Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Tiga perempuan yang 'terlupakan' namun berpengaruh terhadap pengetahuan soal Mesir kuno

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Pada era 1800-an, tiga perempuan mengubah pengetahuan dan pemahaman khalayak luas tentang Mesir Kuno untuk selamanya. Namun, mengapa warisan mereka masih diabaikan?

Pada tahun 1864, penulis perjalanan asal Inggris, Lucie Duff Gordon, berdiri di rumahnya di atas Kuil Luxor. Ia memandang ke luar jendela di seberang tepi barat Sungai Nil yang mengarah ke pegunungan Libya.

Baca juga:

Wajahnya disengat sinar matahari kala mendengarkan hiruk-pikuk suara unta yang melenguh, keledai yang meringkik, dan anjing yang menggonggong dari bawah rumahnya.

Ia sedang merindukan keluarganya yang telah dia tinggalkan di London ketika sedang memulihkan diri dari gejala tuberkulosis di tengah cuaca gurun Mesir yang panas.

Lucie tinggal di di Maison de France atau Rumah Prancis, yang dibangun oleh pasukan militer di daerah tersebut sekitar tahun 1815. Dia sangat mencintai rumah yang disebutnya sebagai "Istana Theban" dan menulis surat kepada keluarganya dari balkonnya setiap hari.

Baca juga:

Surat-surat dari Mesir ini, yang secara rinci menceritakan kesehariannya di negara tersebut, diterbitkan setahun kemudian ke dalam sebuah buku.

Di situ, Lucie menuliskan dengan sangat detail dan gamblang mengenai kondisi politik di Mesir, adat istiadat, serta hubungannya dengan tetangga-tetangganya di Mesir.

Itu mengapa buku tersebut menonjol di saat sebagian besar penulis perempuan menulis fiksi.

Kisah perjalanan dan kehidupan Lucie di Mesir sebagai seorang perempuan Inggris yang mandiri segera menginspirasi pelancong perempuan lain untuk mengikuti jejaknya.

Setidaknya lebih dari satu dekade kemudian, novelis Amelia Edwards, yang tergerak oleh pengalaman Lucie, mengunjungi Mesir dan menerbitkan catatan perjalanan terlarisnya berjudul A Thousand Miles up the Nile.

Karya Amelia, pada gilirannya, membangkitkan minat Emma Andrews, seorang pelancong Amerika kaya yang memajukan arkeologi di Mesir pada awal abad ke-20 dengan mendanai puluhan penggalian makam - banyak di antaranya masih dipelajari hingga saat ini.

Meskipun ketiga perempuan ini awalnya bepergian ke negara itu sebagai turis, masing-masing memberikan dampak yang mendalam pada Egyptology (studi ilmiah tentang Mesir Kuno).

Dan dengan melakukan itu, mereka tidak hanya membentuk pandangan kita tentang salah satu peradaban terpenting di dunia kuno, tapi juga menggambarkan bagaimana wisatawan bepergian ke Mesir pada pergantian abad ke-20.

Tulisan Amelia Edwards yang menggugah dan ilustrasi yang hidup menarik banyak wisatawan ke Mesir. Alamy
Tulisan Amelia Edwards yang menggugah dan ilustrasi yang hidup menarik banyak wisatawan ke Mesir.

Dari November 1873 hingga Maret 1874, Amelia dan rekannya Lucy Renshaw berlayar menyusuri Sungai Nil dengan perahu kecil, Philae.

Mereka mengunjungi semua situs yang direkomendasikan dalam panduan perjalanan Murray: piramida Giza; piramida Saqqara; pemakaman Beni Hasan; kuil Dendera; kuil-kuil di Luxor; Lembah Para Raja dan makam-makam lain di Thebes; ditambah situs-situs di Esna, Aswan, dan Abu Simbel.

Kegiatan untuk melestarikan situs-situs ini belum dimulai, jadi sebagian besar tempat yang mereka kunjungi rusak. Amelia berniat mengubahnya.

Pada bulan Maret itu, para perempuan ini tinggal beberapa minggu di Luxor. Amelia tertarik dengan bekas rumah yang sempat ditinggali Lucie Duff Gordon.

Namun, saat dia melihat tumpukan batu bata di atas kuil, ia terkejut dengan kondisinya.

Setelah nyaris ambruk karena diterjang banjir dari Sungai Nil, rumah kesayangan Lucie yang disebut sebagai "istana Theban" kini hampir tidak layak huni.

Amelia lantas memanjat masuk dan menuju jendela, melihat ke luar sungai dan dataran Theban di sisi lain.

Menyaksikan apa yang dilihat Lucie, Amelia menulis bahwa pemandangan itu, "memperindah ruangan dan menyulap reyotnya rumah ini menjadi sangat elok".

Baca juga:

Ia bermimpi bahwa dia bisa tinggal di sana: "Andai saja saya memiliki pemandangan yang indah ini, dengan keindahan cahaya, warna, dan ruang yang tak terbatas, serta sejarah dan misterinya... selalu ada di depan jendelaku".

Itu adalah satu-satunya perjalanan Amelia ke Mesir, tapi catatan perjalanannya yang puitis mengundang banyak pelancong perempuan lainnya ke negara tersebut.

Diterbitkan pada tahun 1877, A Thousand Miles up the Nile akan menjadi salah satu buku perjalanan terlaris sepanjang masa.

Isi buku itu sebagian berupa jurnal perjalanan dan sebagian lagi sejarah yang diteliti dengan baik. Narasi Amelia sangat jelas menggambarkan pemandangan di sepanjang Sungai Nil.

Akan tetapi, Amelia tidak hanya merekomendasikan pengunjung untuk berhenti melihat monumen dan situs-situs yang ada; dia menganjurkan pelestarian tempat-tempat itu kepada generasi mendatang.

Baca juga:

Popularitas bukunya secara efektif menjadikan piramida Giza, Lembah Para Raja, dan makam-makam lain yang sekarang terkenal sebagai tempat persinggahan penting bagi para pelancong yang ingin ke Mesir untuk 50 tahun ke depan.

Tapi yang lebih penting dari itu, jangkauan buku Amelia yang luas di antara para sarjana, telah menghasilkan penelitian atau kajian dari situs-situs tersebut hingga sekarang.

Keberhasilan buku Amelia juga mendorongnya untuk ikut mendirikan Egypt Exploration Society (EES) pada 1882.

Terinspirasi oleh tujuannya melakukan eksplorasi guna melestarikan monuman di Mesir, ESS mengumpulkan dana dari para donatur untuk penggalian.

Para donatur ini, yang sebagian besar berasal dari kelas menengah Inggris, menerima laporan penggalian dan lokasinya setiap tahun. Laporan-laporan ini -yang berisi peta, daftar, gambar, dan pengetahuan baru- telah mendidik dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang Mesir Kuno selama hampir 150 tahun.

Buku Amelia Edwards juga mendorong paket liburan lengkap ke Mesir. Alamy
Buku Amelia Edwards juga mendorong paket liburan lengkap ke Mesir.

Buku A Thousand up the Nile juga secara bersamaan mendorong dan diuntungkan oleh munculnya paket liburan yang menawarkan wisata arkeologi.

Dimulai pada tahun 1855, perusahaan perjalanan dengan nama yang sama milik pengusaha Inggris, Thomas Cook, mulai mengajak orang-orang untuk berlibur dengan paket lengkap di seluruh Eropa.

Karena populer di kalangan kelas menengah atas dan aristokrat, paket wisata ini mendorong orang-orang untuk bepergian ke destinasi seperti Athena dan Roma - tidak hanya menjelajahi budaya kontemporer mereka, tapi juga menyaksikan monumen-monumen kuno mereka serta mempelajari pentingnya sejarah mereka.

Jadi Anda menghabiskan banyak uang untuk liburan, demikian argumennya, Anda harus belajar dari tempat-tempat itu dan mendukung ekonomi lokal juga.

Perusahaan Thomas Cook melebarkan sayapnya ke Mesir pada tahun 1869, menyediakan wisata arkeologi di Afrika Utara untuk masyarakat umum - dan bagi perempuan yang ingin melancong sendiri dengan aman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baca juga:

Pada akhir tahun 1880-an, perusahaan Cook memandu lebih dari 5.000 orang menyusuri Sungai Nil setiap tahun -menjejaki perjalanan Amelia kala itu.

Berkat popularitas liburan pelancong itu, perusahaan Cook pun memegang kendali atas perjalanan perahu menelusuri Sungai Nil untuk semua pengunjung.

Di tahun 1889, kira-kira 15 tahun setelah Amelia meninggalkan Mesir, Emma Andrews dan pasangannya Theodore Davis (dua jutawan Amerika dan kolektor arkeologi) tiba di Mesir dengan membawa buku Amelia serta beberapa brosur Cook.

Pasangan itu adalah anggota cabang EES di Amerika, yang telah menyebar ke Amerika Serikat hanya beberapa tahun setelah didirikan.

Terinspirasi oleh catatan perjalanan Amelia, mereka segera menyewa dan melengkapi rumah perahu pribadinya untuk melakukan perjalanan pertama menyusuri sungai.

Baca juga:

Brosur Cook dan buku A Thousand Miles up the Nile memandu pasangan ini saat mereka berlayar ke hulu dan kemudian kembali ke hilir Sungai Nil.

Mereka berhenti di semua lokasi yang disarankan Amelia (dan brosur Cook).

Seperti Lucie Duff Gordon dan Amelia sebelumnya, mereka langsung jatuh cinta dengan Mesir. Pasangan ini lantas melakukan perjalanan ke hulu Sungai Nil setiap tahun selama 25 tahun setelahnya.

Mereka adalah turis arkeologi sejati: anggota kelas atas yang ingin berlibur sambil mempelajari situs-situs kuno yang mereka temui.

Keduanya juga membeli artefak kuno, mengumpulkan koleksi mereka sendiri.

Emma mengaku terinspirasi oleh perjalanannya sendiri dan nasihat Amelia dari catatannya yang berisi: "Kita selalu belajar dan selalu ada lebih banyak yang harus dipelajari; kita selalu mencari dan selalu ada lebih banyak yang harus ditemukan."

Dari tahun 1900 hingga mereka meninggalkan Mesir pada 1914, Emma dan Davis akan membayar dan secara pribadi menggali sekitar 25 hingga 30 makam di Lembah Para Raja, termasuk beberapa penyelidikan arkeologi paling penting di negara tersebut.

Emma Andrews dan rekannya membayar dan menggali sekitar 25 hingga 30 makam di Lembah Para Raja, termasuk makam Yuya dan Thuya. Alamy
Emma Andrews dan rekannya membayar dan menggali sekitar 25 hingga 30 makam di Lembah Para Raja, termasuk makam Yuya dan Thuya.

Undang-undang penggalian di Mesir pada saat itu mengharuskan sebagan besar artefak disimpan di Museum Kairo, sedangkan duplikatnya menjadi milik pribadi pelindung atau arkeolog.

Pada tahun 1905, pasangan Emma dan Davis serta kru mereka menemukan makam nomor 46, makam Yuya dan Thuya, orang tua Ratu Tiye (istri pertama Firaun Amenhotep III) serta kakek buyut Tutankhamun.

Kala itu, makam ini adalah makam Mesir yang paling terawat yang pernah ditemukan, dengan sebagian besar peralatan pemakaman masih ada di dalamnya.

Penutup peti mati yang menakjubkan masih dipajang di Kairo dan kereta perang yang utuh - yang kedua dari jenisnya pernah ditemukan - berada tepat di belakang mereka.

Artefak-artefak tersebut penting, tapi buku harian Emma sangat penting bagi pengetahuan kita tentang situs-situs tersebut.

Baca juga:

Catatannya memberikan penjelasan rinci tentang aktivitasnya dan Davis selama seperempat abad.

Dia sangat cermat mencatat penggalian yang dilakukan mereka, lengkap dengan peta dan laporan harian tentang pengunjung maupun artefak yang mereka temukan.

Davis menggunakan banyak buku harian Emma dalam laporan situsnya yang diterbitkan sendiri, tapi tidak pernah memberikan penghargaan yang pantas kepada Emma.

Namun yang terpenting, Emma memasukkan dalam catatannya orang-orang yang diabaikan oleh begitu banyak penulis pria: pekerja Mesir, pedagang barang antik, kapten kapal dan awak kapal.

Bagi Emma, itu semua adalah dasar untuk memahami sejarah Mesir selama berabad-abad.

Emma Edwards menyumbangkan sebagian besar koleksinya ke Museum Seni Metropolitan Kota New York namun tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak atas karyanya. Alamy
Emma Edwards menyumbangkan sebagian besar koleksinya ke Museum Seni Metropolitan Kota New York namun tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak atas karyanya.

Warisan Emma masih tersimpan di Museum Seni Metropolitan Kota New York.

Dia dan Davis masing-masing menyumbangkan sebagian besar koleksi mereka - lebih dari 1.600 artefak Mesir - dan kekayaan mereka ke Museum Seni Metropolitan.

Setiap tahun, jutaan pengunjung melihat artefak tersebut, seperti guci kanopik dari makam kontroversial KV 55.

Tapi akibat dari aktivitas penggalian Davis yang buruk, para arkeolog masih belum bisa menyimpulkan siapa yang menyimpan sisa-sisa mumi di dalamnya.

Di Museum itu juga terdapat botol air berhias yang telah dipugar dari prosesi pemakaman Raja Tutankhamun, salah satu dari sedikit artefak Tutankhamun di luar Mesir.

Hasil kerja Emma bahkan membuat fragmen-fragmen kehidupan dan kematian Mesir kuno ini bisa diakses oleh para sarjana dan anak-anak sekolah, dan memberikan pandangan 'langka' kepada negara Barat tentang bagaimana orang Mesir kuno menghormati orang yang telah mati.

Ketertarikan dan pemahaman kita soal Mesir kuno sekarang sebagian besar dipengaruhi oleh tiga perempuan yang terlupakan ini.

Seperti halnya para pelancong sekaligus arkeolog pria, karya mereka tidak lepas dari kontroversi: mereka adalah orang-orang yang relatif kaya bisa bepergian, menetap, dan mendapatkan keuntungan secara profesional dari Mesir dengan memindahkan artefak kuno dari tanah air bersejarah mereka.

Namun, warisan mereka yang sering diabaikan telah meletakkan dasar ilmu pengetahuan Mesir Kuno modern dan memengaruhi pemahaman kita tentang 'dunia kuno' sejak awal mulanya.

Kathleen Sheppard adalah seorang profesor di Fakultas Sejarah dan Ilmu Politik di Missouri S&T dan penulis buku Women in the Valley of the Kings.

Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul The female travellers who shaped the ancient world pada BBC Travel

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada