Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZAN magrib bersipongang dari Masjid Al-Islah di kawasan Pe-tamburan, Jakarta Barat, Rabu pekan lalu itu. Puluhan lelaki berbaju putih tertib bergilir mengambil wudu. Kemudian masuk masjid, digegaskan qamat, merapatkan saf, menegakkan salat berjemaah. Usai salat, para lelaki berkopiah putih itu tak langsung bubar. Mereka kembali berhimpun, duduk bersila membentuk setengah lingkaran.
Dipimpin Habib Faiz, salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (FPI), mereka mendaras ayat-ayat suci. Bergelas-gelas air mineral diedarkan. Setelah sekitar sepuluh menit, semua hening. Kini giliran Habib Faiz berceramah. ”Karena ini bulan Rajab, saya ingin bercerita soal Isra’ Mi’raj,” ia membuka perbincangan. Jemaah, para anggota FPI itu, menyimak tekun.
Inilah majelis taklim FPI yang digelar setiap Rabu malam. Penceramah-nya bisa siapa saja. ”Tapi, kalau ada Habib Rizieq, ya beliau,” kata Agus, anggota laskar berusia 25 tahun, menyebut nama pimpinan tertinggi FPI. Agus terhitung anggota FPI paling lama. Ia bergabung pada 1998, ketika baru lulus sekolah teknik menengah. ”Persis setelah peristiwa Ketapang,” ujarnya merujuk kerusuhan berdarah di Jakarta Barat.
Baru beberapa bulan menjadi anggota laskar, pada awal 1999 muncul konflik Maluku. Ia berangkat ke sana. Bukan untuk berperang, melainkan sebagai anggota tim medis. Setahun di Maluku, pulang ke Jakarta ayah dua anak ini kembali aktif di FPI. Dulu ia ikut dalam setiap demo atawa sweeping yang digelar FPI, misalnya sweeping minuman keras dan tempat hiburan malam. ”Sekarang nggak, -soalnya sudah jadi pegawai kantoran,” ujar pria yang tinggal di Tanjung -Priok itu.
Untuk menafkahi istri dan dua anak-nya, Agus bekerja sebagai pena-gih kredit di sebuah perusahaan kosmetik. Gajinya Rp 1,5 juta per bulan. Agus menyatakan tak berniat mening-galkan FPI. Menjadi anggota FPI, ujarnya, merupakan panggilan. ”Selama masih ada ketidakadilan dan kezaliman, saya terus di FPI,” kata peng-urus DPP FPI ini.
Menurut Agus, tak mudah menjadi anggota FPI. Setidaknya harus lewat lima tahap, antara lain rekomendasi pimpinan cabang FPI, rekomendasi ustad ”sealiran” FPI, mendapat izin istri atau orang tua, dan wawancara dengan pengurus FPI di Markas Besar Laskar.
Latar belakang anggota FPI beraneka ragam. Rohi, 43 tahun, misalnya. Sebelum bergabung dengan FPI pada 1998, kehidupan ayah lima anak ini amburadul. Ia doyan mabuk-mabuk-an. ”Kemudian saya insyaf dan ber-ga-bung dengan laskar,” katanya. Sejak itu ia tak pernah lagi menyentuh alkohol. ”Sekarang saya benci melihat orang yang suka mabuk. Saya hanya ingin berjihad dan menegakkan amar makruf nahi munkar.”
Setiap kali FPI melakukan demo atau menggelar sweeping, Rohi tak pernah absen. Ia, misalnya, pernah ikut FPI ”merazia” daerah Pluit, Kemang, berunjuk rasa menentang penerbitan majalah Playboy. Atau, yang terakhir, berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Ia juga sering terjun menjadi rela-wan. Ketika tsunami menggempur Aceh, misalnya, bersama sejumlah ang-gota FPI lainnya Rohi tinggal di Serambi Mekah itu selama tiga bulan. Demikian juga saat gempa melanda Yogya atau bencana tsunami di Pa-ngandaran, ia menjadi relawan di sana.
Sebagai anggota laskar FPI, Rohi tak menerima gaji sepeser pun. Untuk menghidupi istri dan kelima anaknya, dia bekerja apa saja. Misalnya menjadi penjual minuman, karyawan pabrik obat kecantikan, hingga penata taman hias. Sekarang pekerjaan pria berjeng-got yang tinggal di Jalan Petamburan III ini hanya berdagang kaus berlogo FPI dan baju koko.
Rohi menyatakan akan selalu aktif dalam setiap kegiatan yang digelar FPI, termasuk demo, sweeping, atau men-jadi relawan—ketimbang mencari uang. ”Gara-gara lama di Yogya ke-ti-ka ada bencana gempa di sana, air le-deng di rumah pernah disegel karena tidak bayar,” katanya tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo