.

"Saya tidak menyadari ada yang mengambil foto saya. Tapi itu saya, itulah yang saya lakukan. Saya menyentuh Bintang Kejora, melingkarkannya di tubuh saya," katanya dalam laporan HRW.

"Ketika saya melihat Bintang Fajar, bendera kami, saya memeluknya. Itu adalah simbol gerakan kami untuk perdamaian, untuk kebebasan di Papua."

Pembangunan infrastruktur ala Jokowi berbeda dengan keinginan orang Papua

Organisasi HRW menyebut pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak untuk mengatasi persoalan rasisme yang menimpa orang Papua selama bertahun-tahun.

Justru sebaliknya, mengadopsi kebijakan yang secara sistematis mendiskriminasi orang Papua sambil mengeksploitasi sumber daya alam dari Papua.

Cahyo Pamungkas sependapat.

Ia menilai Presiden Jokowi terlalu fokus pada pembangunan fisik infrastruktur di Papua, namun abai menyentuh aspek-aspek kultural, kebudayaan, sejarah, dan sosial.

Mahasiswa Papua menggelar aksi unjuk rasa di titik nol kilometer di Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2019. Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan dan memberikan solusi atas diskriminasi rasial warga Papua. Getty Images
Mahasiswa Papua menggelar aksi unjuk rasa di titik nol kilometer di Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 31 Agustus 2019. Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan dan memberikan solusi atas diskriminasi rasial warga Papua.

Dia mencontohkan pembangunan jalan Trans Papua sepanjang sepanjang 4.600 kilometer yang disebutnya sebagai "jalan bencana" karena sama sekali tidak membebaskan orang Papua dari kemiskinan.

"Jalan itu hanya mempercepat barang-barang industri ke kampung-kampung di Papua. Tapi tidak bisa membawa hasil pertanian keluar dari kampung ke kota," ujarnya.

"Jalan itu juga merusak keanekaragaman hayati, merusak alam, mempermudah operasi militer di daerah terisolasi, dan mempercepat masuknya pendatang, serta konflik."

Orang Papua, menurutnya, lebih menginginkan pembangunan sosial dan budaya. Semisal bagaimana mendirikan sekolah adat dan kurikulum yang kontekstual dengan adat mereka.

Selain itu orang Papua membutuhkan layanan kesehatan yang memanusiakan dan menghormati kearifan lokal mereka.

"Orang Papua tidak menolak investasi, tapi jangan merapas tanah mereka," sambungnya.

Apa dampaknya jika rasialisme dibiarkan?

Cahyo Pamungkas menuturkan akar rasialisme di Papua tak lepas dari relasi kolonialistik pemerintah Indonesia.

Dan tak bisa dipungkiri, sebutnya, bahwa sebagian masyarakat masih memadang orang Papua secara berbeda hanya karena fisik mereka.

"Misal orang berkulit hitam lebih rendah dari kulit putih."

"Jadi cara kita menanggap orang Papua berbeda membuat jarak dengan mereka dan menganggap kita dan orang Papua tidak setara."

Aktivis Papua meneriakkan slogan-slogan saat protes menentang rasisme, di depan istana presiden di Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2019. Getty Images
Aktivis Papua meneriakkan slogan-slogan saat protes menentang rasisme, di depan istana presiden di Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2019.

Ia bilang jika pemerintah membiarkan perlakuan seperti ini maka dukungan warga Papua terhadap gerakan kemerdekaan akan semakin membesar.

"Ideologi Papua merdeka akan tumbuh subur."

Secara politik, sebutnya, hal ini bisa membahayakan pemerintah Indonesia. Sebab ketika dukungan terhadap gerakan Papua merdeka tak terbendung, maka akan memperburuk konflik.

Andreas Harsono juga sepemikiran.

Dia menyerukan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming untuk melihat persoalan ini dengan benar.

Langkah yang bisa diambil Prabowo menurutnya antara lain dimulai dari membebaskan semua tahanan politik Papua dan memberikan kompensasi atas kerugian yang mereka alami.

Kemudian biarkan wartawan asing masuk ke Papua tanpa skrining.

Baca juga:

Cahyo Pamungkas juga menyarankan Prabowo agar membuka dialog dengan kelompok-kelompok yang selama ini menyuarakan kemerdekaan Papua.

Dengarkan keinginan mereka dan jika pemerintah tetap ingin Papua ada dalam kesatuan wilayah Indonesia, maka ikuti apa yang memberikan mereka keadilan di Papua.

"Saya kira dengan dialog maka konflik akan menurun dan pasukan non-organik bisa ditarik perlahan-lahan."

"Kalau pun Prabowo memilih jalan kekerasan di Papua, dia akan menghadapi risiko. Selama kekuasaannya akan diganggu dengan masalah Papua."

Apa kata pemerintah?

Pada April 2024, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Theofransus Litaay mengatakan, telah terjadi pergeseran pembangunan dari Jawa ke Indonesia.

“Dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan holistik, dengan penekanan pada akselerasi kesejahteraan. Dari pembangunan Jawasentris menjadi Indonesiasentris, yang dicanangkan di Papua,” papar Theofransus Litaay saat menghadiri Rapat Kerja II Kepala Daerah se-Tanah Papua di Wamena, April 2024.

Menurutnya, perhatian Presiden Jokowi tampak pada kunjungan ke Papua sebanyak belasan kali.

“Kunjungan Presiden ke Papua setidaknya tercatat sebanyak 19 kali sejak awal menjabat, serta ratusan kali kunjungan oleh para Menteri, Deputi maupun Dirjen terkait. Karena itu pada periode kedua kepemimpinannya, presiden mendorong agar pembangunan di Papua terus diakselerasi melalui berbagai inovasi dalam praktek pembangunan,” tutur Theofransus Litaay.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada