Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Jepang: Kekhawatiran dan kemarahan terhadap rencana buang air limbah nuklir ke laut

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Aktivis lingkungan di Korea Selatan mengadakan aksi protes terhadap rencana Jepang membuang air limbah dari PLTN Fukushima ke lautan. Getty Images
Aktivis lingkungan di Korea Selatan mengkritik rencana Jepang, mengatakan itu akan mencemari lautan.

Rencana kontroversial Jepang untuk membuang air limbah yang sudah diolah dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima telah menimbulkan kecemasan dan kemarahan di dalam serta luar negeri.

Sejak bencana tsunami pada 2011 yang merusak PLTN itu, lebih dari satu juta ton air limbah yang sudah diolah telah terkumpul di sana. Jepang sekarang ingin membuangnya ke Samudra Pasifik.

Baca juga:

Pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional (IAEA), telah menerbitkan laporan yang mendukung rencana Jepang.

Namun sejak diumumkan dua tahun yang lalu, rencana tersebut telah menjadi sangat kontroversial di Jepang.

Masyarakat setempat menyuarakan kekhawatiran tentang kontaminasi.

Baca juga:

Kelompok industri perikanan dan makanan laut di Jepang dan wilayah lain juga telah menyatakan kekhawatiran tentang mata pencaharian mereka.

Mereka mengaku takut konsumen akan tidak mau membeli makanan laut.

Dan beberapa tetangga Tokyo juga tidak senang. China menjadi yang paling vokal, menuduh Jepang memperlakukan laut sebagai "saluran pembuangan pribadi".

Pada Selasa (04/07), mereka mengkritik laporan IAEA, mengatakan bahwa kesimpulannya "sepihak".

Jadi apa rencana Jepang dan bagaimana tepatnya mereka mengolah air limbah itu?

Apa rencana Jepang dengan air limbah itu?

Sejak bencana 2011, perusahaan pembangkit listrik Tepco telah memompa air untuk mendinginkan batang bahan bakar reaktor nuklir Fukushima.

Ini berarti setiap hari pembangkit itu menghasilkan air terkontaminasi, yang disimpan dalam tangki besar.

Lebih dari 1.000 tangki sudah terisi, dan Jepang mengatakan ini bukan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Mereka ingin membuang air ini ke Samudra Pasifik secara bertahap selama 30 tahun ke depan, dan bersikeras bahwa itu aman.

Membuang air limbah yang sudah diolah ke laut adalah praktik yang biasa dilakukan oleh PLTN - namun mengingat ini adalah produk sampingan dari kecelakaan, ini bukan limbah nuklir biasa.

Tepco menyaring air dari Fukushima melalui Advanced Liquid Processing System (ALPS), yang menurunkan sebagian besar zat radioaktif ke standar keamanan yang dapat diterima, kecuali tritium dan karbon-14.

Tritium dan karbon-14, masing-masing adalah bentuk radioaktif hidrogen dan karbon, dan sulit dipisahkan dari air.

Mereka hadir di alam bebas, air, dan bahkan pada manusia, karena mereka terbentuk di atmosfer bumi dan dapat memasuki siklus air.

Keduanya memancarkan tingkat radiasi yang amat rendah namun dapat menimbulkan risiko jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.

Air yang disaring kemudian melalui perlakuan lain, dan kemudian diencerkan dengan air laut untuk mengurangi konsentrasi zat yang tersisa, sebelum dibuang ke laut.

Tepco mengatakan sistem katupnya akan memastikan tidak ada air limbah murni yang terlepas secara tidak sengaja.

Pemerintah Jepang mengatakan level akhir tritium - sekitar 1.500 becquerels per liter - jauh lebih aman daripada level yang disyaratkan oleh regulator untuk pembuangan limbah nuklir, atau oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk air minum.

Tepco mengatakan level karbon-14 juga akan memenuhi standar.

Tepco dan pemerintah Jepang telah melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa air yang dibuang tidak akan menimbulkan risiko bagi manusia dan kehidupan laut.

Banyak ilmuwan juga mendukung rencana tersebut.

"Air yang dibuang akan menjadi setetes air di lautan, baik dari segi volume maupun radioaktivitasnya.

"Tidak ada bukti bahwa tingkat radioisotop yang sangat rendah ini dapat mengakibatkan efek kesehatan yang merugikan," kata ahli patologi molekuler Gerry Thomas, yang bekerja dengan para ilmuwan Jepang dalam penelitian radiasi dan memberi saran kepada IAEA dalam pembuatan laporan Fukushima.

Apa kata para penentang?

Pakar hak asasi manusia (HAM) yang ditunjuk PBB telah menentang rencana tersebut, begitu pula aktivis lingkungan.

Greenpeace merilis laporan yang meragukan proses pengolahan limbah Tepco, menuding bahwa proses tersebut tidak cukup untuk menghilangkan zat radioaktif.

Para penentang mengatakan Jepang harus, untuk saat ini, tetap menyimpan air limbah yang diolah di dalam tangki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka berargumen langkah ini akan menyediakan waktu yang cukup untuk mengembangkan teknologi pemrosesan baru, serta memungkinkan radioaktivitas yang tersisa berkurang secara alami.

Ada juga beberapa ilmuwan yang merasa tidak sreg dengan rencana tersebut.

Mereka mengatakan perlu lebih banyak penelitian tentang bagaimana pelepasan air limbah yang sudah diolah akan mempengaruhi kehidupan laut.

"Kami melihat penilaian dampak radiologis dan ekologis yang tidak memadai dan itu membuat kami sangat khawatir bahwa Jepang tidak cuma tidak bisa mendeteksi apa yang masuk ke dalam air, sedimen, dan organisme, tetapi kalau ternyata itu berbahaya, tidak ada cara untuk membersihkannya ... tidak ada cara untuk mengembalikan jin ke dalam botol," kata pakar biologi kelautan Robert Richmond, seorang profesor di University of Hawaii, kepada program Newsday BBC.

Tatsujiro Suzuki, seorang profesor teknik nuklir dari Pusat Penelitian Penghapusan Senjata Nuklir Universitas Nagasaki, berkata kepada BBC bahwa rencana itu "belum tentu mengakibatkan polusi serius atau membahayakan publik - kalau semuanya berjalan dengan baik".

Tetapi mengingat bahwa Tepco gagal mencegah bencana 2011, ia tetap khawatir tentang potensi pelepasan air yang terkontaminasi secara tidak sengaja, ujarnya.

Apa kata negara-negara tetangga Jepang?

China telah menuntut agar Jepang mencapai kesepakatan dengan negara-negara regional dan lembaga-lembaga internasional sebelum membuang air limbah.

Beijing juga menuduh Tokyo melanggar "kewajiban moral dan hukum internasional", serta memperingatkan bahwa jika mereka melanjutkan rencana itu, "[Jepang] harus menanggung semua konsekuensi".

Hubungan China dan Jepang saat ini sedang tegang, dengan pengembangan militer Jepang baru-baru ini dan langkah-langkah provokatif China di sekitar Taiwan.

Tokyo telah berbicara dengan tetangga-tetangganya, dan menyambut tim ahli Korea Selatan dalam tur pabrik Fukushima pada bulan Mei.

Tetapi tidak pasti seberapa jauh mereka berkomitmen untuk mendapatkan persetujuan negara-negara tetangga sebelum melanjutkan rencana ini.

Berbeda dengan China, Seoul - yang tertarik untuk menjalin hubungan dengan Jepang - telah melunakkan kekhawatirannya dan pada hari Selasa mengatakan mereka "menghormati" temuan IAEA.

Namun langkah ini membuat marah masyarakat Korea Selatan, 80% di antaranya khawatir dengan pembuangan air limbah air menurut jajak pendapat baru-baru ini.

"Pemerintah memberlakukan kebijakan larangan membuang sampah sembarangan di laut yang ketat ... Tapi sekarang pemerintah tidak mengatakan sepatah kata pun (ke Jepang) tentang air limbah mereka yang mengalir ke laut," kata Park Hee-jun, seorang nelayan Korea Selatan kepada BBC Korea.

"Beberapa pejabat mengatakan kita harus tetap diam kalau kita tidak ingin membuat konsumen semakin cemas. Saya pikir itu omong kosong."

Ribuan orang mengikuti unjuk rasa di Seoul menuntut tindakan pemerintah, seiring beberapa pembeli yang khawatir akan gangguan pada pasokan makanan telah menimbun garam dan kebutuhan lainnya.

Sebagai tanggapan, parlemen Korea Selatan pekan lalu mengeluarkan resolusi yang menentang rencana pembuangan air limbah - meskipun tidak jelas apa dampaknya pada keputusan Jepang.

Para pejabat juga meluncurkan "pemeriksaan intensif" terhadap makanan laut, dan tetap berpegang pada larangan impor makanan laut Jepang dari daerah di sekitar pabrik Fukushima.

Untuk meredakan ketakutan publik, Perdana Menteri Han Duck-soo mengatakan dia bersedia minum air dari Fukushima untuk menunjukkan bahwa itu aman, sementara seorang pejabat mengatakan pekan lalu bahwa hanya sebagian kecil dari air limbah yang dibuang akan berakhir di perairan Korea.

Di tempat lain di kawasan, beberapa negara kepulauan juga telah menyatakan kekhawatiran, dengan kelompok regional Forum Kepulauan Pasifik menyebut rencana itu sebagai "bencana kontaminasi nuklir besar".

Bagaimana tanggapan Jepang?

Pihak berwenang Jepang dan Tepco telah berusaha meyakinkan para penentang dengan menjelaskan sains di balik proses pengolahan limbah, dan mereka akan terus melakukannya dengan "tingkat transparansi yang tinggi", janji perdana menteri Fumio Kishida pada hari Selasa.

Dalam materi yang dipublikasikan di situs web kementerian luar negerinya, Jepang juga menunjukkan bahwa pembangkit nuklir lain di kawasan - terutama China - mengeluarkan air dengan kadar tritium yang jauh lebih tinggi.

BBC dapat memverifikasi beberapa angka ini dengan data yang tersedia secara publik dari pembangkit nuklir China.

Tetapi pembenaran terbesar mungkin terletak pada laporan IAEA, yang dirilis oleh kepala badan tersebut Rafael Grossi saat berkunjung ke Jepang.

Laporan itu, yang dirilis setelah investigasi selama dua tahun, menemukan bahwa Tepco dan pihak berwenang Jepang memenuhi standar keselamatan internasional pada berbagai aspek termasuk fasilitas, inspeksi serta penegakan hukum, pemantauan lingkungan, dan penilaian radioaktivitas.

Pada Selasa (04/07), Grossi mengatakan rencana tersebut akan memberi "dampak radiologis yang dapat diabaikan pada manusia dan lingkungan".

Dengan pengawas nuklir dunia memberikan stempel persetujuannya, Jepang dapat mulai membuang air dari Fukushima pada awal Agustus, menurut beberapa laporan - menyiapkan panggung untuk pertikaian intensif dengan para penentangnya.

Laporan tambahan oleh Yuna Kim dan Chika Nakayama.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada