Kematian Nahel M, 17 tahun, telah memicu kericuhan di berbagai kota di seluruh Prancis, serta di Nanterre, sebelah barat Paris, tempat dia dibesarkan.
Nahel adalah seorang anak tunggal yang dibesarkan oleh ibunya. Dia bekerja sebagai supir untuk jasa pengiriman makanan dan dia juga bermain dalam liga rugby.
Pendidikannya dinilai kacau. Dia terdaftar di sebuah perguruan tinggi di Suresnes, tidak jauh dari tempat tinggalnya, untuk menjadi ahli kelistrikan.
Mereka yang mengenalnya mengatakan dia sangat dicintai di Nanterre, tempat dia tinggal bersama ibunya, Mounia, dan tampaknya tidak pernah mengenal ayahnya.
Catatan kehadirannya di perguruan tinggi buruk. Dia tidak memiliki catatan kriminal, tetapi dia dikenal oleh polisi.
Dia selalu mencium ibunya sebelum dia pergi bekerja, ditambah kata-kata "Aku mencintaimu, Bu".
Baca juga:
Tak lama setelah pukul sembilan pagi pada Selasa (27/06) lalu, dia ditembak di dada dari jarak dekat karena tidak mematuhi perintah polisi untuk menghentikan mobil Mercedes-nya setelah melanggar lalu lintas.
"Apa yang akan saya lakukan sekarang?" tanya ibunya. "Saya mencurahkan segalanya untuk dia," katanya. "Saya hanya punya satu, saya tidak punya 10 [anak]. Dia adalah hidup saya, sahabat saya."
Neneknya menyebut dia sebagai "anak yang ramah dan baik".
"[Dia] menolak untuk berhenti, tapi bukan berarti Anda diizinkan untuk membunuhnya," kata pemimpin Partai Sosialis, Olivier Faure. "Semua anak Republik memiliki hak atas keadilan."
Antara rugby dan teknisi listrik
Nahel menghabiskan tiga tahun terakhir bermain rugby di klub Pirates of Nanterre. Dia telah menjadi bagian dari program integrasi untuk remaja yang kesulitan di sekolah. Program itu dijalankan oleh sebuah yayasan bernama Ovale Citoyen.
Program tersebut bertujuan untuk mengajak orang-orang dari daerah tertinggal untuk magang dan Nahel sedang belajar menjadi teknisi kelistrikan.
Ketua Ovale Citoyen, Jeff Puech, adalah salah satu orang yang paling mengenalnya. Dia bertemu Nahel beberapa hari yang lalu dan berbicara tentang "anak yang menggunakan rugby untuk bertahan hidup".
"Dia adalah seseorang yang memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri secara sosial dan profesional, bukan anak yang berurusan dengan narkoba atau mendapat kesenangan dari kejahatan remaja," kata Puech kepada Le Parisien.
Baca juga:
Dia memuji "sikap teladan" remaja itu, jauh dari pembunuhan karakter yang disebarkan di media sosial.
Dia mengenal Nahel ketika dia tinggal bersama ibunya di Vieux-Pont, pinggiran kota Nanterre, sebelum mereka pindah ke perkebunan Pablo Picasso.
Satu hal yang menjadi perhatian, keluarganya berasal dari Aljazair.
"Semoga Allah memberinya rahmat," bunyi tulisan yang dibentangkan di jalan lingkar Paris, di luar Stadion Parc des Princes.
Stigma minoritas
"Kekerasan dilakukan oleh polisi setiap hari, terutama jika Anda orang Arab atau berkulit hitam," kata seorang pemuda di kota Prancis lainnya, yang menyerukan keadilan bagi Nahel.
Namun, pengacara keluarga, Yassine Bouzrou, mengatakan ini bukan tentang rasisme, tapi tentang keadilan.
"Kami memiliki sistem hukum dan peradilan yang melindungi petugas polisi dan menciptakan budaya impunitas di Prancis," katanya kepada BBC.
Nahel sudah lima kali menjadi subyek pemeriksaan polisi sejak 2021 - yang dikenal dengan refus d'obtempérer - penolakan untuk bekerja sama.
Baru-baru ini, pada akhir pekan lalu, dia dilaporkan berada di tahanan karena penolakan semacam itu dan akan diadili di pengadilan remaja pada September. Sebagian besar masalah yang dia alami baru-baru ini melibatkan mobil.
Kericuhan yang dipicu oleh kematiannya menjadi pengingat bagi banyak orang di Prancis pada peristiwa tahun 2005 lalu, ketika dua remaja, Zyed Benna dan Bouna Traoré, disetrum saat mereka melarikan diri dari polisi setelah pertandingan sepak bola dan menabrak gardu listrik di kota Clichy-sous-Bois, di pinggiran Paris.
"Bisa jadi saya, bisa saja adik laki-laki saya," kata seorang remaja Clichy bernama Mohammed kepada situs Prancis Mediapart.