Di hari-hari terakhir masa kepresidenannya yang 'liar dan berdarah', Rodrigo Duterte merasa sedih karena ada beberapa hal yang belum dicapainya sebagai presiden Filipina.
"Sebelum saya pergi, mari kita bereskan tiga atau lima bandar narkoba," katanya.
"Saya ingin membunuh mereka. Saya tidak ingin mereka hidup," tambah Presiden Duterte.
Sejak dilantik pada tahun 2016, Duterte mengatakan Filipina memiliki satu musuh bersama: perdagangan narkoba.
Sejalan dengan klaimnya bahwa setidaknya ada 3 juta pecandu yang harus "dibantai", Duerte mengatakan akan menawarkan ganjaran kepada polisi yang berhasil membunuh para pengguna dan pengedar.
Pertumpahan darah pun terjadi.
Perkiraannya bervariasi, tapi Pemerintah Filipina mengatakan lebih dari 6.000 orang telah tewas dalam operasi anti-narkoba selama enam tahun terakhir, di samping lebih dari 300.000 penangkapan.
Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) memyebut jumlah korban yang meninggal mendekati 30.000 bila menghitung kematian anti-narkoba di tangan pembunuh bayaran.
Namun, metode ini dinilai gagal mengurangi perdagangan narkoba secara nasional, sehingga membuat pendukung setia sang presiden menyerukan tindakan yang lebih halus.
Pengganti Duerte, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr, berada di bawah tekanan untuk merombak taktik brutal tersebut.
Pembunuh, ganjaran, dan anak-anak yang meninggal
Sementara Duterte sering menggambarkan Filipina sebagai "narco-state" atau "negara narkoba" yang dibanjiri metamfetamin, data yang ada menunjukkan situasi yang lebih kompleks.
Kantor PBB bidang Narkoba dan Kejahatan mengklaim pada tahun 2007 bahwa Filipina memiliki prevalensi tertinggi pemakaian sabu di dunia.
Berselang beberapa tahun kemudian, kantor yang sama mengatakan negara tersebut memiliki tingkat prevalensi pengguna narkoba yang rendah dibandingkan dengan rata-rata global.
Namun penentangan Duterte terhadap narkoba masih menjadi kampanye yang populer dan meluas.
Ini dimulainya setelah Pemilu tahun 2016, yang melibatkan penangkapan massal, penembakan oleh polisi, dan pembunuhan terhadap tersangka pengedar dan pengguna narkoba.
Duterte juga membentuk satuan tugas nasional yang berfokus pada pemakaian dan perdagangan narkoba, menganjurkan penembakan secara terbuka, dan bahkan menyerukan pembunuhan mereka yang mengkritik kampanye kekerasannya.
Kelompok HAM percaya bahwa penembakan tidak dilakukan petugas polisi, melainkan pembunuh bayaran yang terhubung dengan penegak hukum, yang disebut "pasukan kematian".
Belasan anak dan remaja tewas dibunuh, sama nasibnya dengan lebih dari selusin walikota dan pejabat publik lainnya.
Kritikus mengatakan kebanyakan korban ini bahkan tidak terlibat dalam perdagangan narkoba.
Tahun lalu Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dibentuk untuk menyelidiki beberapa pembunuhan anti-narkoba, termasuk tuduhan bahwa polisi mengarang bukti tentang bagaimana penembakan yang dilakukannya adalah upaya membela diri.
Tetapi ICC mundur ketika Departemen Kehakiman Duterte berjanji untuk mengadakan penyelidikannya sendiri atas kasus-kasus tersebut.
Orang miskin sering menjadi sasaran
Walau kampanye narkoba ini memuncak di awal tahun pemerintahan Duterte, menurut data dari organisasi penelitian yang berbasis di Amerika ACLED, puluhan kematian terkait dengan upaya anti-narkoba pada tahun 2021 masih terjadi.
Meski Duterte bersumpah untuk menargetkan "raja narkoba" dalam "perangnya", sebagian besar yang terbunuh dan dipenjara adalah orang dari kalangan miskin.
"Untuk memberi makan keluarga, Anda perlu menjual narkoba," kata Bilog, seorang pengedar sabu di Masambong.
Tempat tinggal Bilog terletak di pusat "perang narkoba" di kota Quezon — bagian dari wilayah ibukota Manila.
Pria berusia 49 tahun itu dipenjara selama lebih dari dua tahun dalam periode pemberantasan keras Duterte.
Tapi begitu dibebaskan, Bilog kembali berbisnis.
Ia hidup di gubuk satu kamar yang lembab bersama dengan dua putra remajanya yang juga adalah pengedar sabu.
"Ini adalah sumber pendapatan kami sehingga kami akan terus melakukannya terlepas dari apa yang terjadi," katanya.
"Perang narkoba menghancurkan keluargaku dan setiap keluarga di Filipina yang menjual narkoba."
Dua tahun penahanannya menjerumuskan keluarganya lebih jauh ke dalam kemiskinan.
Bilog mengatakan menghasilkan uang menjadi lebih mudah saat ini karena memiliki pemasok yang dapat diandalkan.
"Para pengedar yang dijebloskan ke penjara tentu saja kembali berjualan setelah keluar dari penjara," katanya.
Seorang aktivis sosial mengatakan sebenarnya ada cara lain bagi mereka yang berada di kelas ekonomi bawah untuk mendapatkan penghasilan, tetapi perdagangan narkoba dipandang sebagai "uang mudah".
Meskipun demikian, para pendukung korban perang narkoba menyebut perdagangan narkoba yang terus berlangsung di kalangan orang miskin seharusnya mendorong pemerintahan Bongbong Marcos untuk meninjaunya kembali.
Saat Duterte mundur, putrinya maju
Selama kampanye kepresidenannya, Ferdinand Bongbong Marcos Jr berjanji untuk mempertahankan kebijakan anti narkoba Duterte, tetapi menyebut dia akan "melakukannya dengan cinta".
Ia menjanjikan tambahan dana untuk program rehabilitasi dan untuk menggeser arah penegakan kampanye kepada "ikan besar", bukan yang rakyat di kelas ekonomi bawah.
Namun pendukung Presiden Marcos cenderung mendukung kampanye anti-narkoba Duterte, meski mendukung perubahan di dalamnya.
"Duterte melakukan bagian yang sulit untuk mengubah negara, mengguncang rakyat, dan membangunkan mereka," kata Vince Avena, komentator di Manila yang mendukung kampanye Bongbong Marcos.
Pemilihan putri Duterte, Sara, sebagai Wakil Presiden Filipina menggarisbawahi kelanjutan kebijakan "keras terhadap kejahatan" yang sedang diupayakan pemerintah baru.
"Saya hanya berharap pemerintahan baru tidak hanya melihat [masalah narkoba] dari perspektif kriminal," kata Gwen Pimental Gana, komisaris HAM Filipina.
"Perang narkoba harus dikalibrasi ulang untuk mengenali sifat multidimensi ketergantungan narkoba di negara ini."
Selain perubahan taktik, ia juga berharap korban pembunuhan di luar proses hukum mendapatkan keadilan.
"Pelaku harus bertanggung jawab," katanya.
Tekanan dari penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional tampaknya telah mendorong pemerintahan Duterte untuk meninjau lusinan kasus penembakan polisi yang dianggap tidak adil.
Departemen Keadilan telah merekomendasikan penuntutan terhadap 154 petugas polisi dari peninjauan 52 kasus tahun lalu.
Namun, ini akan menjadi penantian panjang untuk jawaban dan keadilan bagi keluarga mereka yang terbunuh.
Dan tanpa perubahan budaya keseluruhan kebijakan anti-narkoba, para kritikus khawatir akan ada lebih banyak kematian.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris