Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo ABC

Charles Toto, Juru Masak Rimba Pelestari 'Bush Tucker' Ala Papua

Reporter

Editor

ABC

image-gnews
Iklan

Beberapa tahun belakangan, di Australia marak upaya mempopulerkan kembali bahan makanan dan resep asli masyarakat pribumi Aborijin yang dikenal dengan sebutan "bahan makanan ala semak" alias bush tucker.

Di Indonesia, upaya serupa dilakukan oleh seorang juru masak rimba terhadap bahan makanan dan kuliner khas dari tanah Papua.

Baca juga:

Charles Toto, 40 tahun, selama lebih dari satu dekade terakhir aktif mempelopori upaya pelestarian kuliner khas papua.

Bersama organisasi Papua Jungle Chef Community (JPCC) yang didirikannya tahun 2006 lalu, ia berusaha mengeksplorasi bahan pangan dan rempah-rempah lokal serta resep kuliner khas masyarakat Papua.

Pengetahuannya yang luas mengenai kuliner Papua yang eksotik juga telah menjadikan Chato, demikian panggilan akrabnya, kerap diundang menghadiri event memasak pribadi di rumah atau komunitas.

demo masak PJCC
Charles Toto dan Papua Jungle Chef Community (PJCC) memperkenalkan kekayaan kuliner Papua di berbagai event dalam dan luar negeri.

Baca juga:

ABC; iffah Nur Arifah

Seperti beberapa waktu lalu, ketika dijumpai wartawan ABC Australia Iffah Nur Arifah di Jakarta, Chato bersama rekan-rekannya dari PJCC tengah melakukan demo masak kuliner Papua dalam sebuah event bertema lingkungan.

Dalam perbincangan usai sesi tersebut, Chato menuturkan pengetahuan orang tentang kuliner khas Papua masih sangat terbatas.

"Bisa dibilang pemahaman orang tentang kuliner Papua itu baru 0,0%. Umumnya orang hanya kenal makanan Papua itu bubur sagu atau papeda dan ikan kuah kuning."

"Padahal masih banyak lagi. Dan setelah saya telusuri, ikan kuah kuning itu juga bukan murni masakan Papua, tapi sudah dipengaruhi oleh cara memasak yang dibawa oleh para penginjil ke Papua." kata pria kelahiran Jayapura itu.

External Link: chatojunglechef

Untuk menggali kekayaan kuliner khas tanah kelahirannya ini, Charles Toto, kerap keluar masuk belantara hutan dan berbagai kawasan terpencil di Papua untuk mempelajari bahan pangan dan makanan yang dimasak sehari-hari langsung dari masyarakat dan beragam suku di Papua.

Dari kebiasaannya inilah ini mendapat julukan juru masak rimba alias 'Jungle Chef'.

"Hampir 70% wilayah Papua sudah saya jelajahi. Sampai sekarang pun saya masih sering keluar masuk ke hutan Papua." ungkapnya.

"Saya merasa lebih bahagia tinggal di Papua, dan bisa berkeliling menjelajahi hutan disana untuk tanya bahan lokal yang mereka gunakan, bagaimana mereka memasaknya dan mempraktekannya langsung bersama mereka di tengah hutan." tutur chef yang mengaku pernah memasak kuliner Papua untuk (bintang rock) Mick Jagger dan Melinda Gates (istri Bill Gates) ketika bertandang ke Papua.

Kuliner Papua yang sederhana

Sebagaimana kawasan lain di Indonesia, Papua juga menyimpan keragaman kuliner yang khas.

Namun karena banyak mengandalkan bahan-bahan dari alam, Chato mengatakan kuliner khas Papua memiliki cita rasa yang sederhana.

"Kuliner Papua itu tidak banyak bumbu, hanya mengunakan garam saja. Jadi rasanya ya cenderung 'plain' (hambar)."

"Tanaman yang kita pakai masak semuanya organik dan asli dari alam tanpa dikelola manusia." tutur pria kelahiran Jayapura ini.

"Karena itu motto yang selalu saya ungkapkan adalah hutan adalah pasar bagi orang papua berbelanja tanpa perlu mengeluarkan uang, jadi orang Papua bergantung hidup pada hutan dan laut dengan begitu kami bisa mewariskan sehatnya pola makan alami." tambahnya.

Ia mencontohkan salah satu bahan memasak alami khas masyarakat Papua yang diperkenalkannya dalam acara demo memasak di Jakarta adalah garam hitam.

Garam asli yang digunakan oleh masyarakat Papua di lembah Baliem ini merupakan satu-satunya garam yang bukan terbuat dari air laut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan berdasarkan hasil kurasi dari juru masak di Paris, Perancis diakui garam hitam sangat baik bagi kesehatan terutama bagi penderita hipertensi.

Garam hitam
Garam hitam, garam yang biasa digunakan oleh warga Papua di Lembah Baliem lolos dibuat dari pelepah pisang dan air asin di Pegunungan Jayawijaya, Papua.

ABC: Iffah Nur Arifah

"Garam hitam ini, saya belajar dari masyarakat di lembah baliem di pegunungan Jayawijaya. Mereka pakai pelepah pisang, itu mereka kerok dan airnya diambil dan direndam pakai air asin yang ada di puncak Jayawijaya, kemudian mereka bakar dan abunya mereka kumpulkan dan diikat pakai pelepah pisang."

"Lalu itu mereka keringkan diatap rumah atau diperapian selama 3 bulan yang nanti akan terbentuk 3 lapisan garam berwarna putih, abu-abu dan hitam."

Lebih lanjut Chato juga mengungkapkan kesederhanaan kuliner masyarakat Papua juga tercermin dari cara memasak masyarakat Papua yang kebanyakan masih menggunakan teknik memasak alami yakni dengan cara dibakar diatas batu diatas tanah, dibakar dengan batu didalam tanah, dibakar didalam bambu hingga memasak didalam gerabah.

Jenis dan cara memasak masyarakat Papua akan sangat bergantung pada wilayah hutan di sekitar mereka.

Sehingga masing-masing suku di Papua memilki pola makan yang berbeda.

Perubahan pola makan warga Papua

Namun menurutnya pola konsumsi masyarakat Papua sekarang sudah mulai banyak mengalami pergeseran, terutama di kawasan perkotaan di Papua, seiring dengan masuknya produk-produk pangan modern.

Hal yang sangat memicu keprihatinannya.

"Saya lihat sekarang banyak orang sibuk dengan makanan baru yang masuk dari luar dan itu mulai merambat ke Papua, makanan seperti mie instan itu sudah masuk sampai ke tingkat masyarakat kecil di Papua."

"Terus ada banyak dijual makanan cepat saji dan anak-anak muda Papua pilih makan itu karena ingin dianggap gaul. Pemahaman mereka apa yang datang dari luar itu baik dan bagus untuk mereka," tuturnya.

Untuk melestarikan kekayaan kuliner masyarakat Papua, Chato dan komunitas Papua Jungle Chef Community mengajar ratusan orang untuk mengenal bahan makanan lokal dan cara memasak khas orang Papua.

Dalam banyak event mereka juga kerap memodifikasi pangan khas Papua dengan kuliner modern.

Misalnya membuat es krim dari ubi atau pizza dari keladi, sagu atau ubi dengan toping khas yang akrab dengan lidah warga Papua seperti ulat sagu.

"Kami mengajarkan anggota kami bahan pangan dan teknik memasak makanan khas di daerah mereka, jadi misal nanti ada tamu atau wisatawan datang mereka bisa sajikan makanan khas daerahnya."

Saya katakan, kalian harus tahu makanan apa yang dimakan oleh keluarga kalian, kakek dan leluhur kalian dan harus ekspose itu keluar agar orang lain tahu ini loh makanan asli warga Papua." tuturnya.

Tekad Charles Toto untuk menduniakan citarasa Papua juga ditempuhnya melalui pendekatan gastro diplomacy.

Bulan September lalu, ia dan komunitas PJCC diundang menjadi bagian dari delegasi Indonesia yang menghadiri Festival Slow Cooking Terramadre 2018 di Torino, Italia, sebuah event penting bagi para pencinta kuliner dunia.

Ia menjadi pembicara sekaligus memperkenalkan masakan khas Papua.

"Saya punya keinginan, warga Papua tidak hanya dikenal dengan rambut keriting dan kulit hitam, tapi Papua juga bisa dikenal karena makanan kuliner khasnya. Dan orang luas tahu itu." tekadnya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada