Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Kerusuhan pecah di sejumlah kota di Inggris, komunitas Muslim merasa was-was

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Huma Khan BBC
Huma Khan tidak akan mengubah rutinitasnya, namun dia bersikap waspada.

“Yang orang-orang sebut sebagai aksi protes… sebenarnya saya sebut sebagai serangan teror.”

Huma Khan tinggal di Stockport, Manchester Raya. Dia bekerja sebagai guru di sekolah dasar setempat.

Baca juga:

Kekerasan yang terjadi di berbagai kota di Inggris membuatnya bertekad untuk menjalani kehidupan seperti biasa, tetapi ia merasa was-was.

“Awalnya reaksi saya adalah kaget. Saya pikir fakta bahwa [kekerasan] itu telah berubah menjadi apa yang orang-orang sebut sebagai aksi protes, sebenarnya saya sebut sebagai serangan teror. Fakta bahwa itu muncul dari rumor media sosial, yang ternyata bohong, sedikit mengejutkan,” ungkapnya kepada BBC.

Ia bertekad tidak akan mengubah rutinitasnya untuk saat ini, tetapi ia bersikap waspada.

Baca juga:

“Saya tumbuh besar terbiasa menjadi sasaran, dilecehkan karena keyakinan agama saya, penampilan saya, dan cara saya berpakaian.

“Saya tidak akan gentar ketakutan… Tetapi saya memiliki firasat buruk di benak saya setiap kali saya keluar rumah. Apakah saya akan berada dalam bahaya?” ungkapnya.

Ketenangan yang mencekam

Alaa BBC
Alaa mengelola toko buku berbahasa Arab di Manchester. "Saya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Saya tidak ingin merasakan penganiayaan lagi."

Aksi protes yang disertai kekerasan dapat menimbulkan suasana yang tidak biasa, tetapi tidak selalu berupa kehancuran.

Ketika kami mengunjungi Pusat Perbelanjaan Salford, di pinggiran Manchester, pada hari Selasa, suasananya sangat sepi untuk ukuran sore hari kerja.

Kantor dan toko disarankan untuk tutup lebih awal setelah laporan daring yang belum dikonfirmasi menyebutkan bahwa aksi protes akan terjadi pada hari itu juga.

Hanya beberapa orang berlalu Lalang di daerah itu. Kepolisian menghentikan dan menggeledah beberapa pemuda bertopeng yang berkeliaran tetapi tidak melakukan protes.

Di selatan Manchester, situasinya sangat berbeda.

Moss Side dihuni komunitas Muslim dari Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Pada hari Selasa, restoran dan kafe dipenuhi pelanggan.

Banyak orang yang bekerja dan tinggal di daerah itu mengatakan bahwa mereka merasa terlindungi dan aman di tengah komunitas masing-masing. Namun, mereka mengikuti perkembangan peristiwa dengan kekhawatiran yang semakin meningkat.

Abdul BBC
Abdul Hakeem melarikan diri dari perang di Somalia lebih dari 20 tahun lalu. Dia khawatir aktivsi sayap kanan bentrok dengan kelompok-kelompok Muslim.

"Saya datang dari Suriah pada tahun 201. Kkeluarga saya dan saya menemukan tempat yang aman di sini," kata Alaa, yang sekarang mengelola toko buku berbahasa Arab di Manchester.

"Peristiwa baru-baru ini tidak menjadi pertanda baik untuk masa depan. Untuk saat ini, saya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Saya tidak ingin merasakan penganiayaan lagi," katanya kepada BBC.

Baca juga:

Abdul Hakeem melarikan diri dari perang di Somalia lebih dari 20 tahun yang lalu. Dia khawatir tentang aktivis sayap kanan yang bentrok dengan kelompok Muslim.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Jika kedua [kelompok] ini bertemu, mereka dapat menciptakan kerusuhan, perang saudara. Sama seperti yang mengejar saya dari Somalia ke Manchester."

Alaa juga khawatir tentang seruan di antara komunitas Muslim untuk membela masjid, bisnis, dan rumah - menggunakan kekerasan jika perlu.

“Saya tidak setuju dengan ini. Ini seharusnya terjadi dengan koordinasi bersama otoritas lokal dan pemerintah yang telah meyakinkan umat Muslim bahwa mereka aman.

“Saya pikir kita punya hak untuk membela masjid kita dan kita perlu membela hak kita atas kebebasan beragama, tetapi jika kita melakukan ini sendiri, kita memberi orang lain alasan untuk mencap kita sebagai teroris.”

Baca juga:

Ada juga dampaknya pada generasi muda, kata Huma Khan.

“Menurut saya yang sangat sulit adalah berbicara dengan keponakan saya, mereka berusia 12, 10, dan tujuh tahun. Saya harus menjelaskan dan meyakinkan mereka bahwa apa yang terjadi di jalan-jalan Manchester tidak mewakili semua orang atau masyarakat multikultural kita yang beragam.

'Saya tidak pernah menyaksikan rasisme di sini'

Jawad BBC
“Kita tentu telah melihat episode kekerasan selama dua dekade terakhir,” kata Dr. Jawad Amin.

Saeed datang ke Inggris dari Suriah tiga tahun lalu dan telah menghabiskan waktu lama untuk bepergian keliling Eropa.

“Saya telah bepergian ke seluruh Eropa dan saya memiliki paspor Swedia. Saya sengaja datang ke negara ini [Inggris] karena semua agama dihormati, tanpa kecuali. Kristen, Muslim, Yahudi - semuanya hidup rukun.

“Saya benar-benar terkejut ketika mendengar tentang peristiwa rasis baru-baru ini. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan rasisme di sini. Kami agak takut ketika pertama kali mendengar berita itu, ini tidak biasa bagi kami karena ini adalah pertama kalinya kami melihat atau mendengar ini.

“Saya telah tinggal di sini selama tiga tahun, orang-orang di sini sangat baik. Mereka membantu kami, mereka membantu saya mengatasi kendala bahasa. Jadi apa yang saya lihat di berita jauh lebih buruk daripada apa yang pernah saya lihat di dunia nyata.”

Seorang pengunjuk rasa memegang plakat bertuliskan "Kaum rasis tidak diterima di sini" AFP
Seorang pengunjuk rasa memegang plakat bertuliskan "Kaum rasis tidak diterima di sini" pada saat demonstrasi tandingan terhadap protes anti-imigrasi yang diserukan oleh aktivis sayap kanan di pinggiran kota Walthamstow, London, pada 7 Agustus 2024.

Kerusuhan telah melanda kota-kota di Inggris dan Irlandia Utara sejak tiga gadis muda ditikam hingga tewas di Southport di barat laut Inggris pada tanggal 29 Juli. Kekerasan tersebut dipicu oleh misinformasi di dunia maya, sentimen sayap kanan, dan antiimigrasi.

Setelah serangan di Southport, unggahan di media sosial secara keliru berspekulasi bahwa tersangka adalah pencari suaka yang tiba secara ilegal di Inggris menggunakan perahu. Ada pula rumor yang tidak berdasar bahwa ia seorang Muslim.

Tak lama kemudian, aksi kekerasan meletus dan menimbulkan kehancuran yang belum pernah terjadi sejak kerusuhan tahun 2011 yang dipicu oleh terbunuhnya Mark Duggan, yang ditembak mati oleh polisi.

“Kita tentu telah melihat episode kekerasan selama dua dekade terakhir,” kata Dr. Jawad Amin, ketua Forum Keamanan Muslim Greater Manchester.

“Yang mengkhawatirkan dan mengkhawatirkan tentang insiden khusus ini [di Southport] adalah bahwa insiden itu dipicu oleh misinformasi yang disebarkan di media sosial oleh mereka yang ingin menyebarkan kebencian daring,” katanya kepada BBC.

“Apakah penyerang itu Muslim atau bukan, seharusnya tidak menjadi dasar untuk melakukan kekerasan seperti yang telah kita lihat.”

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada