Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ichsan Malik
SUMBER konflik sosial berdarah-darah di Indonesia, yang pada awal kemerdekaan bersumber pada politik dan ideo-logi, pada akhir abad ke-20 berganti wajah menjadi konflik agama dan identitas etnis. Perbedaan agama, atau kelompok etnis, saat ini telah berubah menjadi sumber bencana, bukan lagi menjadi sumber kekuatan bangsa. Kredo Bhinneka Tunggal Ika mungkin sudah mati suri.
Setelah keruntuhan Soeharto, situa-si Indonesia berubah. Partai politik dengan basis pemeluk Islam bangkit dan terus merangsek untuk mendapatkan pengikut. Mereka menggotong isu syariat Islam. Langkah ini disambut- partai politik yang basisnya bukan identitas agama atau dengan basis agama non-Islam. Mereka tergopoh-gopoh maju dengan isu nasionalisme atau isu pembangunan.
Pada saat yang sama adalah bang-kit-nya kembali kekuatan ekstra-par-le-menter, bangkitnya kembali kekuat-an mas-sa jalanan yang agresif dan in-ti-midatif -un-tuk menjalankan misi -masingma-sing. Semua pihak yang berbeda atau mengancam misi kelompok ha-rus dihancurkan. Toleransi kepada pihak lain dianggap sebagai kelemahan dan -bi-sa mengancam keberadaan -kelompok.
Namun, fenomena yang paling me-narik adalah lumpuhnya negara. Se-mua pejabat dari yang paling tinggi sam-pai yang paling rendah sibuk berlari-lari, pasang aksi, tanpa tujuan. Koordinasi macet, atau ”kornya cuma di nasi”. Ada yang tenggelam pada masa lalu, tapi kebanyakan mencari selamat saja, atau semua pihak sibuk sa-ling menyalahkan.
Indonesia ini negara macam apa? -Tu-juannya apa? Kok belum bangkit juga dari krisis ekonomi dan politik setelah reformasi? Itu adalah perta-nyaan yang menggumpal pada -sebagian besar benak orang awam.
Dalam perspektif psikologi sosial, sejarah kadang kala dipertukarkan dengan ingatan kolektif, meskipun ada sedikit perbedaan, karena sejarah diartikan sebagai ingatan kolektif yang semantik, sedangkan ingatan kolektif diartikan sebagai ingatan epi-sodik (Baddeley A.D. The Psychology of Remembering and Forgetting, 1989). Dalam tulisan ini sejarah saya artikan sebagai ingatan kolektif masyarakat.
Ingatan kolektif masyarakat sangat- rentan untuk dimanipulasi dan dipo-litisasi (politik ingatan). Negara yang diperintah oleh diktator yang otoriter biasa mempolitisasi ingatan (Adam H. dalam The Politics of Memory, 1998 dan Hamdi Muluk dalam Ingatan Kolektif dan Rekonsiliasi, 2004). Ne-gara secara sistematis menentukan hal-hal mana yang boleh dikenang, diingat, dan diperingati oleh rakyatnya. Hanya ada satu tafsir tunggal untuk masa lalu. Contoh nyata adalah se-paratisme di beberapa wilayah di Indonesia, peristiwa G30S PKI, daerah operasi militer di Aceh. Di sana hanya ada satu tafsir tunggal. Jikalau ada pendapat lain, alat negara dikirim untuk menghancurkan.
Politik ingatan ini terus berlanjut dengan usaha-usaha mengelabui dan memalsukan ingatan kolektif masya-rakat oleh pemerintah. Caranya, de-ngan menghilangkan bagian-bagian tertentu, merekayasa fakta-fakta ba-ru, membesar-besarkan kepahlawanan kelompok etnis atau golongan tertentu, melakukan konteks ulang, serta menyalahkan musuh-musuh. Ingatan kolektif yang palsu atau distortif ini dilestarikan dan ditransformasikan kepada generasi berikutnya melalui medium kesenian, film, buku sejarah, dan ritual peringatan. Ingatan kolektif yang dipaksakan ini yang kemudian bisa jadi pemicu konflik dan perenggang toleransi.
Toleransi pengertiannya adalah menghargai perbedaan, atau menghargai eksistensi orang lain yang berbeda. Sebaliknya, intoleransi artinya suatu penyangkalan terhadap hak untuk berbeda. Secara psikologis, sikap toleran muncul tatkala individu merasa bahwa dunia sekelilingnya adalah suatu tempat yang menyenangkan, penuh cinta serta kedamaian. Sebaliknya, bila individu menganggap dunia sekelilingnya adalah ancaman, tidak bersahabat, yang akan muncul adalah sikap intoleran. Inti dari sikap intoleran adalah rasa terancam. Perasaan keterancaman individu dan kelompok terus berkembang apabila ada situasi politik yang diskriminatif, ada-nya persaingan yang tidak sehat.
Menurut Burckhardt, seorang a-hli psikologi politik (1999), intoleran-si beragama dapat dikatakan seba-gai bentuk intoleransi yang paling tua dan mendominasi sikap intoleran sepanjang sejarah di dunia ini. Intole-ransi rasial dan etnis pada dasarnya mengikuti pola operasional intole-ransi agama. Menurut Ma`arif Jamuin (Manual Advokasi Resolusi Konflik Antar-Etnis dan Agama, 1999), sentimen antaragama bersumber dari klaim kebenaran dan keselamatan yang dikedepankan oleh para pendak-wah dari masing-masing agama kepada para penganutnya.
Juga umum terjadi para pendakwah, dalam rangka meyakinkan umatnya terhadap doktrin ketuhanan, berdak-wah dengan cara membandingkan dengan teologi agama lain yang dikatakan sebagai sesat atau lemah sehingga muncul perasaan superior pada kelompoknya. Pihak lain yang dihujat bisa membela diri atau balik menyerang, sehingga bisa berujung pada konflik. Praktek semacam ini juga terjadi pada kelompok etnis, maupun alir-an ideologi pada kelompok politik.
Dari pengamatan selintas pada aksi ja-lanan dan berita media massa, dapat dibuat kesimpulan sementara soal peta konflik di Nusantara saat ini. Ternyata, umat Islam, yang me-ru-pa-kan mayoritas penduduk Indonesia, sekarang ini jus-tru merasa pa-ling terancam eksisten-sinya, dari segi agama, ekonomi, budaya, dan politik, oleh umat non-Islam. Adapun kelompok aga-ma non-Islam yang minoritas justru merasa terancam dan terintimi-da-si keselamatan diri dan kelompoknya. Se-dangkan etnis Jawa, yang pada ma-sa Orde Baru dikapitalisasi atau diuntungkan oleh diktator Soeharto, saat ini mulai ditolak dan tidak disenangi oleh kelompok etnis luar Jawa, yang pa-da masa lalu terpinggirkan, ditekan, dan didiskriminasi.
Namun, dari perspektif psikologi, muncul hal yang menarik dalam kait-an-nya dengan problem identitas agama dan etnis. Secara personal atawa indi-vidual sebenarnya orang Indonesia cen-derung toleran. Tapi begitu masuk wilayah publik atau politik, ada kecenderungan intoleran. Jadi, terlihat bahwa penyakit identitas agama dan identitas etnis baru muncul dalam dunia politik.
Sejarah palsu, ketidakpahaman atas sejarah, dikombinasikan dengan kapitalisasi identitas keagamaan dan etnis, dapat dijadikan indikator untuk memprediksi potensi konflik di wilayah-wilayah Indonesia pada masa menda-tang. Provinsi Maluku dan Aceh sudah memasuki tahap pembangunan perdamaian. Di Maluku sudah tidak ada lagi mobilisasi masyarakat untuk saling menyerang. Sisa masalah adalah peng-ungsi dan penyehatan trauma, pelurusan sejarah terkait Republik Maluku Selatan (RMS), dan pengelolaan laut sebagai strategic resources Maluku untuk membangun masa depan. Di Aceh, pemerintah harus terus berupaya mewujudkan MoU Helsinki menjadi kenyataan. Sisa masalah adalah implementasi undang-undang-—Undang-Undang Pemerintahan Aceh, pilkada, perpecahan internal.
Adapun di daerah Papua, Poso, dan Ka-limantan Tengah, mereka masih te-tap berada dalam situasi yang sa-ngat rentan untuk meledaknya konflik. Pa-pua masih membutuhkan pe-lurusan -se-jarah, pemberantasan korup-si, distribusi yang merata dari hasil peng-olahan strategic resources-nya, pem-berda-yaan yang optimal bagi suku-suku di pedalaman, efektivitas pemerintahan dae-rah.
Po-so masih membutuhkan perda-mai-an di tingkat korban masyarakat dan pelaku konflik lokal, koordinasi di an-tara alat negara terutama tentara dan polisi, pemberantasan korupsi, dan penyelesaian pengungsi. Kali-man-tan Tengah harus bernegosiasi un-tuk kembalinya orang Madura dan pe-ngembalian aset mereka, memberda-yakan ekonomi masyarakat Dayak, mem-fungsikan secara optimal fungsi dan aktor-aktor penegakan hukum.
Wilayah baru yang sangat potensial untuk meledaknya konflik sosial ada-lah wilayah Lampung dan Riau. Di Lampung, sejarah transmigra-si dari Pu-lau Jawa untuk membangun Lampung 100 tahun lalu perlu diper-jelas dan dipahami bersama: enclave dan sen-timen antara Jawa, Sunda, dan pri-bumi di sana kini semakin kuat. Seng-keta tanah transmigran dan masya-ra-kat adat terus meluas, pilkada juga bi-sa memanaskan suasana. Di Riau, kon-flik juga bisa meletus kapan saja. Pro-vinsi ini kaya hasil alam, na-mun rakyatnya miskin. Distribusi peng-olahan hasil alam pun tidak me-netes hingga tingkat bawah, apalagi di-tambah menguatnya agresivitas pen-du-duk asli.
Pada prinsipnya lebih baik mencegah daripada menanggulangi konflik. Ke-kuatan lokal untuk mencegah dan menangani konflik serta kesadaran kri-tis masyarakat tentang sumber-sumber konflik dan faktor pemicunya harus terus ditingkatkan. Bergantung pada inisiatif pemerintahan pusat untuk menyelesaikan konflik bisa fatal akibatnya dan tidak bijaksana.
Toleransi antarumat beragama dan kelompok etnis haruslah ditumbuhkan dan dibudayakan tahap demi tahap. Mau tidak mau kita harus me-nerima bahwa prinsip-prinsip demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, toleransi, dan persaingan yang sehat, dalam membangun bangsa ini, adalah suatu keniscayaan. Dan dalam jangka panjang akan mampu mencegah konflik yang dapat mencerai-beraikan bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo