Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

India Ingin Kendalikan Google dan Raksasa Teknologi Digital

Reporter

Editor

dw

image-gnews
India Ingin Kendalikan Google dan Raksasa Teknologi Digital
Iklan

Pada bulan Agustus, pengadilan AS di Washington DC. memvonis Google telah melanggar Undang-undang Antimonopoli dan menghabiskan miliaran dolar untuk mengukuhkan dominasinya di pasar pencarian web dan periklanan.

Google atau raksasa ecommerce Amazon sejak lama dituduh menyalahgunakan platformnya untuk menjajakan produk tandingan dan mengubur persaingan. Monopoli oleh Google, misalnya, mencakup layanan tiket penerbangan, perkiraan cuaca, hingga jasa periklanan geografis melalui peta Google Map.

Baca juga:

Putusan penting di AS telah memberikan angin segar bagi perusahaan start-up dan teknologi di India untuk melobi pemerintah di New Delhi agar mengambil tindakan serupa.

Aliansi Yayasan Digital India, ADIF, sebuah kelompok kepentingan yang mewakili perusahaan rintisan digital negara Asia Selatan tersebut, telah mengajukan pengaduan kepada Komisi Persaingan India, CCI.

Dikatakan, kuasa mutlak Google atas platformnya, ditambah dengan fakta bahwa perusahaan asal California, AS, itu memperoleh 97 persen pendapatannya dari iklan, telah menghambat persaingan dan mengganggu iklim bisnis di India.

Baca juga:

"Tindakan Google ini berdampak buruk. Kami membutuhkan medan kompetisi yang setara. Dorongan kami ini penting untuk melindungi pasar yang beroperasi berdasarkan prinsip keadilan dan transparansi," kata Prateek Jain, direktur asosiasi ADIF, kepada DW.

India mengincar RUU Persaingan Digital

CCI, regulator persaingan India, saat ini sedang mengkaji rancangan RUU Persaingan Digital untuk melengkapi Undang-undang Antimonopoli yang ada.

RUU tersebut bertujuan untuk mencegah praktik antipersaingan dan memungkinkan hukuman berat jika terjadi pelanggaran. Aturan yang baru ini juga bertujuan untuk memaksa perusahaan teknologi melakukan perubahan mendasar.

"Kami harus melihat bagaimana hal ini terbentuk dan sedang mempertimbangkannya dengan hati-hati. Kami dapat melihat peningkatan kepatuhan preemptif dari pihak perusahaan teknologi besar," kata seorang pejabat senior pemerintah kepada DW dengan syarat anonim.

Tahun lalu, pemerintah India membentuk Komite Hukum Persaingan Digital untuk memeriksa "perlunya undang-undang terpisah tentang persaingan di pasar digital."

RUU tersebut saat ini mengidentifikasi 10 "layanan digital inti" seperti pencarian daring, jejaring sosial, dan berbagi video.

Memperkuat iklim startup nasional

"Tidak ada monopoli yang bersifat permanen,” kata Pavan Duggal, pakar hukum siber, kepada DW. „Di dunia maya saat ini, setiap monopoli akan diteliti dengan saksama oleh regulator persaingan untuk memastikan ekosistem pasar digital terbebas dari belenggu monopoli," ujarnya.

"Karena India sedang menggodok undang-undang persaingan digital yang bertujuan untuk mengatur raksasa teknologi, kasus internasional dapat memicu pengawasan dan tindakan regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan seperti Google di pasar India," tambahnya.

CCI sebelumnya telah memerintahkan Google untuk mencegah praktik monopoli di pasar India. Pada tahun 2022, perusahaan tersebut didenda lebih dari 13 miliar rupee India atau sekitar USD154 juta karena menyalahgunakan kekuasaannya di pasar berbasis sistem operasi seluler Android.

Kasus tersebut mirip dengan kasus yang dihadapi Google di Eropa, di mana regulator UE mengenakan denda sebesar USD5 miliar pada tahun 2018, karena menyalahgunakan dominasinya di pasar Android.

Murugavel Janakiraman, pendiri dan CEO matrimony.com yang berbasis di Chennai, sebuah jaringan layanan perjodohan, berharap bahwa undang-undang digital yang baru akan mengendalikan perusahaan teknologi besar.

Menurutnya, rakasa teknologi pun harus tunduk pada aturan, terutama ketika pengembang kecil dipaksa untuk menerima kebijakan sepihak Google.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun lalu, Google menghapus aplikasi populer India, termasuk matrimony.com, dari Play Store-nya, karena menolak sistem penagihan Google Play. Namun, Janakiraman memperoleh putusan pengadilan terhadap perusahaan teknologi besar tersebut di Pengadilan Tinggi Madras.

"Kami tidak dapat membiarkan perilaku monopoli ini. Kami juga pergi ke CCI, yang menjatuhkan hukuman terhadap Google," kata Janakiraman kepada DW.

Satu bagian dari industri tersebut percaya bahwa pemerintah harus berpikir di luar tindakan hukum dan memaksa Google untuk membuat badan hukum terpisah yang sepenuhnya berlokasi di India.

Menyamakan kedudukan

Divyanshu Shukla, CEO dan salah satu pendiri PapSwap, lembaga swadaya yang berkomitmen pada tata kelola yang berpusat pada warga negara, mengatakan kepada DW bahwa peran CCI akan sangat penting dalam menavigasi kompleksitas ini.

Lembaga tersebut dinilai bertanggung jawab menyeimbangkan dinamika pasar dan melindungi kepentingan konsumen dalam ekonomi digital India yang sedang berkembang pesat.

Dia menunjukkan bahwa inovasi teknologi di dalam negeri dapat bersaing di panggung global dengan mengintegrasikan raksasa teknologi global dalam kerangka hukum India, mendorong persaingan, inovasi, dan praktik pasar yang adil yang mendukung pertumbuhan domestik dan internasional.

„Pasar aplikasi India, meskipun tampaknya merupakan solusi, mungkin tidak dapat mengatasi masalah ini sepenuhnya karena dapat kehilangan inovasi dan peluang teknologi global," kata Shukla.

"Sebaliknya, fokusnya harus pada memastikan bahwa perusahaan teknologi global beroperasi di bawah hukum India dengan kehadiran lokal yang selaras dengan kerangka peraturan India. Pendekatan ini akan meringankan sebagian beban tetapi masih memerlukan kemajuan yang signifikan," tambahnya.

Shrijay Sheth, pendiri LegalWiz.in, sebuah perusahaan konsultan, mengatakan Google hampir memonopoli India dan diharuskan mematuhi prinsip akuntabilitas melalui peraturan untuk pangsa pasar yang mereka kuasai sendiri.

„Sejumlah pelaku usaha telah menyuarakan kekhawatiran seputar pemeringkatan yang adil untuk iklan, praktik pemblokiran akun, tenggat waktu yang diperlama untuk kembali ke status 'patuh' dan dampak kerugian materiil pada bisnis dan, dalam beberapa kasus, hampir kehilangan semua penjualan," kata Sheth kepada DW.

„Hal tersebut menunjukkan level kekuasaan yang mengkhawatirkan bagi sebuah perusahaan untuk mampu mendikte perdagangan global secara keseluruhan."

Potensi pasar digital India

Menurut berbagai perkiraan industri, India akan segera memiliki lebih dari 1 miliar pengguna internet dalam beberapa tahun.

Seiring meningkatnya belanja iklan digital, para pemimpin industri percaya bahwa sangat penting untuk segera mengatasi ketidakseimbangan pasar.

"Keluhan ADIF terhadap Google merupakan perwujudan dan simbol kekhawatiran yang lebih luas tentang keadilan pasar dan persaingan dalam lanskap periklanan digital India, dan putusan AS baru-baru ini dapat memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana dan dengan cara apa CCI akan bergerak ke arah ini," kata pakar hukum siber Duggal.

rzn/hp

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada