Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI itu tiba di rumah-nya dengan letih di sekujur engsel tu-langnya. Tubuh gempalnya di-balut jaket biru tanpa lengan yang telah menghitam terkena debu dan asap knalpot. Wajahnya kuyu dan legam oleh matahari. Sejak pagi, dia meninggalkan rumah untuk bertemu dengan pejabat kantor Dinas Parkir Jakarta Timur. Pekerjaan yang melelahkan. Apalagi setelah itu dia harus buru-buru menjemput dua anaknya yang masih di bangku SD.
Suharyanto namanya. Ia juru parkir ”lepas”. Siang itu ia tak bisa mengaso lama di ruang tamunya yang sempit—di sana cuma ada sofa hijau dengan bolong di sana-sini serta kasur tua. Pria itu segera menghidupkan motor Suzuki Smash-nya dan memacunya menuju pertokoan Arundina, Cibubur, Jakarta Timur, yang cuma tiga kilometer dari rumahnya. ”Pulang kerja, saya langsung di sini,” kata pria yang sebenarnya bekerja sebagai teknisi di Kalibata, Jakarta Selatan, itu.
Umur Suharyanto sudah mendekati senja sebenarnya, yakni 45 tahun. Namun, dia masih kerja di dua tempat, bertahan di bawah panggangan matahari dan asap knalpot yang bikin sesak. Apa boleh buat, gajinya seba-gai teknisi cuma Rp 1,2 juta, mana cu-kup buat mengongkosi anaknya yang duduk di bangku SD, SMA, dan perguruan tinggi. Rumahnya juga cuma sepetak sehingga ruang tamunya merangkap jadi kamar tidur.
Adalah Forum Betawi Rempug (FBR) yang membukakan pintu Suharyanto menjadi juru parkir ”lepas”. Itu terjadi setelah ia dibaiat dan bergabung dalam organisasi Betawi pa-ling berpengaruh itu. Seorang teman mengajak dia bergabung dengan sejumlah kegiatan organisasi ini, mulai dari konvoi hingga pengajian. Lama-lama Suharyanto kesengsem dan bergabung. ”Saya mendukung FBR, yang ingin menjadikan orang Betawi se-bagai tuan rumah di Jakarta,” kata lelaki yang kalem itu.
Di mata Suharyanto, FBR bukan sekadar wadah yang menyatukan warga Betawi. Organisasi itu bisa jadi mesin uang untuk membantu ekonomi keluarganya. Sejak lahan parkir di pertokoan Cibubur itu dikelola FBR, dia bisa mengantongi uang tambahan sedikitnya Rp 30 ribu sehari dari pekerjaannya sebagai juru parkir.
Lahan parkir itu sebelumnya dikuasai sejumlah pendatang. Bahkan, konon daerah itu sering dijadikan tempat transaksi narkoba. Karena itu Suharyanto dan teman-temannya meng-ambil alih pengelolaan tempat itu.
Lelaki itu ingat, sekitar 100 anggota FBR dikerahkan untuk mengusir preman-preman ‘’raja’’ di tempat itu. Kata Suharyanto, ‘’Aksi itu untuk menggertak supaya mereka takut saja,” kata dia. Ternyata berhasil. Lahan parkir itu sekarang dikelola anggota FBR Cibubur.
Agar tidak dianggap liar, Suhar-yan-to dan sembilan nama anggota FBR datang ke Dinas Parkir Jakarta Timur. ”Hubungan antara Dinas Parkir dan kami secara perorangan, bukan atas nama organisasi FBR,” kata dia lagi. Saban sebulan sekali mereka setor Rp 150 ribu kepada Dinas Parkir Jakarta Timur.
Meskipun yang terdaftar sembilan nama, pada akhirnya banyak anggota FBR yang terlibat. Suharyanto memperbolehkan anggota yang menganggur menjadi tukang parkir. ”Pengha-silannya lumayan,’’ Suharyanto ter-senyum.
Tak semua anggota FBR semujur Su-haryanto—mendapat konsesi par-kir tanpa bergelut. Dua tahun lalu, mi-sal-nya, ratusan anggota FBR memblokir pintu masuk pusat perbelanja-an ITC Cempaka Mas, Jakarta. Mere-ka menuntut pengelola tempat itu merekrut warga sekitar sebagai karya-wan. Sayang keinginan itu tidak bisa terpenuhi. Akhir tahun lalu, puluhan anggota FBR juga terlibat perkelahian di Jalan Raya Terogong, Jakarta Se-la-tan. Berantem massal itu merupa-kan bun-tut dari perebutan lahan parkir di sana.
Menguasai lahan parkir, menurut- Samsudin, Ketua FBR Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi, bukan pekerja-an enteng. ”Di sini lahan parkir cuma sedikit. Itu juga udah ada yang nong-krongin duluan,” kata dia. Samsudin tidak ingin kejadian yang menimpa adik sepupunya, Mardani, terulang. Juni lalu, Mardani yang Ketua FBR Jati Warna tewas ditembak lelaki tak dikenal. Motif pembunuhannya sampai kini belum terungkap. Namun, ada dugaan kasus itu terkait dengan jabatan Mardani sebagai Ketua FBR Jati Warna.
Sepetak mesin uang telah merenggut korban. Kisah perebutan ini belum akan berakhir, meskipun Suharyanto sudah tenteram dengan lahan parkir, cuaca panas, dan asap knalpot. Ia menyemprit, ”Priiit.… Sana, Pak.” n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo