Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Terdapat potensi reklamasi seluas 3,5-4 juta hektare di Tanah Air sampai 2040.
Reklamasi di sembilan wilayah butuh pasir laut sebanyak 1,8 miliar meter kubik.
Pemerintah mengklaim akan membatasi lokasi penambangan.
JAKARTA – Besarnya potensi permintaan pasir laut Indonesia untuk keperluan proyek infrastruktur diperkirakan tidak hanya datang dari negara-negara tetangga. Di dalam negeri, sejumlah proyek reklamasi membutuhkan pasokan pasir laut dalam jumlah masif. Pegiat lingkungan khawatir tingginya permintaan ini akan membuat eksploitasi pasir laut tak terkendali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan hitungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), terdapat potensi reklamasi seluas 3,5-4 juta hektare di Tanah Air sampai 2040. Sebagai perbandingan, luas wilayah Jawa Barat sekitar 3,7 juta hektare. Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin, mengatakan angka tersebut berasal dari perhitungan rencana reklamasi dalam dokumen rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi di seluruh provinsi. "Ini belum menghitung reklamasi di luar rencana pemerintah daerah," tuturnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Siapa Diuntungkan Izin Ekspor Pasir Laut
Parid kemudian memberikan gambaran besarnya kebutuhan pasir laut untuk proyek reklamasi. Merujuk pada hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2021, ucap dia, ada kebutuhan pasir laut sebanyak 1.870.831.201 meter kubik untuk kegiatan reklamasi di sembilan wilayah. Dua di antaranya adalah pembangunan pelabuhan di Tuban, Jawa Timur; serta di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Ia mengimbuhkan, pekerjaan reklamasi pantai yang masif ini akan membutuhkan banyak pasir laut. Artinya, bakal banyak kegiatan pengerukan yang dapat merusak lingkungan. Rusaknya kawasan perairan, kata Parid, dapat mempengaruhi iklim, pasokan pangan, hingga kesejahteraan nelayan. "Belum lagi hasil proyek reklamasi yang bakal menggerus lahan nelayan untuk mencari ikan."
Menghilangkan Mata Pencarian Nelayan
Walhi mencontohkan, aktivitas pengerukan pasir laut untuk pembangunan Makassar New Port menyebabkan perubahan arus laut di perairan Makassar. Contoh lainnya adalah nasib nelayan di kawasan Lombok Timur yang harus melaut hingga ke perairan Sumba karena kawasan tangkap mereka hancur terkena dampak pengerukan pasir laut.
Makassar New Port. Dok Majalah Tempo
Parid juga menyoroti tujuh pulau yang tenggelam di kawasan Jakarta karena penambangan pasir untuk kepentingan reklamasi di Yogyakarta. Ditambah, pada saat yang sama, terjadi kenaikan air laut dengan tren yang sangat cepat, yaitu 0,8-1 meter. "Padahal, tanpa pertambangan pasir laut saja, pulau-pulau kecil di Indonesia sudah terancam tenggelam," tuturnya.
Baca juga: Jalan Mundur Penambangan Pasir Laut
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono juga mengakui tingginya permintaan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri. Ia mengatakan Kementerian Kelautan pernah mendapat permintaan izin reklamasi seluas 1.000 hektare di Surabaya, Jawa Timur. Selain itu, ada kebutuhan reklamasi di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
"Mereka mau mengambil pasir laut dari mana?" kata dia dalam konferensi pers di kantornya, kemarin. Karena alasan itulah, kata Trenggono, pemerintah mengizinkan pengerukan pasir laut lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang terbit pada 15 Mei lalu.
Trenggono menyatakan Kementerian Kelautan berupaya mengatur agar semua kegiatan penambangan pasir laut tidak berakibat fatal pada lingkungan. Misalnya dengan membatasi lokasi penambangan serta mewajibkan penggunaan kapal isap.
Dia menyebutkan petunjuk teknis ihwal penambangan pasir laut bakal disusun tim pengkajian yang terdiri atas sejumlah instansi, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, akademikus, serta lembaga swadaya masyarakat. Dia berharap pengaturan ini bisa meminimalkan pengerukan pasir laut ilegal seperti yang selama ini banyak terjadi serta merusak perairan dan mengikis pulau-pulau kecil.
Tak Sebanding dengan Kerusakan yang Ditimbulkan
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengungkapkan kebutuhan pasir laut yang tinggi merupakan ladang bisnis yang menggiurkan. Selain mendatangkan keuntungan berlipat bagi perusahaan pengeruk, pemerintah mendapat uang dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Untuk pemanfaatan pasir laut di dalam negeri, pemerintah mematok PNBP sebesar 30 persen dikalikan volume serta harga patokan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif PNBP. "Tapi kerusakan lingkungan dan kerugian yang akan dialami masyarakat jelas tidak sebanding dengan potensi ekonomi bisnis dan pendapatan negara ini," kata Abdul.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo