Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah tak punya sikap diplomatis untuk memprotes kematian imigran di Malaysia.
Penindakan hukum oleh pemerintah terhadap agensi pengirim imigran ilegal lemah.
BP2MI pernah melayangkan protes kepada pemerintah Malaysia.
JAKARTA – Kakak-adik itu masih anak-anak. Sang kakak, Khairil, 9 tahun dan adiknya, Hasril, 5 tahun. Dalam usia sangat belia itu, mereka harus merasakan kenyataan hidup yang sangat pahit. Delapan bulan mereka mendekam di rumah tahanan imigrasi (Depot Tahanan Imigresen/DTI) Tawau, Sabah, Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tempat itu pula mereka kehilangan sang ayah yang selama ini menjadi sandaran hidup. “Kami temukan mereka di Pelabuhan Tunon Taka, Nunukan, pada Oktober 2021,” kata Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), Abu Mufakhir, kepada Tempo, kemarin. “Mereka kami pulangkan ke rumah neneknya di Bulukumba, Sulawesi Selatan.”
Mereka dilahirkan di sebuah kawasan perkebunan sawit di Lahad Datu, Tawau, Sabah. Kelahiran mereka tak pernah tercatat dalam administrasi otoritas Sabah ataupun di Kabupaten Bulukumba—tempat kelahiran bapak-ibunya.
Pada Maret 2021, Aris mengajak kakak-adik itu pulang ke Bulukumba. Nahas, truk pengangkut sawit yang mereka tumpangi terjaring razia kepolisian Malaysia. Mereka dijebloskan ke DTI Tawau bersama puluhan imigran lain yang ikut terjaring. Kondisi rumah tahanan yang sangat tidak sehat membuat Aris sakit. Kesehatannya semakin menurun karena tidak mendapat perawatan yang layak. Pria berusia 40 tahun itu meninggal pada 25 September 2021 di depan anak-anaknya.
Abu mengatakan, kisah tragis yang menimpa Aris dan kedua anaknya itu menjadi potret suram penanganan buruh migran Indonesia di Sabah. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami nasib serupa Aris. “Pemerintah Indonesia tidak pernah berani memprotes pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa imigran asal Indonesia,” ujar Abu.
Abu tidak asal tuduh. Berdasarkan penelusuran Tim Pencari Fakta KBMB, pada medio 2020-2022, ribuan buruh migran Indonesia kerap mendapat penyiksaan ketika berada di rumah tahanan imigrasi Sabah. Awalnya, tim menemukan data sebanyak 12.800 imigran gelap dari berbagai negara yang ditangkap oleh otoritas pemerintah Malaysia.
Petugas membawa Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sakit saat proses deportasi di Perbatasan Tebedu Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 7 Januari 2021. ANTARA/Agus Alfian
Pada penelusuran selanjutnya, tim KBMB mencatat, pemerintah Malaysia telah mendeportasi sebanyak 7.673 imigran yang 1.700 di antaranya dipulangkan ke Indonesia. Sedangkan mereka yang belum dideportasi ditahan di DTI Sabah yang tersebar di lima wilayah.
Kemudian, berdasarkan sebuah dokumen dari Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia, KBMB menemukan laporan tentang 149 WNI yang meninggal di dalam penjara sepanjang 2020-2022.
Tim KBMB menemukan indikasi, para imigran mendapat penyiksaan selama berada di rumah tahanan imigrasi. Para imigran juga tidak mendapat perlakuan layak sebagai tahanan. Tidak jarang makanan yang mereka terima sudah basi. Bahkan tahanan yang sakit tidak mendapat pengobatan.
Abu meyakini data-data itu valid dan diketahui oleh Kementerian Luar Negeri, Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia, hingga Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu. Namun dia heran pemerintah tidak pernah menindaklanjuti temuan-temuan itu. “Politik diplomasi kita sangat lemah, sehingga kejahatan struktural ini terus langgeng,” katanya.
Sumber Tempo di Kementerian Luar Negeri tidak membantah pernyataan Abu. Ia menilai, masalah itu berhulu pada penyelundupan pekerja migran ilegal ke Malaysia yang tetap langgeng hingga sekarang. “Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang dibentuk pemerintah, justru berpikir ego sektoral dan tak pernah menjerat perusahaan agensi yang menjadi penyalur tenaga kerja ke Malaysia,” katanya.
Sumber itu lantas menunjukkan sebuah dokumen negara berupa daftar pengiriman imigran yang dideportasi dari Malaysia menuju Indonesia. Dalam setiap dokumen, tercatat ratusan nama deportan dengan berbagai latar belakang, termasuk catatan masuk ke Malaysia tanpa dokumen dengan cara diselundupkan oleh agensi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, tidak bersedia menjawab pertanyaan Tempo seputar nasib buruh-buruh migran itu. “Coba dengan Pak Judha yang menangani isu ini,” kata dia. Judha yang ia maksudkan adalah Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha. Namun, hingga tadi malam, Judha belum memberi jawaban.
Adapun Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Rafail Walangitan, memilih menjawab secara diplomatis. “Kami di perwakilan terus bekerja memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia,” katanya. “Jika ada masalah, maka kami usahakan maksimal selesaikan. Penilaian gagal atau tidak adalah hak publik.”
Rafail sebelumnya juga membantah ihwal laporan KBMB yang mendapat dokumen catatan kematian sebanyak 149 imigran asal Indonesia pada medio 2020-2022. Menurut dia, kasus kematian yang mereka catat hanya 9 orang itu pun karena sakit dan terinfeksi Covid-19. Dia memastikan tidak pernah menemukan adanya penyiksaan terhadap para imigran asal Indonesia, apalagi yang mengakibatkan kematian.
Derita Buruh Migran
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. hanya membaca pertanyaan yang dikirim Tempo tanpa memberikan tanggapan. Sedangkan Wakil Menteri Tenaga Kerja Afriansyah Noor menepis anggapan Tim Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang lemah dalam menindak pengiriman imigran ilegal ke luar negeri. “Tidak lemah, tapi memang tidak ada koordinasi dengan baik. Jadi, semua kementerian dan lembaga berjalan sendiri-sendiri,” ucap dia.
Afriansyah berjanji bakal berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk dengan Mahfud Md. dalam upaya penegakan hukum. Dia tak menampik bahwa selama ini pemerintah masih direpotkan oleh perusahaan agensi yang terus memberangkatkan imigran asal Indonesia secara ilegal. Mereka biasanya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau buruh perkebunan sawit, dan sektor lain tanpa skill. “Bos-bos perusahaan ini mengirim, lalu lepas tanggung jawab.”
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, mengatakan telah mendapat informasi tentang perlakuan buruk terhadap pekerja migran Indonesia yang ditahan imigrasi Malaysia. “Ketika imigran ditangkap, kadang kala terjadi perampasan harta dan barang berharga, seperti handphone, uang, gelang, kalung, dan itu tidak dikembalikan oleh oknum otoritas setempat,” ucap Benny.
Secara kelembagaan, kata Benny, pihaknya sudah melayangkan protes kepada Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia di Jakarta. Namun protes itu tak pernah mendapat tanggapan.
AVIT HIDAYAT | IMA DINI SHAFIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo