Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM tak melarutkan bo-cah berusia tiga tahun itu da-lam kantuk. Ia sibuk bergelayut atau duduk di pangkuan ayahnya, meski jam menunjukkan pukul 22.00. Balita itu malah melonjak-lonjak ketika sang ayah, Fa-dloli el Muhir, meneriakkan yel-yel Fo-rum Betawi Rempug (FBR): ”Betawi... hi-dup. FBR... rempug. Yang kurang ajar... hajar. Jabodetabek... rebut.” Yel-yel itu disambut tempik-sorak 210 ke-tua gardu dan pimpinan FBR lainnya.
Gemuruh keplok itu menambah semangat Ketua Umum FBR itu untuk memulai pidato dengan intro khasnya: menjelaskan soal hak dan ke-wajiban ahlul koriah atau tuan rumah. Orang Betawi, katanya, se-bagai tuan rumah tanah Jakarta selama ini dizalimi pemerintah dan warga pendatang. ”Kita hanya menerima polusi dan sampahnya,” ujarnya. Ucapan itu di-sambut tepukan ketua gardu se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang hadir di pesantrennya malam itu.
Fadloli yang juga pengasuh Pe-san-tren Ziyadatul Mubtadi’ien di Penggi-li-ngan dan Pondok Kopi, Jakarta Ti-mur, itu mengecam developer dan pen-datang, khususnya warga Madura, yang mengambil tanah warga Betawi. Ia juga menyalahkan perusahaan dan pa-brik yang tidak mempekerjakan orang Betawi di sekitar mereka. Untuk itu, dia meminta para ketua gardu mempersiapkan kader FBR menguasai kursi pejabat di semua lini—mulai dari kelurahan, dewan kota, hingga partai politik. ”FBR harus menjadi pelopor revolusi sistem warga Betawi.” Dalam pidato yang disampaikan setahun silam itu ia juga membeberkan strategi untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2007.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal FBR Lutfi Hakim juga meminta anak buahnya menguasai Balai Kota Jakarta. ”Yang mendominasi posisi pejabat di sana itu masih dari Batak, Bima, dan Kuningan,” ia berteriak lantang. ”Lihat itu Dinas Tramtib (Ketenteram-an dan Ketertiban) dikuasai orang-orang Batak.” Pidato itu makin membakar suasana para pendukung FBR yang duduk di atas tikar di Aula At-Tien—pembangunan gedung ini memang disumbang Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto dan ke-luarga Cendana lainnya—Pesantren Ziyadatul Mubtadi’ien.
Pada awal wejangan, Fadloli memperkenalkan Tempo kepada anak buahnya sambil berkata, ”Tidak se-perti ormas lain kalau rapat kerja di hotel atau gedung megah. FBR rapatnya sederhana seperti ini,” ujar Fadloli. Rapat yang berlangsung pada a-khir September 2005 itu cuma bermodal- kursi plastik, tikar, pengeras suara, aula pesantren, dan suguhan pisang serta kacang goreng.
Fadloli adalah orang yang disegani warga Betawi. Suara bariton lelaki yang pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung periode 1998-2001 itu bisa menggerakkan anggota-nya dari seluruh sudut Jabodetabek. Itulah yang terjadi pada milad kelima FBR pada 30 Juli lalu. Biarpun matahari persis di atas ubun-ubun, lapangan Monas, Jakarta, saat itu dijejali ribuan anggota—organisasi ini mengklaim dihadiri 20 ribu orang—FBR berseragam hitam-hitam.
”Saya membawa 90 anggota,” kata Abdul Rakib, Ketua FBR Gardu 012 yang bermarkas di Kelurahan Jatine-gara, Jakarta Timur. Rakib dengan kumis beruban dan seragam mirip polisi divisi Brigade Mobil siang itu tampak gagah. Di bagian belakang seragamnya tertulis ”Hantu Laut” warna merah. Tulisan senada juga tertera pada kaus dan jaket anak buahnya.
Hantu Laut memang nama Gardu- 012. Di kalangan anggota FBR, mere-ka senang ”berlomba” membuat nama gar-du yang gagah atau sangar. Ada yang memberi nama Singa Oetara, Ka-long Liar Sunter, Gagak Hitam, Ku-cing- Hitam dari Timur, dan lainnya. Na-ma Hantu Laut itu ciptaan guru Ab-dul Rakib, seorang ajengan di Ciparigi-, Su-kabumi. ”Nama itu diambil dari suluk- yang berbunyi Si Gugur Si Hantu Laut,” kata lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai anggota satuan peng-aman di Lippo Cikarang itu.
FBR memang berkibar cepat di wi-la-yah Jabodetabek bak cendawan di mu-sim hujan. Lima tahun lalu, pada 15 Ju-li-, beberapa tokoh Betawi berkumpul di pesantren Fadloli. Di sana me-reka cur-hat mengenai persoalan hidup yang ma-kin sulit bagi warga Betawi. Ada yang mengaku tanahnya diserobot pen-da-tang. Ada pula yang mengeluh ke-suli-tan mencari kerja. Dari sekum-pu-l-an cerita suram itulah lahir organi-sa-si yang tak cuma membela, tapi juga men-ca-rikan pekerjaan buat anggotanya. Maka ribuan warga Betawi pun berbondong-bondong minta dibaiat. Itu karena, ”Kami bisa memberikan rasa aman bagi warga,” kata Lutfi.
Karena urusan membela perut Beta-wi- inilah kemudian terjadi sejumlah gesekan. Di kawasan industri Puloga-dung-, Jakarta Timur, misalnya, pada 2001 beberapa pengusaha mengeluhkan- ulah FBR yang minta ”jatah”, yakni sebagian anggotanya diangkat men-ja-di karyawan di kawasan itu. Di Per-tokoan Cempaka Mas mereka ham-pir- bentrok dengan pengelola soal jatah- itu.
Belakangan FBR tak cuma meng-urusi soal tanah atau ”urusan perut” warga Betawi. Pada 29 Maret 2002, puluhan anggota organisasi ini menye-rang pengunjuk rasa dan aktivis Urban Poor Consortium yang berdemonstrasi di halaman kantor Komisi Nasio-nal Hak Asasi Manusia.
Juni lalu, ratusan anggota FBR berdemo di rumah Inul Daratista di Pondok Indah, Jakarta. Mereka menuntut Inul keluar dari Jakarta setelah penyanyi asal Pasuruan ini ikut pawai Bhinneka Tunggal Ika yang memprotes pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Serentetan tindakan itu membuat sebagian orang menuding FBR organisasi yang kerap melakukan kekerasan dan bisa mengancam keber-samaan.
Tudingan itu ditampik Fadloli. Dia mengatakan, secara institusi FBR tidak melakukan kekerasan. ”Itu hanya oknum anggota, yang jumlahnya ratus-an ribu,” kata pria yang gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah wakil Jakarta itu. ”Di TNI dan Polri pun ada oknum-oknumnya yang melakukan kekerasan.’’
FBR bukanlah satu-satunya organisasi yang membela warga Betawi. Saat ini sedikitnya ada 75 organisasi- serupa. Contohnya Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Perhimpunan Masyarakat Betawi, Perkum-pulan Orang Betawi, Ikatan Keluarga Betawi Tanah Abang. Mereka semua punya misi yang mirip, yakni menjadikan warga Betawi sebagai jawara dan tuan rumah di Jakarta.
Konsep jawara atau jago sudah ada se-jak zaman kolonial Belanda. Saat itu, ja-wara atau jago sama elitenya dengan ki-ai. Menurut sejarawan Onghokham, ja-go di masa itu biasanya menjadi tukang- pukul penguasa. ”Dan raja tidak lain adalah seorang super-jago,” kata Ong.
Antropolog Henk Schulte Nor-dholt- mencatat, jago berasosiasi sebagai- ”orang kuat” lokal. Menurut Nordholt-, jago ini bisa menjelma menjadi pah-lawan pembela kampung seperti Si Pitung, ”Robinhood Betawi”, atau menjadi so-sok yang yang akrab dengan budaya kekerasan dan memiliki relasi dengan penguasa lokal alias preman.
Setelah era Presiden- B.J. Habibie yang meng-gu-lirkan kebijak-an oto-nomi da-erah, peran kelompok jago ini ber-mun-culan. Di Bandung berdiri Gabungan Ini-siatif Barisan Anak Siliwangi (Gibas). Di Ban-ten, Lombok, Bali, dan Kalimantan juga lahir organisasi seperti itu.
Di Jakarta, selain puluhan organi-sasi Betawi, ada lagi organisasi yang selalu menjadi sorotan karena aksi-nya, yakni Front Pembela Islam (FPI). Organisasi ini dibentuk Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab pada 17 Agustus 1998. ”FPI lahir karena maraknya kemunkaran dan kemaksiatan di Indonesia,” kata Rizieq kepada Tempo pada Juni silam, saat ditemui di sela-sela kesibukannya membantu warga Bantul yang terkena gempa.
Itulah sebabnya FPI giat merazia diskotek dan bar, tempat yang dianggap maksiat. Namun aksi itu dalam beberapa pekan terakhir mereda. Konon, petinggi FPI mendapat jaminan dari Kepala Polri Jenderal Sutanto bahwa polisi bakal menindak tempat perjudian dan mesum. Mereka kini menggunakan senjata lain, yakni gugatan hukum. Itu yang dilakukan terhadap model Playboy.
Kata Rizieq, ”Jika polisi sudah mene-gak-kan hukum, FPI tidak perlu turun ke jalan lagi. Nah, saat itu FPI bahkan akan bubar dengan sendirinya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo