TEMPO.CO, Jakarta - Dokter I Gusti Ayu Nyoman Partiwi paling keki saban melihat anak balita bermain telepon seluler atau tablet. "Gadget itu toxic bagi bayi," ujar dia, seperti ditulis Koran Tempo, Selasa, 3 Mei 2016.
Bukan apa-apa, pakar tumbuh-kembang anak dari Universitas Indonesia ini sering mendapati pasiennya yang mengalami kemunduran perkembangan setelah terpapar gawai. "Kalau ada anak yang awalnya bagus, lalu saat bertemu kembali tiga bulan kemudian tidak mau diam kayak belut, pasti jawabannya karena sering main gadget," ujar Dokter Tiwi—demikian ia dipanggil.
Gadget dan televisi menghambat delapan dari sembilan aspek perkembangan anak, yaitu sensorik, motorik, komunikasi, kreativitas, kemandirian, emosional dan sosial, kerja sama, serta moral-spiritual. Kemampuan yang terdorong oleh gawai, Tiwi menambahkan, hanyalah kognitif. Sebab, mereka merasa nyaman dengan apa yang disaksikan dan tidak merasa perlu mengerahkan kemampuan lainnya, termasuk motorik otot. “Banyak orang tua yang senang bayi yang baru 6 bulan pintar swipe iPad," kata Tiwi. "Padahal, itu mah kemampuan yang seharusnya berkembang belakangan setelah aspek lainnya bagus."
Penulis buku Anak Sehat dan Sehat-Lezat ini mengatakan, pada usia dini, perkembangan otak dan panca indra anak berada pada fase paling sensitif. Itu sebabnya, Tiwi menuturkan, kedokteran sangat menyarankan inisiasi menyusui secara dini. Orang muslim juga mengazankan bayi saat baru lahir. Namun gadget membuat banyak tahap di mana bayi seharusnya menerima rangsangan dari lingkungannya terlewati. "Bahkan, kemampuan yang tadinya sudah dia kuasai jadi hilang.
Dokter spesialis anak di Rumah Sakit Bunda ini kerap mendapati bayi yang sebelumnya pandai tengkurap kehilangan kemampuannya lantaran keseringan memantau ponsel orang tuanya. "Jadinya kepalanya peang," ujar dia.
Contoh paling lazim adalah "menyogok" anak dengan tayangan televisi supaya mau makan. Walhasil, tanpa televisi menyala, anak pantang menyentuh makanan. Pada kasus seperti ini, menurut Tiwi, orang tua mesti tegas menyetop kebiasaan buruk itu dengan mematikan televisi dan, kalau bisa, membiarkan anak makan sendiri. "Biarkan saja anak cuma mau makan satu sendok. Pasti berikutnya mau dua sendok," katanya. "Ingat, satu kali bayi menyuap akan memberikan banyak manfaat bagi perkembangan otaknya, dari kemampuan motorik menggenggam, sensorik untuk membedakan halus-kasar makanan, dan lainnya."
Sayang, banyak orang tua yang masih mengandalkan gawai sebagai senjata untuk memenangkan hati anaknya. Ani Sholihah, misalnya. Bagi ibu dua anak warga Cipinang Kebembem, Jakarta Timur, ini, Samsung Grand Neo-nya merupakan penyelamat waktu santainya di rumah. Pada akhir pekan, saat karyawati swasta itu libur, Bram, 3 tahun, anak keduanya, bisa menghabiskan sampai empat jam untuk menatap layar 5 inci pada ponsel itu.
"Mulai bangun tidur, langsung minta hape," ujar Ani, 34 tahun. Si bocah kembali merengek meminta ponsel saat akan tidur siang dan tidur malam. "Mintanya selalu susu sama hape. Kalau tidak dikasih, ngamuk." Kesukaannya adalah menonton Spiderman dan Power Rangers di YouTube. Bram emoh menonton televisi meski menayangkan film yang sama.
Bagi Ani, memberikan ponsel merupakan win-win solution. Anaknya anteng, ia pun bisa tenang menikmati akhir pekan. ia tidak merasa anak keduanya itu mengalami kemunduran. "Paling efeknya jadi suka main berantem-beranteman karena tontonannya seperti itu," ujarnya.
Namun Dokter Tiwi mengatakan anak yang mengamuk saat tidak diberi gawai merupakan gejala kecanduan. Cara menyembuhkannya sederhana. "Singkirkan semua gadget di rumah. Satu-dua bulan sudah bisa kembali baik," kata dia. Menurut dia, sebaiknya bayi dihindarkan dari televisi, telepon pintar, dan sebagainya hingga dua tahun. "Kalau mau lebih bagus lagi, sampai 6 tahun."
REZA MAULANA