Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Mengapa Thailand lebih ramah terhadap kelompok LGBT dibanding negara-negara lain di Asia?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
LGBT, Thailand Getty Images

Thailand adalah negara pertama di Asia Tenggara dan negara ketiga di Asia yang mengesahkan Undang-Undang Kesetaraan Pernikahan—yang mengakui pernikahan sesama jenis.

Undang-undang itu mengubah sebutan “suami-istri” menjadi “pasangan”, yang memenuhi prinsip dalam undang-undang dasar negara itu bahwa manusia berkedudukan sama di hadapan hukum.

Baca juga:

Undang-undang ini membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun—melewati beragam perlawanan dan dukungan—hingga akhirnya parlemen Thailand menyetujuinya melalui pemungutan suraa 400 berbanding 10 pada Maret lalu.

Tiga bulan setelahnya, senat Thailand menyetujuinya dengan suara 130 berbanding 10 pada Juni.

Undang-undang yang mendapat restu dari Raja Thailand pada Selasa (24/09) ini akan berlaku efektif dalam 120 hari ke depan, tepatnya pada 22 Januari 2025.

Baca juga:

BBC Thai mengajak Anda menelusuri tiga faktor utama dari latar belakang sejarah, agama, dan budaya yang membuat Thailand lebih ramah dan terbuka terhadap kelompok LGBT dibandingkan negara lain di Asia.

Faktor keyakinan dan agama

Naruephon Duangwiset, akademisi dari Pusat Antropologi Sirindhorn yang telah mempelajari sejarah, budaya, dan keragaman kelompok LGBT di Thailand selama lebih dari 10 tahun terakhir, mengatakan kepada BBC Thai bahwa di wilayah Thailand bagian tenggara, terdapat kepercayaan tentang penciptaan manusia dalam berbagai bentuk.

Dan bila melihat kembali pengaruh agama Hindu—yang datang dari India—ditemukan banyak dewa yang memiliki karakter campuran laki-laki dan perempuan.

Hal ini, menurut Dr Naruephon, menghasilkan ruang terbuka yang mendukung keberagaman budaya Thailand.

Baca juga:

Sementara itu, dalam agama Buddha, tidak ada larangan atau hukuman bagi orang dengan seksualitas yang berbeda.

Oleh karena itu, ia memandang masyarakat Thailand yang memiliki tingkat multikulturalisme relatif tinggi dan merupakan masyarakat yang secara bawaan bersifat fleksibel.

Selain itu, lepasnya Thailand dari kolonialisme pada abad ke-18 juga membuat Thailand tidak terjerumus ke dalam pengaruh penjajah Barat.

Menurut prinsip Kristiani yang banyak dianut negara-negara Barat, perilaku sesama jenis dilarang karena dianggap dosa dan melawan hukum Tuhan.

Thailand Getty Images
Ilustrasi yang menunjukkan Raja Thebaw ditangkap oleh Kolonel Sleden dari Inggris dan dinyatakan sebagai tawanan perang.

Ambil contoh Myanmar—dulu bernama Burma. Negara itu adalah ruang yang terbuka bagi orang-orang dengan seksualitas berbeda, mirip dengan Thailand.

Diketahui bahwa para transgender bisa mengekspresikan dirinya dalam upacara keagamaan, seperti menjadi perantara dan pemimpin upacara yang berhubungan dengan roh-roh suci.

Namun sekitar tahun 1820-an, Inggris datang menjajah Burma dan memperkenalkan undang-undang hukum kejahatan yang dipengaruhi konsep Kristen.

Undang-undang melarang warga negara melakukan perilaku sesama jenis karena dianggap dosa melawan hukum Tuhan.

Baca juga:

Pengaruh undang-undang ini tidak hanya berdampak pada Burma, tapi juga Malaysia dan Singapura yang juga berada di bawah kekuasaan Inggris kala itu.

“Ketika Inggris mundur, Burma mendeklarasikan kemerdekaan. Diktator militer atau pemerintahan militer Burma mempunyai cara berpikir yang patriarki. Kolonialisme tidak menerima gender kaum gay dan kathoey,” kata Dr Naruephon.

“Kolonialisme membuat cara berpikir tentang gender hanya bersifat laki-laki dan perempuan. Menjadikan adat istiadat lama yang biasa dianut menjadi ilegal.”

Saat ini, sebagian kelompok LGBT di Myanmar masih menjalankan perannya sebagai pelaku upacara keagamaan.

Namun, hal ini hanya terjadi di tingkat lokal sebab pemerintah pusat tak menerima atau mendukung langkah ini.

Sementara itu, di Indonesia, pasangan sesama jenis dicambuk secara terbuka di Provinsi Aceh. Provinsi ini merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum syariah di Indonesia. Getty Images
Di Indonesia, pasangan sesama jenis dicambuk secara terbuka di Provinsi Aceh. Provinsi ini merupakan satu-satunya provinsi yang menerapkan hukum syariah di Indonesia.

Dr Naruephon menyebutkan bahwa hukum Islam dengan jelas menyatakan bahwa laki-laki dilarang berpakaian seperti Perempuan dan melarang hubungan sesama jenis.

“Kita akan menemukan bahwa Islam mempunyai kekuatan untuk menindas kaum gay dan transpuan di Malaysia dan Indonesia. Dan ada juga kasus pembunuhan karena melanggar aturan agama.”

Laos, Vietnam dan Kamboja, yang berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis pada tahun 1880-an, dipengaruhi oleh gagasan kolonial Perancis yang mirip dengan Hukum Félonie Inggris, yang tidak mengakui hubungan sesama jenis.

Seiring dengan itu, gagasan Konfusianisme dari China memiliki pengaruh yang kuat di Vietnam. Oleh karena itu, negara ini bukanlah wilayah yang terbuka terhadap keberagaman gender.

Konfusianisme adalah pedoman bagi pemerintah dan organisasi sosial yang secara jelas mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan.

Mereka sangat menekankan konsep patriarki yang kemudian menyebabkan segregasi gender. Laki-laki diharapkan menikahi seorang perempuan dan memiliki ahli waris yang meneruskan nama keluarga.

Oleh karena itu, cinta sesama jenis tidak memenuhi nilai-nilai Konfusius tersebut.

Faktor sejarah: Masyarakat Asia Tenggara sudah lama menerima keberadaan kelompok LGBT

Dalam penelitian bertajuk Gender Diversity in The Historical Dimension of Human Society dari Universitas Loei Rajabhat, disebut bahwa masyarakat Asia Tenggara mengakui keberadaan kelompok LGBT sejak dahulu kala.

Ditemukan bahwa di Asia Tenggara ada catatan tentang kathoey di Kerajaan Chenla yang tampak cukup bebas berada di depan umum.

“Sekitar tahun 1937-1957, para kathoey hanya akan menunjukkan sifat femininnya saat ada acara adat di kuil. Ini bukanlah jenis cross-dressing yang kita pahami saat ini,” kata Dr Naruephon, antropolog dari Sirindhorn Anthropology Center.

“Paling-paling pakai sarung saja, rambut panjang, dan pakai bunga. Dia tidak berpakaian seperti seorang perempuan.”

Dr Naruephon juga menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam sistem pernikahan di masa lalu, anak perempuan tertua adalah orang yang menerima warisan orang tuanya.

Mereka harus tetap berada dalam keluarga dan menciptakan ahli waris, sementara laki-laki harus keluar dan tinggal di rumah keluarga istrinya.

Dia menjelaskan, jika ada anak berjenis kelamin laki-laki namun bertemperamen perempuan, jika dia tidak menikah dia tetap tinggal di rumah dan membantu orang tuanya.

“Namun ditemukan bahwa beberapa pria yang feminin lebih cenderung melajang. Mereka mungkin menjalin hubungan rahasia dengan pria lain di desa dan bersenang-senang bersama. Namun saya tidak bermaksud mengungkapkan mereka sebagai pasangan suami-istri seperti yang kita pahami di zaman modern.”

Laporan yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bertajuk Horsein Poo Mia: Peran Kelompok LGBT di Ruang Upacara Lanna yang diterbitkan di situs Museum Nasional Chiang Mai juga menjelaskan kepercayaan terhadap hantu di masyarakat Lanna yang pelaku ritualnya juga adalah LGBT.

Baca juga:

Diketahui bahwa beberapa medium yang disebut “penunggang kuda” adalah kakek dari pihak ibu atau ibu dari pihak istri.

Mereka sering kali menjadi medium untuk "hantu kerajaan" yang mengacu pada hantu yang dulunya adalah raja atau keluarga kerajaan yang sebelumnya pernah memerintah suatu kota atau wilayah dan melindungi orang-orang yang menghormatinya.

Setelah mati, dia menjadi hantu.

Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa orang-orang tersebut tidak mengalami masalah menstruasi dan mampu merawat kostum hantu agar cantik dan bersih bak perempuan.

Namun keberadaan Poo Mia sebagai media seperti ini adalah cara untuk secara realistis membuka ruang gender bagi orang-orang dengan beragam seksualitas melalui kepercayaan kuno dan tidak menimbulkan rasa malu bagi mereka yang memuja hantu tuannya.

Faktor budaya: Ruang terbuka bagi kelompok LGBTQ dalam teater

Dr Naruephon, antropolog dari Sirindhorn Anthropology Center, melanjutkan teater rakyat dan pertunjukan teater menjadi salah satu bukti yang jelas menunjukkan keberagaman seksualitas.

Kelompok LGBT di Thailand sebelumnya sudah bisa mengekspresikan konten transgender secara bebas di depan umum.

“Seperti Drama Nok, Drama Chatri, Nora Khon adalah ruang terbuka yang memungkinkan para transgender datang dan berperan. Seorang pria mengambil peran sebagai seorang perempuan. Seorang perempuan mengambil peran sebagai seorang pria. Itu adalah seni pertunjukan,” jelasnya.

“Oleh karena itu, ruang budaya dalam masyarakat Thailand memberikan jalan bagi orang-orang yang bukan laki-laki atau perempuan untuk memiliki kesempatan untuk menunjukkan bakat mereka.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perilaku sesama jenis (homoseksualitas), menurut Dr Naruephon, tercatat sering terjadi di area pertunjukan pada masa pemerintahan Raja Rama VI-VII (sekitar tahun 1910-an-1930-an).

Area pertunjukan, katanya, merupakan area yang memungkinkan pengungkapan identitas dan orientasi seksual seseorang secara maksimal.

Namun tampaknya pada masa itu, aktor laki-laki mempunyai keunggulan yang sangat besar dibandingkan aktor perempuan, seperti yang tercantum dalam artikel Permainan Peran Transgender: Berpikir di Luar Kotak Gender dan faktor utama yang mempengaruhi transgenderisme yang diterbitkan dalam Jurnal Humaniora dan Ilmu Sosial Universitas Bansomdejchaopraya Rajabhat.

Diketahui bahwa menjelang akhir masa pemerintahan Raja Rama V, ada seorang guru drama bernama Chum, yang merupakan putri dari Phraya Sripipat yang sangat terkenal dengan penampilannya sebagai Chao Ngo dari Inao.

Namun dia tetap dihukum karena kebiasaannya berpakaian seperti laki-laki. Sebab, nilai-nilai saat itu memandang ekspresi gender perempuan tidak pantas.

Sementara itu, drama luar negeri kerap menampilkan peran komedi. Bahasanya blak-blakan, jelas, tegas, atau mengandung pertengkaran yang terkesan asal-asalan.

Oleh karena itu, para aktor umumnya menggunakan laki-laki untuk memainkan berbagai peran karena perempuan pada masa itu diharuskan untuk menjadi pendiam dan terkendali.

Era peradaban: Keragaman seksualitas menjadi tidak normal

Dr Naruephon mengatakan sekitar tahun 1937-1957, yaitu pada masa pemerintahan Plaek Phibunsongkhram—secara lokal dikenal sebagai Field Marshal P, Thailand telah mengadopsi konsep peradaban Barat. Salah satunya adalah Aturan Regulasi Gender.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa pengumuman yang menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan harus berpakaian ala Barat, misalnya laki-laki harus memakai celana panjang, kemeja, dan pinang, sedangkan perempuan harus memakai rok, sepatu, dan rambut panjang.

“Nama yang diberikan kepada seorang perempuan haruslah nama yang mencerminkan feminitas. Anda tidak boleh menggunakan nama maskulin. Laki-laki harus memiliki nama yang sesuai dengan jenis kelaminnya.”

Demikian halnya, lanjut Dr Naruephon, aktor harus berperan sesuai jenis kelaminnya. Laki-laki tidak boleh terbiasa memainkan peran perempuan, demikian juga perempuan tidak bisa memainkan peran utama.

“Jadi itu adalah revolusi budaya. Kaum transgender yang sebelumnya berperan dalam ruang pertunjukan harus bekerja dengan cara lain.”

“Jika Anda tinggal di pedesaan, Anda masih bisa tampil. Namun mereka hidup sebagaimana mereka dilahirkan karena negara tidak mendukung mereka.”

Sejak tahun 1957 dan seterusnya, Thailand mulai mengembangkan perekonomiannya sesuai dengan konsep kapitalisme dan mereformasi negara menjadi negara industri.

Oleh karena itu, lahirlah Rencana Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional yang pertama. Selain itu, ditemukan bahwa Amerika mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan di Thailand, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi, termasuk penerjemahan banyak buku teks pengajaran dari Barat untuk digunakan di Thailand.

Dr Naruephon bilang ada teori psikologi yang menjelaskan soal perilaku seksual menyimpang yang dituangkan dalam buku pelajaran.

“Orang tua juga mendidik anak-anaknya untuk jangan menyimpang secara seksual. Ladyboy memiliki mental yang tidak stabil sehingga harus dirawat dan berkonsultasi dengan psikiater. Buku teks ini telah diproduksi dalam jumlah besar sejak tahun 1957,” ungkapnya.

Pendidikan modern menerjemahkan teori-teori yang cukup diskriminatif hingga terjadi seksisme. Buku teks yang digunakan di sekolah tingkat dasar, menengah, dan universitas, bahkan dalam mata pelajaran pendidikan kesehatan atau kewarganegaraan, berulang kali menekankan bahwa kathoeys adalah kelainan seksual, kata Dr. Naruephon.

“Adapun mereka yang terlahir dengan gender menengah, masyarakat tidak akan menerima dan memandang rendah mereka.”

Itu, katanya, merupakan hasil cara berpikir yang menjunjung tradisi militer dan menggunakan pengetahuan Barat untuk mendukung maskulinitas pemerintah.

Pada 2017, teks pendidikan kesehatan kelas 1-6 telah direvisi dengan mencantumkan kata kunci, makna, dan isi agar sesuai dengan Undang-Undang Kesetaraan Gender 2015.

Namun semua ini tidak akan terjadi tanpa kampanye dari masyarakat sipil dari kelompok beragam gender di Thailand setelah ditemukan bahwa isi buku teks tersebut mengandung konten yang menimbulkan bias gender yang kuat.

Dr Naruephon juga mengungkapkan pandangannya bahwa ada hal lain yang memperkuat prasangka terhadap orang-orang dari berbagai gender.

Pemain kabaret LGBT bersiap tampil. Gambar ini diambil pada tahun 2006. Getty Images
Pemain kabaret LGBT bersiap tampil. Gambar ini diambil pada tahun 2006.

Secara khusus, organisasi media arus utama sering kali melaporkan berita utama kriminal yang sensasional dan menekankan bahwa kelompok LGBT adalah orang-orang yang tidak waras.

“Jika kaum gay dan transpuan melakukan sesuatu yang ilegal, identitas gender mereka akan diperkuat,” kata Dr Naruephon.

“Media arus utama sering memilih untuk melabeli mereka sebagai orang-orang yang tidak normal, menyimpang secara seksual.”

“Hal ini mereproduksi perasaan takut terhadap perilaku transgender. Padahal itu tidak ada hubungannya dengan apapun.”

Pada saat yang sama anak-anak dari keluarga China-Thailand, terutama anak laki-laki tertua, mendapat tekanan besar untuk meneruskan garis keturunan keluarga dan menghasilkan ahli waris, maka ia harus menikah sesuai harapan keluarga

Oleh karena itu, kehidupan kelompok LGBT sejak tahun 1950-an dan seterusnya sering kali berada di ruang privat. Mereka menciptakan ruang aman mereka sendiri.

Kesetaraan pernikahan, sebuah kemenangan yang masih menghadapi tantangan

Baru dalam 10 tahun terakhir, masyarakat Thailand beraksi menuntut hak bagi orang-orang dengan gender yang berbeda, termasuk menyerukan penghapusan diskriminasi dan bias gender.

Negara ini mendapat angin dari gerakan global untuk hak-hak LGBT yang sekitar tahun 2000-an terjadi di berbagai negara secara bersamaan.

Namun akademisi dari Pusat Antropologi Sirindhorn menunjukkan bahwa selama 80 tahun terakhir, hampir semua pemimpin di Thailand adalah laki-laki dan mereka adalah tentara dan polisi.

Dia juga melihat politik di Thailand didominasi laki-laki.

“Padahal Thailand tidak pernah menjadi jajahan negara-negara Barat. Namun kami telah dijajah oleh paham militerisme. dan pendidikan yang menghasilkan buku teks tentang teori penyimpangan seksual yang kita warisi dari penjajah.”

“Jadi selama 80 tahun terakhir kita selalu hidup dalam kolonialisme laten,” katanya.

LGBT, Thailand Getty Images
Dalam 10 tahun terakhir masyarakat Thailand beraksi menuntut hak bagi orang-orang dengan gender yang berbeda, termasuk menyerukan penghapusan diskriminasi dan bias gender.

Thailand, menurutnya, tidak memiliki tempat yang aman bagi kelompok LGBTQ karena mereka yang berkuasa di masyarakat telah memperkuat bias gender selama 80 tahun.

Oleh karena itu, ia memandang pemberlakuan hukum pernikahan setara di Thailand adalah kemenangan bagi orang-orang dengan seksualitas yang beragam di masyarakat Thailand.

Namun hal ini tidak menjamin bahwa keluarga dan masyarakat akan menjadi tempat yang aman bagi kelompok masyarakat tersebut.

Sebab, gagasan-gagasan yang terkubur sejak zaman Field Marshal P. belum hilang dan tidak semua keluarga membesarkan anak dengan kebebasan seksual seperti yang diharapkan banyak orang.

“Beberapa orang tua ingin membesarkan anaknya sesuai dengan jenis kelamin lahirnya. Padahal gadis itu mungkin menyukai sesama jenis. Namun orang tua tidak pernah mengambil kebebasan atau bertanya kepada anaknya apakah mereka ingin memakai rok.”

LGBT, Thailand Getty Images

Dia pun mencontohkan bahwa di banyak negara Barat yang telah menerapkan undang-undang perkawinan yang setara selama 10-20 tahun, masih banyak diskriminasi terhadap remaja LGBT di sekolah. Mereka ditindas atau diintimidasi.

“Oleh karena itu, undang-undang tidak terlalu menjamin hak dan kebebasan dalam kehidupan sehari-hari.”

Sebuah survei yang dilakukan oleh YouGov (Thailand) mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat Thailand—sekitar 64%—memiliki sikap positif terhadap RUU Kesetaraan Pernikahan dengan 32% merasa senang, 18% merasa bangga dan 14% merasa ada harapan.

Yougov adalah perusahaan riset pasar dan survei online tersebut dilakukan antara tanggal 18-23 Juli terhadap 2.055 orang Thailand berusia 18 tahun ke atas.

Survei tersebut juga menemukan bahwa mayoritas masyarakat Thailand mendukung kesetaraan pernikahan. Namun perempuan lebih suportif dibandingkan laki-laki.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada