TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin menantang Mahkamah Kehormatan Dewan membuktikan pelanggaran etiknya. Hal ini terkait dengan sanksi pelanggaran etik terhadap dua kasus yang diproses di MKD.
"Yang saya ingin itu, publik tahu apa yang dilakukan (MKD) keliru. Semua hati nurani orang tahu yang saya lakukan itu tidak salah," kata Ade di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Senin, 5 Desember 2016.
Sebelumnya, MKD memutuskan Ade melanggar etika dalam dua kasus. Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan Ade divonis pelanggaran etika ringan karena memindahkan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat penyertaan modal negara (PMN) menjadi mitra kerja Komisi Keuangan.
Selain itu, Sufmi mengatakan, Ade melanggar etika karena dianggap memperlambat proses pembahasan rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Dalam kasus ini, Ade pun terkena hukuman ringan.
Ade menampik tuduhan MKD tersebut. Menurut Ade, itu bukan keputusan pribadi. Ade mengatakan keputusan itu diambil berdasarkan keputusan pemimpin DPR yang bersifat kolektif kolegial. "Kenapa yang dituntut cuma saya," kata Ade.
Ade menjelaskan, ketika itu Dewan Penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prof Emil Salim keberatan atas pembahasan rancangan Undang-Undang Pertembakauan. "Lalu melalui rapat pemimpin dan Badan Musyawarah sepakat kita pending dulu agar ada interaksi pro dan kontra, agar ada diskusi publik. Jadi, bukan keputusan saya pribadi," ujar dia.
Serupa dengan dugaan pelanggaran etik untuk Komisi VI DPR. Menurut dia, urusan penyertaan modal negara adalah area Komisi Keuangan yang menjadi mitra Kementerian Keuangan. Keputusan pemisahan tersebut, kata dia, berdasarkan keputusan pemimpin yang kolektif kolegial.
"Saya tidak pernah buat tanda tangan tidak atas rapim dan Bamus. Tidak ada yang salah tentang itu dan saya perjuangkan itu," kata Ade.
ARKHELAUS W.