TEMPO Interaktif, Jakarta - Blak-blakan soal jual-beli pasal di Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. diserang balik politikus Senayan. Mahfud dituntut menunjukkan bukti-buktinya. “Masak harus membuktikan bukti atas bukti,” kata Mahfud ketika ditemui Tempo di kantornya, Senin, 21 November 2011. “Itu kan omong kosong.”
Kenapa tiba-tiba Anda bicara jual-beli pasal?
Dalam sebuah seminar, saya bilang politik hukum kita sudah bagus. Kita punya prolegnas, kita punya panduannya. Tapi dalam prakteknya, kenapa banyak undang-undang yang jelek. Dari 406 undang-undang yang di-judicial review ke MK, 96 di antaranya dikabulkan. Itu sekitar 23 persen. Karena ini seminar ilmiah, saya membuat premis, pradalil. Berdasarkan fakta-fakta di pengadilan, ada tiga sebab buruknya undang-undang itu.
Apa saja?
Pertama, ada tukar-menukar keinginan politik di antara para pemain politik DPR. Contohnya, dulu ketika konsep electoral treshold mau diubah ke parliamentary treshold, partai-partai kecil tak setuju. Kemudian terjadi kesepakatan, oke partai kecil setuju parliamentary asal boleh ikut pemilu lagi. Nah, itu melanggar konstitusi karena tidak adil. Karena banyak partai kecil yang tak bisa ikut pemilu karena tak punya kursi di DPR. Tukar-menukar seperti itu inkonstitusional, lalu kami batalkan. Sehingga semua partai boleh ikut pemilu.
Lalu?
Yang kedua, tidak profesional. Yang membuat undang-undangnya serampangan, tak punya naskah akademik, atau tidak paham Undang-Undang Dasar.
Sebab lainnya?
Begini, sebab pertama dan kedua itu bukan pelanggaran pidana. Tapi sebab ketiga, yaitu jual-beli pasal, termasuk pelanggaran pidana. Jual-beli pasal ada fakta dan putusan pengadilan. Pengadilan Tipikor sudah mengukum lima pejabat BI dan tiga anggota DPR karena kasus undang-undang. Lalu, ada kasus dana abadi umat. Ada saksi di pengadilan yang mengatakan bahwa uang Rp 1,5 miliar itu untuk mengegolkan undang-undang wakaf.
Faktanya hanya begitu?
Tidak, gejalanya masih ada. Contohnya kasus Kemenakertrans. Kenapa diadili Sesditjen itu (I Nyoman Suisnaya) diadili? Itu kan jual-beli dalam Undang-Undang APBN-Perubahan 2011. Yang lebih fantastis, kesaksian Wa Ode Nur Hayati. Dia sendiri yang mengatakan banyak pemerintah daerah yang ingin anggarannya masuk APBN harus membayar enam atau tujuh persen. Sehingga buruknya undang-undang ini karena ada jual-beli pasal.
Ada contoh lain?
Saya banyak mendengar. Tapi kan itu bukan fakta. Itu bagian dari gejala. Tapi agar Anda tahu saja, ketika isu itu mereda, saya banyak mendapat SMS dari pejabat, dari dirjen, dari kedutaan besar, bahwa itu benar. Kami ini korbannya, kata mereka. Ada yang bilang, menteri kami itu tak punya anggaran untuk membiayai undang-undang karena tak ada di APBN. Ada mantan menteri yang SMS juga, ‘Pak teruskan itu. Kami siap bersaksi.’
Anda pernah mengalami sendiri?
Ada anggota DPR yang ke sini. Dia cerita bahwa ia pernah mewakili daerah pemilihannya untuk mengajukan anggaran ke DPR. Anggota DPR ini datang ke temannya yang anggota DPR di Badan Anggaran. ‘Tolonglah masukan daerah saya itu. Jalan-jalannya sudah rusak dan sebagainya.’ Nah, oleh temannya yang di Banggar itu dia diminta uang juga. Tak sanggup dia. Akhirnya, dia bilang ke bupatinya, ‘menghadap langsung saja.’
Anda masih diminta politikus DPR untuk menunjukkan bukti jual-beli pasal?
Saya tak bisa didorong untuk, ‘Pak Mahfud harus tunjukan bukti.’ Saya justru menunjukkan buktinya. Masak harus membuktikan bukti atas bukti. Itu kan omong kosong.
ANTONS