Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Heni, Gadis Tionghoa

Ragam cerita diskriminasi etnis Tionghoa mengalir turun-temurun. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru tak cukup untuk mengakhirinya.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEHLAH kita sebut Heni ga-dis yang "beruntung". Ia memang gagal disunting pria Taiwan yang mengumbar janji mem-berikan "surga" buatnya, ta-pi kita tahu surga tak pernah turun ke bumi bagi gadis 23 tahun itu.

Syahdan, Heni hendak disunting seorang warga dari negeri Cina sempalan itu. Namun, sejak tiga bulan silam, bahtera perkawinan urung diarunginya lantaran sang kekasih ngambek. Soalnya sang gadis berkulit langsat ini tak patuh pada perintah calon suaminya. Menurut Lin Che, ibu Heni, anaknya masih senang keluyuran. Ini yang bikin sewot calon suami-nya. "Maklum, dia kan umurnya sudah 65 tahun," kata Lin Che. "Gigi-nya saja sudah abis semua," ujar Heni ceki-kik-an. Rencananya, ia bakal jadi istri ketujuh lelaki renta itu.

Heni hanyalah satu dari belasan gadis di Kampung Belakang, Kelurahan Kamal, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, yang jadi sasaran perburuan lelaki Taiwan mencari istri muda. Ketimbang meminang gadis Filipina atau Thailand yang lebih mahal, ber-buru perempuan Tionghoa di kampung miskin, sekitar 7 kilometer dari bandara internasional Soekarno-Hatta, jauh lebih irit.

Pertunangan biasanya diperantarai- calo dari Medan atau Pontianak. Se-bulan tiga kali mereka datang ke sana. Selain mencarikan jodoh, surat kawin di Indonesia dan Taiwan pun diurus oleh mereka. Tak kurang dari Rp 100 juta mesti disetor kepada calo oleh para lelaki Taiwan itu.

Untuk pesta perkawinan, uang Rp 5 juta biasanya mengalir ke kantong keluarga mempelai wanita. Tapi di acara sangjit -upacara pernikahan-biasa-nya si pria Taiwan tak nongol. Tinggallah si mempelai wanita seorang diri di pelaminan. Sesudahnya, si wanita diinapkan di hotel seminggu. Dan resmilah sang Arjuna menyunting lalu memboyongnya ke Taiwan.

Banyak cerita, sesampainya di Taiwan, segala mimpi indah para wanita Kampung Belakang itu buyar. Alih-alih keluar dari jerat kemiskinan, yang dijumpai justru tipu daya. Pria yang dinikahinya ternyata bukanlah pemilik pabrik seperti digembar-gemborkan, melainkan cuma seorang buruh kecil. Mengaku punya bengkel, ternyata cuma montir.

Apa mau dikata. Si mempelai wanita tak bisa gampang-gampang memutuskan tali perkawinan dan balik ke Indonesia. Sedikitnya butuh dana dua kali lipat (sekitar Rp 200 juta) untuk menebus dendanya. Itu pula yang kini dialami kakak Heni, yang terpaut dua tahun darinya. "Baru seminggu, dia sudah nggak betah," kata Lin Che li-rih merenungi nasib anaknya.

l l l

BUAT Lin Che, memilih Taiwan sebagai tempat baru bagi putri-putrinya cuma karena satu alasan: bagaimana bebas dari kemiskinan yang berseng-karut. Beranak enam dengan suami pengangguran, ia tak kuasa menanggung hidup. "Kalau nggak kuat, bisa-bisa masuk (rumah sakit jiwa) Grogol," ujarnya menghela napas.

Beban ini kian berat menindihnya karena masa depan sepertinya tak bakal pernah terang buatnya. Ia dan semua anggota keluarganya hingga kini tak mengantongi selembar pun surat-surat identitas diri-kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga, akta kelahiran, surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI), ataupun akta nikah. Padahal, tanpa itu semua, gerbang pekerjaan formal tertutup rapat.

Upaya untuk memiliki surat-surat itu bukan tak pernah dilakoni, namun kerap membentur tembok. Sebab, pembuatan KTP, akta nikah, maupun akta kelahiran membutuhkan SBKRI-yang kini bakal dihapuskan dengan terbitnya UU Kewargane-garaan yang baru, Juli lalu. Padahal, ia tak punya surat sakti itu.

Mau tak mau, ia h-arus mengurus dulu SBKRI. -Persoalannya ini bukan perkara gampang. Pro-ses-nya kerap berbelit-belit. Kalau mau lancar, jalan pintas "nembak" alias menyogok aparat harus ditempuh. Biayanya, jelas, aduhai: Rp 1-2 juta. "Bagaimana saya punya uang segitu? katanya meradang.

Lin Che tak sendirian dalam soal ini. Dari data Departemen Dalam Negeri pada 1995 diketahui baru sekitar 110 ribu-dari 209 ribu-warga asing Tionghoa yang diberikan kewarganegaraan Indonesia saat digelar program naturalisasi.

Sebagian besar yang tercecer itulah yang hingga kini bermukim di daerah-daerah Cina Benteng di perbatasan -Jakarta Barat-Tangerang, se-perti Tegal Alur, Dadap, Kosambi, juga Kampung Belakang. Di Kampung ini sekitar 300 kepala keluarga-hanya lima keluarga yang non-Tionghoa-ber-nasib sama dengan Lin Che.

Beruntung Serna Mira mendapat pertolongan dari Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia (LADI). Warga Kampung Belakang kelahiran Jakarta, 57 tahun, silam itu kini sudah me-ngantongi KTP. "Ini baru saya dapatkan, 30 Juni lalu," ujarnya bangga.

Serna yang bernama asli Tjung Kim Kay sebetulnya sudah punya SBKRI sejak 1980 saat dilakukan program pemutihan. Tapi, ia tak lantas meng-urus surat-surat lainnya. Soalnya, lagilagi terbentur dana. Maklum, Dadang alias Oey Da Teng, suaminya, hanya lah -buruh migran dari Tegal Alur.

Uang jerih payah anaknya pun tak bisa diharapkan. Salah seorang anak lelaki-dari delapan anaknya-cuma pedagang air keliling. Pendapatannya satu galon Rp 15 ribu. Karena itu, ia tak kuat jika harus membayar biaya pengurusan KTP ratusan ribu rupiah, yang normalnya cuma 10 ribu perak. Padahal, tanpa KTP itu, ia tak kebagian dana kompensasi kenaikan harga BBM buat rakyat miskin Rp 300 ribu; meski untuk urusan pemilu ia selalu diminta menyetorkan suaranya.

l l l

PERSOALAN diskriminasi yang ujung-ujungnya duit ini, menurut aktivis LADI, Liliana, 35 tahun, memang menjadi salah satu penghalang utama pengurusan surat-surat di kalangan warga Tionghoa miskin. Itu sebabnya, sebagai salah seorang warga Kampung Belakang, ia dan suaminya pun lama tak punya SBKRI dan surat-surat lain. Pendapatannya sudah terkuras habis untuk menutup biaya sewa rumah Rp 300 ribu per bulan plus biaya hidup lima anaknya. Padahal, gara-gara tak punya SBKRI, "Suami saya gagal dapat paspor untuk bisa bekerja di Korea," ujarnya.

Lihat juga pengalaman warga Tiong-hoa miskin di Tegal Alur, kata Lili. Pendapatannya dari membersihkan kerang laut sangat minim. "Satu kaleng biskuit Khong Guan kerang laut dapatnya cuma Rp 2.500."

Melihat kenyataan itu, koordinator LADI, Rebeka Harsono, mewanti-wanti agar upaya memerangi diskriminasi dibarengi dengan penghapusan diskriminasi biaya administrasi kependudukan. "Tak semua orang Tionghoa kaya-raya," katanya.

Suma Mihardja dari LSM Konsorsium Catatan Sipil juga mencatat sederet pekerjaan rumah lainnya. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru, setiap bayi yang lahir di Indonesia kini memang otomatis menjadi WNI. Begitu pula untuk anak berusia kurang dari 18 tahun yang mencatatkan diri dalam waktu tiga tahun.

Persoalannya, bagaimana jika anak-anak itu, termasuk orang tua-nya, tak punya secarik pun surat bukti diri-nya lahir di Indonesia? Belum lagi soal warga Tiong-hoa di atas 18 tahun yang be-lum di-atur solusinya. Untuk itu, kata Ke-tua Panitia Khusus UU Kewar-ga-nega-ra-an, Slamet Effendy Jusuf, "Harus dilakukan pemutih-an."

Persoalan lain yang masih menggantung: masih ada sederet aturan yang mencan-tum-kan SBKRI sebagai persyaratan. Con-tohnya, UU tentang Catatan Si-pil yang mengatur kelahir-an, perkawin-an, dan perceraian.

Mengacu pada hukum peninggal-an Belanda, sistem pencatatan ini memang dimaksudkan untuk membedakan seseorang berdasarkan penggolongan Eropa, orang Kristen (terbatas di Minahasa, Jawa, Madura, Ambon, Saparua), dan Tionghoa. "Nah, jika aturan ini tak dicabut, bisa saja Kantor Catatan Sipil tetap minta -SBKRI," kata Suma.

Pengalaman pahit itu pula yang dialami pasangan Kingson dan Sarwini beberapa tahun silam. Menyunting Sarwini yang asli Wonogiri, Kingson yang Tionghoa kelahiran Medan memutuskan membuat akta nikah berdasarkan aturan "pribumi" di Wonogiri. Eh, keputusan ini ternyata mendatangkan persoalan.

Ketika putri mereka lahir, pembuatan akta kelahirannya terganjal. Biang keladinya, akta nikah mereka dianggap salah pencatatan: seharusnya dibuat berdasarkan aturan etnis Tiong-hoa. Surat pun dibuat ulang di Wonogiri dengan biaya dobel. "Padahal, ayah saya pamong," kata Sarwini.

Nah, sampai berapa generasi lagi cerita-cerita menyedihkan ini bakal diwariskan? Kata akhirnya amat tergantung pada kemauan politis peme-rintah. Kata Slamet, "Saya sendiri sudah sepet."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus