INFO NASIONAL - Menurut data yang dirilis Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) per 30 September 2016 tercatat 275.736 jiwa, terbagi atas jumlah TKI laki-laki sebanyak 108.965 dan perempuan 166.771. Tentu cukup banyak masalah kehidupan yang dialami para TKI. Seiring dengan sejumlah program dalam mengatasi berbagai persoalan, mulai ketenagakerjaan hingga hak asasi manusia, negara tetap menjadikan sektor pendidikan anak TKI salah satu prioritas yang terus dibenahi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajar sembilan tahun untuk setiap WNI, baik yang tinggal di NKRI maupun di luar negeri. Sejalan dengan hal ini, Sumarna Surapranata yang akrab dipanggil Pranata, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan bahwa jajarannya kian fokus mengatasi setiap permasalahan terkait dunia pendidikan anak-anak TKI.
Baca Juga:
Strategi yang dijalankan adalah dengan berupaya meningkatkan kualitas guru yang bertugas di luar negeri. Sebuah misi dilancarkan tidak hanya menyasar aspek pendidikan formal semata, tapi juga menyentuh hingga ke ranah budaya. “Selain indeks prestasi (IP) yang bagus, mereka mesti didukung dengan ketahanan yang kuat,” kata Pranata. Dia menjelaskan, beberapa sekolah memang berjarak cukup jauh dari ibu kota, sehingga persoalan “ketahanan” tadi bukannya main-main.
“Sekolah-sekolah di daerah Sabah, misalnya. Lokasinya berada di kebun-kebun sawit dan bisa menghabiskan waktu perjalanan sampai 24 jam dari Ibu Kota Tawau (Malaysia),” ujar Pranata. Terlebih, menurut data Kemdikbud, sekitar 53 ribu anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia belum memperoleh layanan pendidikan seperti yang diharapkan. Setidaknya angka tadi bisa menjadi cerminan perihal kondisi di negara-negara lain di mana pun TKI berada. Masih banyak yang mesti dikejar, baik dari sisi angka dan kualitas guru, maupun mutu pendidikan yang diajarkan.
Latar belakang pengalaman para calon guru dalam berorganisasi pun kini semakin diperhatikan. Melalui cara ini, guru-guru Indonesia yang bertugas di luar negeri diharapkan bisa membimbing anak-anak Indonesia tentang kebudayaan nasional, di samping materi-materi pendidikan formal. Dengan demikian, anak-anak Indonesia tidak akan tercerabut akar budayanya. “Sebab, ternyata sebagian besar anak-anak TKI tidak mengenal budaya Indonesia,” kata Pranata.
Baca Juga:
Pranata menyaksikan sendiri bagaimana pemahaman eksistensi diri pada anak-anak TKI umumnya masih bersifat kedaerahan atau kesukuan, bukan lagi kebangsaan. Sebuah pola yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh keterbatasan para orang tua mereka. Bahkan ada anak-anak yang tidak mengetahui lagu Indonesia Raya. Karena kondisi inilah, dia beranggapan para guru layak memiliki kecakapan dalam cakupan ilmu seni dan budaya.
Hasilnya, berkat bimbingan para guru muda di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN), putra-putri Nusantara kerap meraih predikat juara dalam festival-festival kebudayaan di berbagai negara, termasuk Malaysia, Manila, Arab Saudi, dan Belanda. Meski Kemdikbud sebenarnya memiliki berbagai program dalam upaya meningkatkan kompetensi para guru, Pranata mengatakan hal itu juga harus didukung oleh pribadi setiap guru yang bersangkutan. “Karena bagaimanapun, urusan memperbaiki diri dan belajar ini juga menjadi kewajiban diri sendiri,” ucapnya. (*)