TEMPO.CO, Pidie Jaya – Kamis dinihari, 8 Desember 2016, Mawardi bangun hendak melaksanakan salat subuh. Dari surau, terdengar suara pemberitahuan dari bilal. Sebentar lagi waktu subuh tiba. Namun, belum sempat azan subuh dikumandangkan, listrik tiba-tiba padam. Tanah sekonyong-konyong bergetar.
Guncangan keras membuat Mawardi hampir jatuh. Tanpa dikomando, istri dan ketiga anaknya bangun. Semua berlarian ke luar. “Gempa seperti terjadi di bawah rumah,” ujar Mawardi, 45 tahun, warga Desa Buangan, desa di pinggiran pantai Pidie Jaya, mengenang kejadian pada Kamis, 8 Desember 2016 itu.
Di luar rumah, warga Buangan juga sudah berlarian menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Lantaran panik ada penduduk yang memilih lewat pematang sawah sebagai jalan pintas untuk menjauh dari laut. Suara takbir dan lafaz ayat-ayat Al-Quran terdengar sambil warga berlarian. Tak sedikit pula yang menangis.
”Saat kami lari, kami seakan dibayangi air tsunami,” tutur Mawardi, yang juga korban selamat saat gempa besar 26 Desember 2004. Pria tiga anak ini kini menetap di kamp pengungsian Masjid Al-Munawar. “Kami sangat trauma, ketiga anak kami juga kalau coba diajak pulang, langsung menggeleng kepala.”
Mawardi menambahkan, jangankan kembali ke desa yang terpaut 200 meter dari laut, untuk menetap di bawah mesjid ia ragu. Sebabnya, dinding masjid ada yang retak, ditambah lagi gempa susulan yang terus mendera kawasan itu. “Di bawah masjid saja kami ragu, lihat ini kan sudah retak,” kata Mawardi menunjuk dinding masjid.
Hasil pengamatan Tempo menunjukkan sejumlah anak di kamp pengungsian tampak tidak bersemangat. Mereka terlihat lesu dan tak mau makan. “Ini dari kemarin dia tak mau makan, mungkin reoh roh (trauma) karena guncangan yang begitu keras,” ujar beberapa ibu di kamp pengungsian.
IMRAN MA