TEMPO.CO, Yogyakarta - Kasus rebutan lahan akses jalan antara pihak sekolah Madrasah Tsanawiyah Muhammadyah Karangkajen Yogyakarta dengan warga perumahan elit Green House menjadi sorotan publik. Wali kota Yogyakarta Haryadi Suyuti kemudian membongkar paksa tembok perumahan elite Green House karena menghalangi ratusan siswa Madrasah Tsanawiyah Muhammadyah Karangkajen Yogyakarta bersekolah di hari perdananya, Senin subuh 4 Januari 2016.
Konflik sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2011 lalu atau sejak sekolah hendak membangun gedung baru yang berjarak 100 meter dari gedung lama. Banguna baru ini lebih masuk ke komplek perumahan elit itu dan harus melalui jalan perumahan. Mediasi pihak sekolah dengan warga perumahan elit yang dilakukan oleh pemerintah kelurahan dan kecamatan terus gagal hingga pemerintah kota turun tangan.
Informasi yang dihimpun Tempo, perumahan itu sebagian penghuninya merupakan pensiunan pegawai negeri dan swasta, pengusaha, karyawan swasta, dan pemborong. Tokoh warga perumahan Green House sekaligus Ketua RW 23 Wikan Danardono misalnya mengatakan dirinya seorang kontraktor.
Dalam kartu nama yang ditempel di pintu rumahnya, Wikan memiliki perusahaan bernama Optime yang berkenan dalam suplai barang perlengkapan kantor hingga perhotelan."Warga disini dari berbagai profesi," ujarnya.
Seorang warga lain yang rumahnya berhadapan langsung dengan muka sekolah, Joko, mengatakan pensiunan swasta bidang penerbitan. "Dulu saya beli tanah ini untuk tujuan ketenangan, kok malah berhadapan dengan seperti ini, ya pasrah saja," ujar Joko.
Rumah mewah Joko diapit dua rumah mewah lain. Ia mengatakan satu rumah dimiliki seorang pengusaha Jakarta yang datang jika hanya saat liburan dan satu lagi rumah yang dimiliki pensiunan bekas karyawan pengeboran minyak di luar Jawa.
Sebagai orang yang memiliki rumah langsung berhadapan dengan sekolah, Joko mengatakan sempat resah dengan perilaku siswa terutama jika terlibat perkelahian. "Mau tak mau karena di depan saya persis jadi khawatir ikut kena, padahal di sini mau tenang habiskan hari tua," ujarnya.
Joko, menuturkan pihak warga perumahan sebenarnya sudah mau patungan untuk membelikan sekolah lahan sebagai akses jalan asal tak melewati perumahan "Dulu tiap warga sudah mau patungan satu orang Rp 800-900 ribu untuk belikan lahan bagi sekolah, tapi sekolah membatalkan lagi," ujarnya. Saat itu dari 150 warga perumahan mau patungan untuk membeli lahan di belakang sekolah seluas 4 x 10 meter yang selama ini jadi jalur tikus siswa untuk masuk sekolah.
Warga pun menduga pihak sekolah menolak dibelikan lahan sebagai akses masuk karena dengan menumpang lewat di depan perumahan Green House, promosi sekolahnya menarik siswa jadi lebih punya daya jual.
PRIBADI WICAKSONO