TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menyoroti besarnya nilai impor bahan baku obat. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, impor bahan baku industri farmasi lebih dari 90 persen. Fakta ini amat ironis bila mencermati potensi sumber daya alam, khususnya tanaman herbal, di Indonesia.
“Indonesia punya sekitar 30 ribu spesies tumbuhan dan hewan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat modern,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Sangkot Marzuki, di Cikarang, Rabu, 26 Oktober, pekan lalu.
Sangkot, guru besar kedokteran di Monash University, mengatakan nenek moyang bangsa Indonesia sebenarnya sudah lebih dulu memanfaatkan kekayaan alam Nusantara sebagai obat. Salah satu produk yang masih bertahan dan kerap dikonsumsi adalah jamu.
Sayang, tutur dia, pemanfaatan tersebut belum masif. Sangkot mencontohkan, kekayaan maritim Indonesia berpeluang menjadi sumber bahan baku obat, tapi belum dilirik oleh farmakolog Indonesia. “Banyak mikroorganisme baik di terumbu karang yang bisa menjadi herbal,” ujar Sangkot, 72 tahun.
Ketua Yayasan Pengembangan SDM-IPTEK The Habibie Center, Wardiman Djojonegoro, mengatakan industri farmasi di Indonesia sebenarnya bisa mandiri, seperti yang ditunjukkan India. Di negara itu, pemerintah memproteksi industri dalam negeri.
Bentuk proteksi ini, kata guru besar Universitas Padjajaran itu, bisa bermacam-macam. Salah satunya, melindungi perusahaan obat lokal dari pabrik farmasi dunia yang punya hak paten. “Walhasil. mata rantai obat mahal bisa diputus India,” ia berujar.
Wardiman, 82 tahun, mengatakan proteksi saja tak cukup bila tak diikuti dengan riset terhadap tumbuhan herbal. “Pemerintah bisa meningkatkan hibah dana riset untuk mendukung industri farmasi nasional,” kata doktor lulusan Delft University of Technology ini.
Salah satu lembaga yang intensif meneliti tanaman herbal untuk diproduksi sebagai obat adalah Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS). Menurut Direktur Eksekutif DLBS, Raymond Tjandrawinata, lembaganya secara intensif menguji tanaman-tanaman medisinal.
Proses itu dikerjakan di pabrik sekaligus laboratorium yang luasnya mencapai 4 hektare di Cikarang, Jawa Barat. Di fasilitas tersebut, DLBS membangun infrastruktur riset yang canggih, salah satunya mikroskop elektron raksasa.
Raymond mengatakan ilmuwan DLBS memiliki tantangan meneliti untuk membuat produk inovatif yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. “Kami punya harapan penyediaan bahan baku obat Indonesia bisa mandiri,” ujar peraih Habibie Award 2016 ini.
Salah satu pencapaian penting DLBS adalah obat herbal alami dari Zingiber officinale. Spesies ini dikenal sebagai jahe yang bisa meredakan kembung dan mual. Ada juga riset yang memanfaatkan tanaman buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa). “Dari buah ini, periset DLBS bisa mengembangkan obat pra-menstruasi dan kanker,” kata Raymond.
Yang tak kalah menarik adalah inovasi protein dari hewan Lumbricus rubellus. Spesies ini dikenal sebagai cacing tanah. Menurut Raymond, meski hidup di tanah, cacing punya kandungan protein baik yang bisa diekstrak menjadi bahan baku obat.
Khusus cacing tanah, DLBS punya rantai penelitian yang ketat. Mereka bekerja sama dengan petani cacing yang secara periodik memasok bahan baku. “Cacing harus dalam keadaan sehat, segar, dan dikirim ketika cuaca sedang dingin,” ucap Raymond.
RAYMUNDUS RIKANG