TEMPO.CO, Jakarta -Beberapa tambalan pada selembar kain batik “Pagi/Sore” yang ukurannya tak sampai seujung kuku tampak jelas. Seutas benang berwarna krem saling-silang menutupi lubang pada koleksi yang berumur sekitar 66 tahun itu. Tambalan pada kain bermotif burung merak ngibing dan parang tersebut dapat diketahui tanpa perlu melihat secara langsung apalagi memegangnya –lantaran sudah rapuh juga. Tinggal meregangkan ibu jari dan telunjuk di layar telepon pintar, maka gambar kain batik milik Museum Tekstil itu membesar hingga 100 kali. Siapapun dapat melihat lebih detil hingga ke serat kain.
Mis Ari, Staff Satuan Pelaksana Informasi dan Edukasi Unit pengelola Museum Seni –yang mengelola Museum Tekstil, Museum Wayang, serta Museum Seni Rupa dan Keramik, mengatakan batik “Pagi/Sore” adalah satu dari 350 koleksi di Museum Tekstil yang sudah “disalin” dalam bentuk digital dan bisa dinikmati di dunia maya. “Digitalisasi ini sangat membantu museum dalam menyebarluaskan koleksi kepada masyarakat,” katanya kepada Tempo saat peluncuran Google Arts and Culture di Museum Nasional, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Head of Public Policy Google Indonesia, Shinto Nugroho mengatakan virtualisasi batik merupakan bagian dari program Google Arts and Culture. Dalam program tersebut, Google menggandeng tujuh museum, yakni Museum Tekstil dan Museum Seni Rupa dan Keramik; Galeri Batik; Monumen Nasional (Monas); Museum Purbakala Sangiran; Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko; Yayasan Biennale Yogyakarta; dan Agung Tai Museum of Art. “Google Arts and Culture adalah platform untuk melestarikan warisan budaya bagi generasi mendatang dan mempromosikannya ke kancah dunia,” ujarnya.
Mengutip survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia, pada tahun ini tercatat lebih dari separuh atau sebanyak 132,7 juta penduduk Indonesia telah terhubung ke Internet. Dengan begitu, Shinto menjelaskan, jumlah digital native alias generasi yang sudah ‘melek’ Internet sejak belia mendapat kesempatan untuk menggali informasi tentang kekayaan budaya di Tanah Air melalui aplikasi Google Arts and Culture di gadget mereka.
Ada dua cara menggunakan aplikasi tersebut: melalui cardboard atau langsung di layar gawai, sesuai dengan bentuk objek yang hendak dilihat. Untuk menikmati peninggalan sejarah berbentuk tiga dimensi, seperti menangkap suasana di Candi Borobudur, pengguna aplikasi ini disarankan menggunakan cardboard. Duduklah ketika memakai cardboard karena gambar yang tampil diambil dengan kamera 360 yang berfungsi merekam kondisi di sekeliling, dan tidak dapat digunakan sembari berjalan seolah menyusuri relief candi.
Adapun benda bersejarah semisal batik, lukisan, atau keramik, disajikan melalui gambar dua dimensi. Gambar benda bersejarah ini diambil melalui jepretan art camera yang hasilnya bisa diperbesar hingga 100 kali. “Ini bukan kamera fotografi biasa karena memiliki sensor dan sonar yang mampu menghasilkan gambar yang tak terlihat dengan mata telanjang,” ujar Dennis Dizon, Program Manager Google Cultural Institute.
Ketika generasi muda sudah mengetahui peninggalan sejarah melalui dunia maya, apakah semangat mereka untuk datang ke museum akan surut? Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harry Widianto hakul yakin kekhawatiran itu tak akan terjadi. “Sebaliknya, teknologi digital membuat keterlibatan publik semakin luas, dan mereka akan penasaran untuk melihat langsung dengan berkunjung ke museum,” ujarnya.
RINI KUSTIANI