Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Dharma Pongrekun - Kun Wardana bisa bersaing dalam Pilgub Jakarta di tengah dugaan pencatutan KTP

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

KPU DKI Jakarta menetapkan pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana memenuhi syarat dukungan untuk Pilgub Jakarta 2024 sehingga bisa mendaftar sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta melalui jalur perseorangan atau independen - di tengah dugaan pencatutan sejumlah KTP warga.

"Tadi pukul 23:25 WIB [Senin (19/08) kami menetapkan keputusan KPU DKI tentang penetapan bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dukungan minimal dan sebaran," ujar Ketua KPU DKI Jakarta, Wahyu Dinata, kepada BBC News Indonesia melalui pesan teks pada Selasa (20/08) dini hari.

Baca juga:

Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Dody Wijaya, mengatakan bahwa terdapat pengurangan dukungan bagi pasangan calon sebanyak 403 dukungan yang tidak memenuhi syarat (TMS).

"Kami kurangi 403 dukungan, karena memang tidak memenuhi syarat. Jadi kini total dukungan kepada pasangan calon perseorangan yaitu 677.065 dari sebelumnya 677.468," katanya.

Dengan demikian, pasangan Dharma-Kun bisa mendaftar untuk berlaga di Pilgub Jakarta pada 27 November 2024. Sebab, syarat batas minimal jumlah KTP untuk dukungan pasangan calon adalah 618.968.

Baca juga:

Penetapan KPU DKI Jakarta mengemuka setelah anggota Bawaslu DKI Jakarta, Sakhroji, mengatakan pihaknya belum menemukan dasar hukum yang kuat untuk meminta KPU melakukan penundaan.

Menurut Sakhroji, pada Senin (19/08), Bawaslu baru memperoleh di bawah 300 laporan. Dia mengeklaim, dari jumlah tersebut, tidak semuanya memiliki data yang lengkap.

"Laporan dari masyarakat sebenarnya berapa banyak, sih? Sementara yang sudah dipenuhi oleh paslon-paslon ini kan kurang lebih 600.040 sekian. Jadi selisihnya masih misalkan 40.000-an untuk ke batas minimal. Artinya kan banyak," ujar Sakhroji kepada BBC News Indonesia pada Senin (19/08).

"Jadi kalaupun dikurangi 300 masih banyak,“ sebutnya.

Bawaslu, sambung dia, akan terus memproses aduan-aduan yang mereka terima serta menerima laporan pelanggaran ke depannya Mereka juga akan meminta KPU untuk melakukan perbaikan sesuai temuan yang ada.

"Batasnya sampai kapan? Ya terserah KPU. "Jadi, biar KPU berjalan, kita juga berjalan," kata Sakhroji.

Rismauli Sihotang, Kakorwil Jakarta Timur pendukung Dharma-Kun sekaligus anggota tim hukum pemenangan Dharma-Kun, membantah tudingan pencatutan terhadap calon mereka. Dia menegaskan semua data pendukung yang direkapitulasi adalah yang sudah memenuhi syarat melalui verifikasi faktual.

"Kan dia ngomong aja dicatut. Kita juga enggak tahu. Sudah memberikan hak jawab kemarin. Enggak ada kita mencatut-mencatut," ujar Risma kepada BBC News Indonesia di KPUD Jakarta pada Senin (19/08).

"Data pusat saja hilang," ujarnya.

Walaupun begitu, Risma tidak menyangkal memang ada sejumlah data pendukung yang tidak memenuhi syarat setelah disortir tim verifikasi, termasuk mereka yang dinyatakan punya gangguan jiwa atau bahkan sudah meninggal.

Ketika ditanya bagaimana sejumlah data pendukung bisa tidak memenuhi syarat dan siapa di baliknya, Risma menjawab: "Ya relawan ini. Enggak tahu. Masyarakat yang mendukung dia. Enggak ngerti kita."

Sementara itu, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyayangkan KPU DKI Jakarta yang menurutnya terburu-buru dalam menetapkan pencalonan Dharma-Kun.

"Alasan mereka karena data yang diduga dicatut tidak mengganggu keterpenuhan persyaratan yang dibutuhkan calon untuk lolos memenuhi syarat sebagai calon perseorangan," ujar Titi kepada BBC News Indonesia pada Senin (19/08) malam.

"Padahal, publik juga tidak bisa diyakinkan sepenuhnya bahwa data yang diklaim memenuhi syarat apakah benar adalah data yang valid dan bukan hasil pencurian. Mestinya KPU tidak terburu-buru menerbitkan keputusan di tengah masifnya spekulasi soal kredibilitas dan integritas pencalonan Dharma-Kun," ujarnya.

Titi menambahkan Baswaslu semestinya bisa meminta penundaan penetapan Dharma-Kun.

Laporan dugaan pencatutan KTP dihentikan polisi

Sementara itu, Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Ade Safri Simanjuntak, mengatakan laporan warga bernama Samson, 45 tahun, ihwal pencatutan KTP untuk mendukung Dharma Pongrekun-Kun Wardana dihentikan setelah dilakukan gelar perkara.

Menurut Ade, satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan pelanggaran pemilihan adalah Badan Pengawas Pemilu.

"Sedangkan Polri adalah lembaga yang menerima penerusan laporan dari Badan Pengawas Pemilu," kata Ade Safri seperti dilansir kantor berita Antara pada Senin (19/08).

Ade menyarankan pelapor mengadukan laporannya ke Bawaslu sesuai mekanisme yang berlaku.

Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyatakan telah menerima lebih dari 500 aduan warga yang data pribadinya dicatut untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai calon independen di pilkada Jakarta. Dari angka tersebut, 377 di antaranya telah diverifikasi.

Ketua PBHI, Julius Ibrani, menilai ada setumpuk pelanggaran pidana dalam kasus ini.

Karena itu, pihaknya berencana melaporkan kasus ini, tak hanya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), tapi juga ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

“Kalau [kasus di Jakarta] saja lolos, didiamkan, maka seluruh Indonesia akan direkayasa seperti ini,” kata Julius.

Bawaslu DKI Jakarta menyatakan akan menindak tegas jika ditemukan pencatutan KTP warga untuk mendukung pasangan Dharma-Kun.

“Jika ditemukan pelanggaran, kami pastikan akan menindak tegas aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan ini,” kata Benny Sabdo, koordinator divisi penanganan pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta.

Sementara itu, Dharma menyatakan proses pengumpulan data pendukungnya dibantu oleh relawan, sehingga ia dan pasangannya Kun tidak terlibat langsung.

“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Dharma.

“Kami niatnya melayani. Jadi, bisa sampai tahap ini juga kami sudah sangat bersyukur.”

Bagaimana kasus ini bermula?

Pada Kamis malam (15/8), KPU DKI Jakarta mengumumkan bahwa pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana lolos sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen untuk pilkada Jakarta yang akan berlangsung 27 November 2024.

Hasil verifikasi faktual KPU DKI Jakarta menunjukkan pasangan itu berhasil mengumpulkan dukungan 677.468 warga Jakarta.

Sebagai catatan, untuk mendaftar sebagai calon independen di pilkada Jakarta, pasangan calon harus meraih dukungan minimal 7,5% warga Jakarta yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Karena jumlah warga Jakarta di DPT mencapai sekitar 8,25 juta jiwa, pasangan calon mesti mengamankan setidaknya 618.968 dukungan.

Di hari pengumuman KPU tersebut, akun @ayamdreampop mengunggah cuitan di media sosial X pada pukul 23.26 WIB. Di situ, ia mengatakan nomor induk kependudukan atau NIK-nya telah “dicatut” tanpa sepengetahuannya untuk mendukung pasangan Dharma-Kun mengikuti pilkada Jakarta.

Ia lantas menyarankan agar warganet lain mengecek apakah NIK-nya juga dicatut dan terdaftar sebagai pendukung bakal calon kepala daerah independen di situs web Info Pemilu yang dikelola KPU.

Dari sana, satu per satu pengguna X lain mulai melaporkan bahwa datanya juga dicatut untuk mendukung Dharma-Kun.

Aulia Postiera, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjabat anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, mulanya tak tahu apa-apa soal ini.

Jumat subuh (16/8), Aulia bangun dan melaksanakan salat. Setelahnya, ia iseng membuka X. Saat itulah ia baru menyimak keramaian soal pencatutan NIK.

Ia buka situs web Info Pemilu dan memasukkan NIK-nya. Kaget, ia menemukan namanya terdaftar sebagai pendukung Dharma-Kun.

“Saya enggak kenal sama sekali [Dharma-Kun],” kata Aulia kepada BBC News Indonesia.

“Kalau nama Dharma Pongrekun itu memang beberapa kali saya lihat video-videonya muncul di media sosial. Cuma saya enggak kenal ini orang siapa. Enggak ada interest juga [untuk mencari tahu].”

Aulia meradang. Apalagi, belum lama ini ia ikut mendirikan LSM Cyberity, yang fokus pada isu keamanan siber, perlindungan data pribadi, misinformasi, dan sebagainya.

“Saya sering mengajar bagaimana melindungi data pribadi dan segala macam. Eh, ini saya jadi korban,” kata Aulia, yang sejak Maret 2024 bahkan telah pindah domisili ke luar Jakarta.

Belum lagi, sebagai anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, Aulia berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang dilarang menunjukkan dukungan politik saat pilkada 2024.

“Dengan kondisi sekarang, saya bisa saja dilaporkan pelanggaran etik, karena ASN harus netral,” katanya.

Aulia lantas merilis klarifikasi di media sosial X dan LinkedIn bahwa data pribadinya digunakan tanpa izin untuk mendukung pasangan Dharma-Kun.

Sepanjang Jumat (16/8), semakin banyak orang yang melaporkan kasus serupa.

Ada yang bilang data adik dan ibunya ikut kena catut. Bahkan, ada yang mengatakan data neneknya yang telah meninggal juga tercatat jadi pendukung Dharma-Kun.

Tak hanya warga biasa, beberapa tokoh publik dan/atau anggota keluarganya juga jadi korban, termasuk mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan.

“Alhamdulillah, KTP saya aman. Tapi KTP dua anak, adik, juga sebagian tim yang bekerja bersama ikut dicatut masuk daftar pendukung calon independen,” cuit Anies.

Sementara itu, dalam unggahan Instagram-nya, novelis Ahmad Fuadi bilang datanya dan aktor Fedi Nuril juga digunakan tanpa sepengetahuan mereka.

“Dari enam orang keluarga dekat, empat orang dicatut. Untuk keluarga kami, itu kan 60-70% yang dicatut,” kata Ahmad.

Merespons ramainya keluhan publik, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) membuka posko pengaduan pencurian data pribadi untuk pencalonan kepala daerah sejak Jumat siang (16/8). Tak lama, Bawaslu DKI Jakarta pun membuka posko serupa.

Hingga Minggu (18/8), pukul 20.00 WIB, Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan telah menerima total lebih dari 500 aduan. Dari angka tersebut, 377 di antaranya telah diverifikasi.

Aulia tak habis pikir melihat begitu banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia bilang jelas telah terjadi pelanggaran pidana. Apalagi, Undang-Undang Nomor 27/2022 tentang perlindungan data pribadi menyatakan setiap orang dilarang memperoleh dan mengumpulkan data pribadi milik orang lain.

Karena itu, Aulia heran bila ada warga atau pejabat publik yang seakan menganggap lumrah kasus kebocoran atau pencurian data pribadi di Indonesia.

Menurutnya, di era UU perlindungan data pribadi, kasus pencatutan semacam ini adalah sebuah “skandal besar”.

“Di luar negeri hal ini menjadi concern besar, cuma di Indonesia dianggap biasa,” kata Aulia.

“Ini skandal besar. Ini data pribadi masyarakat disalahgunakan untuk kepentingan politik.”

Apakah benar ada pelanggaran pidana?

Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan hanya ada dua kementerian yang memiliki akses terhadap data kependudukan digital Indonesia: Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Maka, katanya, wajar bila muncul dugaan kebocoran data dari dua kementerian tersebut.

Selain itu, Julius mempertanyakan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas memverifikasi data dukungan terhadap pasangan calon kepala daerah independen.

Dody Wijaya, anggota KPU DKI Jakarta, mengatakan data dukungan terhadap pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana telah diverifikasi secara administratif dan faktual.

Verifikasi faktual, kata Dody saat konferensi pers di Kantor KPU DKI Jakarta pada Sabtu (17/8), dilakukan dengan mendatangi langsung mereka yang tercatat sebagai pendukung pasangan calon independen.

Bila pendukung tidak bisa ditemui langsung, KPU menyerahkan kepada liaison officer dari pasangan calon untuk menghadirkan pendukung di kantor kelurahan atau kantor Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan.

Jika itu juga tak berhasil, verifikasi akan coba dilakukan melalui telepon video.

Namun, setelah melalui seluruh tahapan itu, ternyata tetap ada ratusan orang yang mengadu pada PBHI bahwa datanya dicatut.

“Ini berarti verifikasi faktualnya juga bodong,” kata Julius.

Julius menilai ada setumpuk pelanggaran pidana yang terjadi dalam kasus ini.

Pertama, pelanggaran UU Nomor 27/2022 tentang perlindungan data pribadi, yang melarang seseorang mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Kedua, pelanggaran UU Nomor 19/2016 tentang informasi dan transaksi elektronik, yang menyebut penggunaan data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan yang bersangkutan.

Ketiga, pelanggaran UU Nomor 23/2006 tentang administrasi kependudukan, yang melarang mereka yang tak berhak untuk mengakses basis data kependudukan.

Keempat, pelanggaran hak politik dan hak atas identitas seperti diatur dalam UU Nomor 39/1999 tentang hak asasi manusia.

Kelima, pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pemilu seperti diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang pemilu.

Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, menambahkan bahwa manipulasi dukungan bagi calon independen juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam UU Nomor 8/2015 dan UU Nomor 10/2016 terkait pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.

Saat ini, PBHI sedang menyiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU dan pasangan calon independen Dharma-Kun kepada Bawaslu.

Setelahnya, PBHI pun berniat melaporkan KPU yang meloloskan Dharma-Kun serta Bawaslu yang terkesan “diam-diam saja” kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

PBHI juga bakal melaporkan dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Dharma-Kun dan KPU ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri serta dugaan pelanggaran hak asasi manusia ke Komnas HAM.

Bila ada dugaan korupsi, tidak menutup kemungkinan PBHI akan membuat laporan pula ke KPK.

“Perlu diingat, [kasus pencatutan] ini terjadi di DKI Jakarta dengan akses informasi yang amat sangat tinggi, dengan masyarakat yang jauh lebih banyak jumlah yang terdidiknya, dengan teknologi tinggi untuk bisa memantau,” kata Julius.

“Artinya begini, kalau ini saja lolos, didiamkan, maka seluruh Indonesia akan direkayasa seperti ini.”

Sebagai catatan, pria asal Gambir, Jakarta Pusat, bernama Samson telah membuat laporan ke Polda Metro Jaya terkait pencatutan data pribadinya untuk mendukung pasangan Dharma-Kun pada Jumat (16/8), seperti dilaporkan Detik.

Relawan Anies juga berencana melaporkan Dharma-Kun ke Polri dan Bawaslu terkait pencatutan NIK warga Jakarta, seperti diberitakan Tribun News.

Bagaimana seharusnya KPU dan Bawaslu bersikap?

Sebelumnya, Dody Wijaya, anggota sekaligus ketua divisi teknis KPU DKI Jakarta, menyatakan bahwa data pendukung di situs web Info Pemilu belum dimutakhirkan.

Karena itulah di situs itu ada data warga yang bisa jadi sempat diajukan pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, tapi sesungguhnya secara faktual tidak memenuhi syarat.

"Kami beri disclaimer, data di Info Pemilu tidak update. Jadi, yang di Info Pemilu tidak sama dengan yang sudah difaktualkan," katanya pada Sabtu (17/8).

Namun Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, merasa pernyataan itu saja tidak cukup untuk meyakinkan publik.

Menurutnya, KPU harus membuka seluruh data dukungan yang telah dinyatakan memenuhi syarat untuk menjaga “kepercayaan publik dan kredibilitas pilkada”.

Bawaslu pun diminta responsif menindaklanjuti setiap aduan dan melakukannya secara terbuka dan akuntabel.

“Dari hasil tindak lanjut Bawaslu, jika ditemukan ada data dukungan yang menjadi basis untuk memutuskan bahwa bakal calon perseorangan memenuhi syarat tersebut ternyata invalid, maka berdasarkan hukum pencalonannya bisa dibatalkan,” kata Titi.

“Bawaslu bisa merekomendasikan penundaan penerbitan SK [untuk bakal calon] dan meminta pencermatan dukungan ulang sampai segala sesuatunya terang benderang dan dukungan bisa dipastikan sepenuhnya valid.”

Pada Senin (19/8), KPU DKI Jakarta berencana menjalankan rapat pleno untuk membahas status Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Dody dari KPU DKI Jakarta mengatakan ini sejalan dengan tahapan dan jadwal pemilihan kepala daerah yang telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 2/2024.

Di saat yang sama, KPU berharap Bawaslu dapat mengeluarkan rekomendasinya sebelum rapat pleno digelar.

“KPU DKI Jakarta juga sudah berkoordinasi baik secara langsung maupun melalui surat dinas kepada Bawaslu DKI Jakarta terkait pelaksanaan tahapan tersebut,” kata Dody kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/8).

“Sehingga KPU DKI Jakarta juga menunggu rekomendasi dan data tanggapan masyarakat yang melapor kepada Bawaslu DKI Jakarta.”

Benny Sabdo, anggota sekaligus koordinator divisi penanganan pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, mengatakan pihaknya sedang melakukan “penelusuran sekaligus pendalaman” terhadap kasus pencatutan data pribadi ini.

“Bawaslu DKI Jakarta telah membuka posko pengaduan. Posko ini dibuka mulai level provinsi, kabupaten dan kota, hingga kecamatan. Data yang masuk sudah ada ratusan,” kata Benny kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/8).

“Seluruh data yang masuk sedang kami identifikasi dan analisis. Jika ditemukan pelanggaran, kami pastikan akan menindak tegas aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan ini.“

Bagaimana tanggapan Dharma Pongrekun?

Saat dimintai tanggapan via pesan singkat pada Minggu (18/8), Dharma Pongrekun hanya membalas dengan sebuah video.

Video itu menampilkan keterangan KPU DKI Jakarta bahwa data pendukung di situs web Info Pemilu belum dimutakhirkan.

Selain itu, di sana Dharma menyatakan proses pengumpulan data pendukungnya dibantu oleh relawan, sehingga ia dan pasangannya Kun Wardana tidak terlibat langsung.

“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Dharma dalam video.

“Kami niatnya melayani. Jadi, bisa sampai tahap ini juga kami sudah sangat bersyukur.”

Di luar masalah pencatutan data pribadi, sebelumnya pun muncul isu bahwa pasangan Dharma-Kun telah disiapkan sebagai lawan Ridwan Kamil di pemilihan gubernur Jakarta, agar nama terakhir tidak bertarung melawan “kotak kosong”.

Ridwan diperkirakan bakal diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang berisi partai-partai pengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada pemilu presiden lalu.

Pada Kamis (15/8), Dharma menepis isu ini. Ia bilang, “Tidak sama sekali. Kami bukanlah by design.”

Namun Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bilang wajar bila publik menduga ada skenario tertentu di balik pencalonan pasangan tersebut.

Aisah memberi contoh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang sempat berencana maju sebagai calon gubernur Jakarta independen pada pilkada 2017.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok Getty Images
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memberikan suaranya saat pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017.

Saat itu, Ahok yang relatif populer saja disebut harus bersusah-payah mengumpulkan satu juta KTP untuk memenuhi syarat pencalonan.

Namun, dengan mudahnya Dharma kini bisa mengumpulkan pendukung dalam waktu relatif cepat dan lolos verifikasi KPU, meski ia tidak punya rejam jejak politik yang jelas dan secara umum tidak populer di ruang publik, kata Aisah.

“Menurut saya sih wajar ya ketika orang mempertanyakan ini sebenarnya apakah memang kandidat politik yang serius atau sekadar hanya kandidat politik yang dimunculkan supaya tidak ada kotak kosong,” ujarnya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada