Organisasi Human Rights Watch meminta Pemerintah Indonesia mencabut tuduhan makar dan membebaskan tanpa syarat aktivis Victor Yeimo, yang dikenal mendukung kemerdekaan Papua Barat secara damai.
Dalam pernyataan tertulisnya, Human Rights Watch menilai penangkapan tersebut "dilatarbelakangi oleh motif politik". Presiden Joko Widodo juga diminta untuk "secara terbuka di depan publik memerintahkan pasukan yang terlibat dalam operasi keamanan di Papua bertindak sesuai dengan hukum internasional, dan harus bertanggung jawab jika melanggarnya."
Victor Yeimo, juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ditangkap Minggu (09/05) lalu di Jayapura, Papua. Menurut Kapolda Papua, Irjen Mathius D Fakhiri, di Jayapura, Senin (10/05), Victor tidak hanya tersandung satu kasus, tetapi ada beberapa masalah lainnya. Namun, Fakhiri belum menyebut kasus-kasus lain apa yang disangkakan kepada Victor.
"Kami sedang menggali semua laporan polisi yang ada, nanti proses tetap berjalan sesuai masing-masing LP, biar saja dia sampai tua di penjara," kata dia.
Victor yang merupakan orator dan koordinator dalam sejumlah aksi di Papua diduga melakukan tindak pidana makar atau menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 jo Pasal 87 KUHP atau Pasal 110 KUHP yang memicu ricuh di Papua September 2019 lalu.
Pengacara Victor Yeimo ajukan 'urgent appeal' ke PBB
Veronica Koman yang telah menerima kuasa dari Victor Yeimo sebagai pengacara internasionalnya mengatakan kepada ABC Indonesia bahwa hari ini ia akan mengajukan 'urgent appeal' kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Victor ditangkap tanpa surat penangkapan. Tapi seharusnya, dalam surat penangkapan tertulis, dia ditangkap atas peristiwa apa dan diduga melanggar pasal apa, sehingga dalam pemeriksaan, dia hanya akan diperiksa di sekitar itu saja."
"Tapi pernyataan Kapolda sudah secara gamblang mengatakan bahwa dia akan mengkriminalisasi Victor, jadi ini menjadi urgent untuk PBB turun tangan menekan Indonesia untuk melepas Victor, tanpa syarat dan secepatnya," tambah Veronica Koman.
Selain itu, sebagai kuasa hukum Victor, Veronica mengatakan bahwa dia akan menyampaikan kepada PBB setiap ada perkembangan, baik soal perlakuan yang didapatkan Victor di dalam penjara atau perkembangan dalam interogasi lanjutan.
Veronika menilai, pelibatan PBB menjadi pilihan karena dugaan upaya kriminalisasi pada Victor dilakukan oleh aktor negara.
Label 'teroris' dikhawatirkan akan menimbulkan stigma baru
Penangkapan Victor dilakukan saat operasi militer di Papua meningkat sebagai reaksi dari insiden terbunuhnya Brigjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya dalam sebuah penyergapan 25 April lalu. Danny Nugraha adalah jenderal pertama yang tewas selama lima dekade konflik intensitas rendah di Papua.
Victor Yeimo menyebut kematian Danny Nugraha sebagai “tumbal” keengganan pemerintah dan parlemen Indonesia dalam mencari solusi politik di Papua.
Buntut dari insiden ini, Pemerintah Indonesia pada 29 April lalu resmi mengategorikan kelompok bersenjata di Papua, yang bernama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), sebagai organisasi teroris.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pelabelan tersebut berdasarkan usulan dari tokoh masyarakat dan pemerintah daerah Papua, serta aparat keamanan.
IklanScroll Untuk Melanjutkan"Maka apa yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris," ujar Mahfud.
Menanggapi hal itu, Gubernur Papua Lukas Enembe meminta pemerintah pusat mengkaji kembali keputusan melabel Kelompok Kriminal Bersenjata sebagai teroris. Ia khawatir pemberian label itu akan memberi stigma negatif terhadap masyarakat Papua.
Menurutnya, terorisme adalah konsep yang selalu diperdebatkan dalam ruang lingkup hukum dan politik. Dengan demikian, penetapan KKB sebagai kelompok teroris perlu ditinjau dengan seksama dan memastikan objektivitas negara.
"Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi warga Papua yang berada di perantauan," kata Lukas.
Sejumlah pihak kaji penyebab jaringan internet mati di Papua
Sehari setelah pemerintah mengumumkan kategori teroris pada KKB, pada Jumat malam (30/04) jaringan internet di Jayapura putus dan tidak bisa digunakan.
Dari pantauan tim Bumi Papua yang dilaporkan Kumparan, penggunaan telepon dan SMS baru bisa dilakukan, pada Sabtu siang (01/05). Hilangnya jaringan Internet tersebut disebabkan putusnya kabel optik Telkom di wilayah Jayapura antara Sarmi dan Biak.
Hingga Senin (10/05) pekan ini, PT Telkom Indonesia masih memperbaiki kabel laut Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak-Sarmi yang putus dan mengganggu jaringan internet di Jayapura, Papua.
"Kami memperkirakan proses pencarian, pengangkatan dan penyambungan kabel akan selesai pada minggu pertama Juni 2021," kata Vice President Corporate Communication Telkom, Pujo Pramono kepada TEMPO yang memperikaran perbaikan baru akan selesai Juni mendatang.
Namun, beberapa pihak mengingatkan pentingnya melihat konteks dari terputusnya jaringan internet di Kota dan Kabupaten Jayapura, dan Sarmi pada rentang waktu 30 April hingga 9 Mei.
Ini karena sebelumnya terjadi pula rentetan serangan digital yang dialami sejumlah aktivis dan jurnalis di Jayapura, Papua. Di antaranya doxing terhadap redaksi Jubi, serta penyebaran SMS palsu bahwa OPM yang menembak dua guru di Beoga adalah teroris dan pelanggar HAM.
"Mengenai penyebab terputusnya jaringan kabel bawah laut, SAFEnet dan sejumlah organisasi masih berusaha menyelidiki informasi dari jaringan telekomunikasi milik pemerintah dan pernyataan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang menyebutkan setidaknya ada dua penyebab: karena Pemeliharaan Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) segmen PT Telkom Biak-Sarmi atau karena pergeseran lapisan bumi di dasar laut. Atau karena alasan politik selain penyebab alami dan teknis?" demikian isi pernyataan yang diterima ABC Indonesia dari SAFEnet.
Menurut SAFEnet, peristiwa ini bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk "serangan digital" jika jaringan kabel bawah laut rusak dan penanganan yang berlarut-larut disengaja, karena berdampak pada masyarakat luas di Jayapura, terutama media yang tidak bisa mengakses informasi seperti biasa.