TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan pengenaan cukai untuk plastik harus didasari oleh filosofi cukai, yakni untuk pengendalian. "Mengacu pada UU Cukai," ujarnya dalam diskusi berjudul “Peluang dan Tantangan Ekstensifikasi Cukai bagi Dunia Usaha” di Veteran Coffee, Jakarta Pusat, Senin, 27 Juni 2016.
Enny menuturkan, pengendalian yang dimaksud adalah pengendalian konsumsi barang tersebut, apakah memiliki dampak ke kesehatan masyarakat atau ke lingkungan atau bahkan dampak-dampak lainnya. "Jika memang efektivitas kebijakannya masih debatable, harus dicarikan solusi. Apakah memang ini pilihan terbaik."
Pernyataan ini menanggapi wacana yang dilontarkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi. Ia mengatakan bahwa pemberlakuan cukai terhadap plastik merupakan kompensasi atas penggunaan barang tersebut yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup.
Selain itu, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Sudirman telah mengungkapkan bahwa hasil cukai kemasan plastik tersebut akan digunakan untuk pembangunan industri daur ulang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa mengenai ekstensifikasi cukai, hanya tinggal memilih mana yang sekiranya mendatangkan tambahan pendapatan signifikan. "Kita perlu ekstensifikasi barang kena cukai demi sustainabilitas penerimaan negara," tuturnya.
Prastowo melanjutkan bahwa kebijakan tersebut juga harus mengukur apakah akan mengganggu secara makro terhadap industri ataupun masyarakat secara keseluruhan. Namun yang paling penting adalah kejelasan maksud dari pelaksanaan ekstensifikasi tersebut.
Bagi Prastowo, pengenaan obyek cukai baru harus jelas, apakah untuk pengendalian ataukah untuk menggenjot penerimaan negara. "Kalau tujuannya mengendalikan (plastik), jangan menghitung penerimaan negara."
DIKO OKTARA