Pada Minggu malam yang tenang di bulan November 2005, seorang jurnalis India menerima panggilan telepon di rumahnya yang terletak di negara bagian Bihar.
“Para Maois telah menyerang penjara. Orang-orang terbunuh! Saya bersembunyi di toilet,” suara pria terdengar di seberang telepon dengan napas tersengal-sengal.
Suara pria itu bergetar, sementara suara tembakan bergema di belakang.
Pria yang diketahui sebagai narapidana itu menelepon dari penjara di Jehanabad, sebuah distrik yang kala itu sedang dilanda kemiskinan dan menjadi basis ekstremisme sayap kiri.
Bangunan penjara peninggalan era kolonial yang tampak hampir runtuh dan terbuat dari batu bara merah itu dipenuhi dengan narapidana.
Sebanyak 13 barak dan selnya yang tersebar di lahan seluas satu hektare digambarkan sebagai “gelap, lembap dan kotor” dalam laporan resmi.
Semula penjara ini dirancang untuk sekitar 230 orang, namun akhirnya penjara itu menampung hingga 800 narapidana.
Pemberontakan Maois—yang dimulai di Naxalbari, sebuah dusun di negara bagian Benggala Barat pada akhir tahun 1960-an—telah menyebar ke sebagian besar wilayah India, termasuk Bihar.
Selama hampir 60 tahun, para gerilyawan—yang juga disebut Naxalite—memberontak melawan pemerintah India dan berniat mendirikan masyarakat komunis.
Pemberontakan itu telah menelan sedikitnya 40.000 korban jiwa.
Penjara Jehanabad bagaikan tong mesiu yang menampung para penganut Maoisme bersama musuh-musuh mereka—para pejuang tentara swasta dari kasta atas Hindu.
Semua menunggu pengadilan atas kejahatan yang mereka lakukan. Seperti banyak penjara di India, beberapa narapidana memiliki akses ke telepon seluler, yang diperoleh dengan menyuap para penjaga.
"Tempat itu dipenuhi pemberontak. Banyak yang pergi begitu saja," bisik narapidana—salah satu dari 659 tahanan saat itu—kepada Singh.
Pada malam 13 November 2005, sebanyak 389 tahanan—termasuk banyak pemberontak—melarikan diri dari penjara Jehanabad dalam apa yang menjadi pelarian terbesar di India—dan mungkin di Asia.
Laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2005 tentang terorisme mengatakan para pemberontak bahkan telah "menculik 30 narapidana" yang merupakan anggota kelompok anti-Maois.
Dalam sebuah kesempatan, polisi mengatakan bahwa "otak" pelarian dari penjara itu adalah Ajay Kanu, seorang pemimpin pemberontak yang berada di antara para tahanan.
Keamanan di penjara itu sangat longgar sehingga Kanu tetap dapat berhubungan dengan kelompoknya melalui telepon dan membantu mereka masuk ke penjara, kata polisi.
Kanu membantah tudingan tersebut.
Ratusan pemberontak yang menyamar dengan mengenakan seragam polisi telah menyeberangi sungai kering di belakang penjara, memanjat naik turun tembok tinggi menggunakan tangga bambu dan merangkak masuk, melepaskan tembakan dari senapan mereka.
Baca juga:
- Tiga tahanan kabur dari penjara menggunakan sendok - 'Cara melarikan diri paling cerdas sepanjang sejarah Alcatraz'
- Wajah penjara terpadat di Indonesia
- Lapas Tangerang: Mengapa tingkat hunian penjara-penjara di Indonesia selalu melebihi kapasitas?
Sel-sel itu terbuka karena makanan dimasak hingga larut malam di dapur. Para pemberontak berjalan ke gerbang utama dan membukanya. Para penjaga yang bertugas melihat dengan tak berdaya.
Para tahanan—hanya 30 orang yang melarikan diri adalah narapidana, sementara sisanya sedang menunggu persidangan—melarikan diri hanya dengan berjalan keluar dari gerbang, dan menghilang ke dalam kegelapan.
Semuanya berakhir dalam waktu kurang dari satu jam, kata para saksi mata.
Pembobolan penjara massal itu mengungkap runtuhnya hukum dan ketertiban di Bihar dan meningkatnya pemberontakan Maois di salah satu wilayah termiskin di India.
Para pemberontak telah merencanakannya dengan sempurna: keamanan sangat longgar karena pemilihan umum negara bagian yang sedang berlangsung kala itu.
Rajkumar Singh, jurnalis lokal, mengingat malam itu dengan jelas.
Setelah menerima panggilan telepon, ia mengendarai sepeda motornya melewati kota yang sepi, mencoba mencapai kantornya.
Ia ingat udara terasa pekat dengan suara tembakan di kejauhan. Para pemberontak yang menyerbu juga mencoba menyerang kantor polisi yang terletak di dekat penjara.
Saat ia berbelok ke jalan utama, lampu jalan yang redup menyingkapkan pemandangan yang mengerikan—puluhan pria dan perempuan bersenjata berseragam polisi menghalangi jalan, berteriak melalui megafon.
“Kami penganut Maoisme,” seru mereka.
“Kami tidak menentang rakyat, hanya pemerintah. Pembobolan penjara adalah bagian dari protes kami.”
Para pemberontak telah menanam bom di sepanjang jalan. Beberapa bom telah meledak, menghancurkan toko-toko di dekatnya dan menyebarkan ketakutan ke seluruh kota.
Singh mengatakan dia terus melaju dan mencapai kantornya di lantai empat. Di sana, dia menerima telepon kedua dari tahanan yang sama.
Baca juga:
- Australia tawarkan ganti rugi miliaran bagi ratusan anak Indonesia yang dijebloskan ke penjara dewasa
- Penjara Indonesia diserahkan ke swasta untuk atasi seringnya rusuh?
- Saat sipir dan narapidana tertawa bersama di penjara
“Semua orang berlarian. Apa yang harus saya lakukan?,” kata narapidana itu.
“Jika semua orang melarikan diri, Anda juga harus melarikan diri,” kata Singh.
Kemudian dia berkendara menuju penjara melalui jalan-jalan yang sepi. Ketika dia sampai, dia mendapati gerbangnya terbuka.
Puding beras berserakan di seluruh dapur, pintu selnya terbuka sedikit. Tidak ada sipir penjara atau polisi yang terlihat.
Di sebuah ruangan, dua polisi yang terluka tergeletak di lantai. Singh mengatakan dia juga melihat tubuh Bade Sharma—pemimpin pasukan pembela hukum kasta atas yang ditakuti yang disebut Ranvir Sena—dan seorang tahanan yang bersimbah darah tergeletak di lantai.
Polisi kemudian mengatakan para pemberontak telah menembak Bade Sharma.
Di lantai dan di dinding tampak pamflet tulisan tangan berlumuran darah yang ditinggalkan para pemberontak.
“Melalui aksi simbolis ini, kami ingin memperingatkan pemerintah pusat dan negara bagian bahwa jika mereka menangkap para revolusioner dan rakyat yang berjuang dan memenjarakan mereka, maka kami juga tahu cara membebaskan mereka dari penjara dengan cara revolusioner Marxis,” tulis salah satu pamflet.
Beberapa bulan yang lalu, saya bertemu Kanu, pemimpin pemberontak berusia 57 tahun yang dituduh polisi sebagai dalang pelarian dari penjara, di Patna, ibu kota Bihar.
Pada saat kejadian, laporan media melukiskannya sebagai "orang paling dicari di Bihar", sosok yang menimbulkan rasa takut sekaligus hormat dari polisi.
Para petugas menceritakan bagaimana “komandan” pemberontak langsung mengambil alih kendali saat melarikan diri dari penjara setelah ia diberi AK-47 oleh rekan-rekannya.
Dalam perubahan situasi yang dramatis, menurut laporan, ia "ahli" dalam memegang senjata, dengan cepat mengganti magasin sebelum diduga membidik dan menembak Sharma.
Lima belas bulan kemudian, pada Februari 2007, Kanu ditangkap ketika berada di peron kereta api saat ia sedang dalam perjalanan dari Dhanbad di Bihar ke kota Kolkata.
Hampir dua dekade kemudian, Kanu dibebaskan dari semua kasus, kecuali enam dari 45 kasus pidana awal yang dituduhkan kepadanya.
Sebagian besar kasus tersebut bermula dari pelarian dari penjara, termasuk kasus pembunuhan Sharma. Ia telah menjalani hukuman tujuh tahun penjara untuk salah satu kasus tersebut.
Baca juga:
- Tahanan yang meninggal tiga jam setelah masuk penjara di Rusia
- 'Perempuan dipenjara, tapi para bandit dibebaskan Taliban'
- Lindungi hak tahanan, Inggris kini miliki penjara transgender pertama
Meskipun reputasinya menakutkan, Kanu ternyata senang berbicara.
Ia berbicara dengan nada tajam dan terukur, meremehkan perannya dalam pelarian massal yang menjadi berita utama.
Sekarang, pemberontak yang dulu ditakuti ini secara halus mengalihkan pandangannya ke pertempuran yang berbeda—karier di bidang politik, yakni "berjuang untuk kasta miskin dan terbelakang".
Ketika kanak-kanak, Kanu menghabiskan siang dan malamnya mendengarkan kisah dari ayahnya yang seorang petani kasta rendah tentang pemberontakan Komunis di Rusia, Cina, dan Indonesia.
Saat kelas delapan, kawan-kawan ayahnya mendesaknya untuk terjun ke politik revolusioner.
Ia mengatakan pembangkangannya berakar sejak dini—setelah mencetak gol melawan putra tuan tanah setempat dalam sebuah pertandingan sepak bola, orang-orang bersenjata dari kasta atas menyerbu rumah mereka.
"Saya mengunci diri di dalam," kenangnya.
"Mereka mendatangi saya dan saudara perempuan saya, mengacak-acak rumah, menghancurkan segalanya. Begitulah cara kasta atas mengendalikan kami—melalui rasa takut."
Saat belajar ilmu politik di perguruan tinggi, Kanu ironisnya memimpin sayap mahasiswa Partai Bharatiya Janata (BJP)—partai berhaluan nasionalis-Hindu yang telah melancarkan perang melawan Maoisme.
Setelah lulus, ia mendirikan sebuah sekolah, tetapi dipaksa keluar oleh pemilik gedung. Setelah kembali ke desanya, ketegangan dengan tuan tanah setempat meningkat.
Ketika seorang pemimpin lokal dibunuh, nama Kanu, yang kala itu baru berusia 23 tahun, disebut dalam laporan polisi. Maka dari itu dia pun bersembunyi.
"Sejak itu saya terus menerus melarikan diri, hampir sepanjang hidup saya.”
“Saya meninggalkan rumah lebih awal untuk memobilisasi pekerja dan petani, bergabung dan bergerak di bawah tanah sebagai pemberontak Maois," katanya.
Ia bergabung dengan Partai Komunis India (Marxis-Leninis), sebuah kelompok komunis radikal.
“Profesi saya adalah pembebasan—pembebasan kaum miskin. Itu tentang melawan kekejaman kasta atas. Saya berjuang untuk mereka yang menanggung ketidakadilan dan penindasan.”
Pada Agustus 2002, dengan reputasi yang ditakuti sebagai pemimpin pemberontak dan hadiah sebesar 3 juta rupee (sekitar Rp551 juta) untuk kepalanya—sebuah insentif bagi orang-orang untuk melaporkan keberadaannya jika mereka melihatnya—Kanu sedang dalam perjalanan untuk menemui para pemimpin bawah tanah dan merencanakan strategi baru.
Ia hampir mencapai tujuannya di Patna ketika sebuah mobil menyalipnya di persimpangan yang ramai.
"Dalam beberapa saat, orang-orang berpakaian preman melompat keluar, menodongkan senjata, memerintahkan saya untuk menyerah. Saya tidak melawan—saya menyerah," katanya.
Selama tiga tahun berikutnya, Kanu dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain karena polisi khawatir dia akan melarikan diri.
"Dia punya reputasi yang luar biasa, yang paling tajam dari semuanya," kata seorang perwira senior kepada saya.
Di setiap penjara, Kanu mengatakan dia membentuk serikat tahanan untuk memprotes korupsi—jatah makanan yang dicuri, layanan kesehatan yang buruk, dan penyuapan.
Di satu penjara, dia memimpin aksi mogok makan selama tiga hari.
"Ada bentrokan," katanya, "tetapi saya terus menuntut kondisi yang lebih baik".
Kanu menggambarkan kelebihan kapasitas di penjara-penjara India, dengan mencontohkan penjara Jehanabad, yang menampung lebih dari dua kali lipat kapasitas yang seharusnya.
“Tidak ada tempat untuk tidur. Di barak pertama saya, 180 tahanan dijejalkan ke dalam ruang yang hanya diperuntukkan bagi 40 orang. Kami merancang sistem untuk bertahan hidup.”
“Lima puluh dari kami akan tidur selama empat jam sementara yang lain duduk, menunggu, dan mengobrol dalam kegelapan.
“Ketika empat jam telah berlalu, kelompok lain akan mengambil giliran. Begitulah cara kami bertahan hidup di dalam tembok-tembok itu."
Pada tahun 2005, Kanu melarikan diri dalam insiden pembobolan penjara yang terkenal itu.
"Kami sedang menunggu makan malam ketika suara tembakan terdengar. Bom, peluru—semuanya kacau," kenangnya.
Baca juga:
- India izinkan tahanan berhubungan seks dengan suami atau istri di penjara
- Penjara yang mengharuskan para tahanan pergi ke luar untuk cari pekerjaan
- Bunuh istri dengan kobra, pria India dihukum dua kali penjara seumur hidup
"Para Maois menyerbu masuk, berteriak agar kami melarikan diri. Semua orang berlari ke dalam kegelapan. Haruskah saya tetap tinggal dan terbunuh?"
Akan tetapi, banyak yang meragukan klaim Kanu.
"Tidak sesederhana yang dikatakannya," kata seorang polisi.
"Mengapa makan malam disiapkan larut malam padahal biasanya dimasak dan disajikan saat senja, sementara sel-sel dikunci sejak awal? Itu saja sudah menimbulkan kecurigaan adanya kolusi internal."
Menariknya, banyak tahanan yang melarikan diri kembali ke penjara pada pertengahan Desember—sebagian dengan sukarela, sebagian lainnya tidak. Tak satu pun pemberontak yang kembali.
Ketika saya bertanya kepada Kanu apakah dia mendalangi pelarian itu, dia tersenyum.
“Para Maois membebaskan kami—tugas mereka adalah membebaskan,” katanya.
Namun ketika dicecar lagi, Kanu terdiam.
Ironi itu semakin dalam saat ia akhirnya berbagi cerita dari penjara.
Seorang polisi pernah bertanya padanya apakah dia berencana melarikan diri lagi.
“Pak, apakah seorang pencuri pernah memberi tahu Anda apa yang akan dicurinya?” jawab Kanu dengan kecut.
Perkataannya menggantung di udara, datangnya dari seorang pria yang bersikeras dia tidak terlibat dalam perencanaan pelarian dari penjara itu.