Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Kisah di balik The 13th Warrior, film yang mengawali citra positif Muslim di Hollywood

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Ketika dirilis tahun 1999, film ini dikritik habis-habisan dan tak laku. Namun, film ini sekarang masih punya para penggemar setia, terutama di kalangan Muslim.

Film The 13th Warrior dirilis di AS 25 tahun lalu, beserta semua ciri khas film laris Hollywood.

Baca juga:

Film ini dibintangi oleh bintang papan atas Antonio Banderas, disutradarai oleh John McTiernan yang membuat film-film laris seperti Predator dan Die Hard.

Tak hanya itu, film ini juga didasarkan pada novel seru yang ditulis oleh penulis Jurassic Park, Michael Crichton, berjudul Eaters of the Dead.

Seperti bukunya, film ini menceritakan kisah Ahmad bin Fadlan, seorang diplomat Arab abad ke-10 yang diasingkan dari Baghdad. Dengan berat hati, Ahmad bergabung dengan sekelompok Viking dalam upaya memerangi kejahatan yang misterius dan mengerikan.

Baca juga:

Meski didukung nama-nama besar itu, film ini tetap saja gagal box office. Penayangan uji cobanya mendapat komentar negatif, sampai pengambilan gambar diulang dan menyebabkan anggaran membengkak sampai jadi lebih dari US$100 juta. Namun, film ini hanya meraup US$61,7 juta di seluruh dunia.

Kritikus film Roger Ebert, saat itu menilai film ini dengan angka 1,5 dari 5.

Ebert menulis bahwa film ini "terlihat menghabiskan banyak uang, tetapi sedikit pemikiran. Sangat sulit mengikuti jalan cerita dari balik adegan aksi dan pembantaian yang tak ada habisnya".

Namun, meskipun sudah lama dilupakan oleh sebagian besar masyarakat umum, film ini kemudian menarik pengikut fanatik yang setia, terutama di kalangan Muslim yang mencari representasi positif di layar lebar.

Hollywood sudah lama dikritik karena penggambaran Muslim dan budaya Islam yang buruk selama bertahun-tahun. Cukup jelas bahwa, bahkan hingga saat ini, akan sulit menemukan contoh penggambaran protagonis Muslim yang positif dalam film, tetapi mudah mencari penggambaran yang jahat atau bermasalah.

Ada beberapa film biografi tentang tokoh Muslim yang signifikan seperti Ali atau Malcolm X. Ada pula beberapa film dengan anggaran yang relatif lebih kecil dengan protagonis Muslim seperti Traitor dan The Big Sick yang menentang tren tersebut.

Namun, tidak ada yang punya sumber daya dan anggaran sebanyak The 13th Warrior, yang membuat kegagalannya menjadi lebih mencolok dan rumit.

"Sebagai seseorang yang selama 20 tahun mencoba membuat film dan acara televisi yang mengedepankan identitas Muslim, saya pikir The 13th Warrior memperburuk situasi," kata Dr Reza Aslan, seorang penulis buku terlaris, produser TV, dan profesor penulisan kreatif di University of California, Riverside.

"Film itu jadi bencana box office sehingga beberapa orang di Hollywood memutuskan bahwa mereka tidak akan membuat film dengan tokoh utama Muslim lagi," ujarnya kemudian.

"Tak lama setelahnya, kita melihat peristiwa 9/11 yang membuat Hollywood mengubah Muslim menjadi antagonis."

Asal muasal dari buku ke film

Sekarang, 25 tahun setelah dirilis, film tersebut layak untuk dikaji ulang karena kontribusinya terhadap representasi Muslim di layar lebar. Juga, mengingat bahwa pada saat itu film dengan tokoh utama Muslim masih cukup tidak lazim.

"Konon, Michael Crichton berdebat dengan seorang teman tentang keunggulan Beowulf (karya sastra Anglo-Saxon pertama yang penting) dan bertaruh bahwa dia dapat menulis ulang karya tersebut untuk pembaca modern," kata Aslan.

"Dalam proses penulisannya, ia menemukan manuskrip karya Ahmad ibn Fadlan yang merupakan deskripsi budaya Viking dari suduh pandang orang luar pertama yang kita miliki. Begitu terpesonanya sampai dia memutuskan untuk menjadikan Ahmad sebagai tokoh utama."

Warren Lewis, pengajar penulisan naskah di California State University Fullerton dan salah satu penulis naskah film tersebut menjelaskan bahwa ketika mengadaptasi buku tersebut menjadi sebuah film, tidak diragukan lagi bahwa iman Islam dari tokoh tersebut akan menjadi elemen utama.

Penulisan dipikirkan dengan matang untuk menghadirkan karakter Ahmad dengan baik, sehingga karakter komedinya yang sempat muncul, dibatalkan.

Tidak sulit untuk mengetahui mengapa banyak penonton Muslim tertarik padanya. Antonio Banderas memerankannya dengan aura tenang dan bermartabat.

Ahmad ditempatkan dalam situasi baru yang tidak familiar untuknya bersama para Viking, dan situasi itu dibuat bukan untuk mempermalukannya. Dia justru diberi banyak kesempatan untuk menunjukkan kepandaian dan keberaniannya.

Ketika orang-orang Viking mengejek ukuran kudanya, dia membuat mereka terkesan dengan seberapa baik ia menungganginya.

Ketika mereka memberinya pedang yang terlalu berat untuk dia angkat, Ahmad membentuknya menjadi pedang lengkung yang dapat ia gunakan dengan mudah.

"Ahmad yang malang dan bingung tidak tahu apa situasi apa yang sedang dia hadapi. Ia dilempari pedang Viking besar yang dapat dipegang dengan dua tangan, dan tidak dapat mengambilnya. Candaannya adalah ia diminta jadi lebih kuat. Lalu apa yang dilakukannya? Ia menjadi lebih pintar."

"Ahmad menemukan pandai besi yang bisa membuatnya jadi pedang lengkung Arab yang indah, yang bisa memotong lebih baik daripada besi besar yang mereka berikan kepadanya," kata Lewis.

Baca juga:

"Tahukah Anda bahwa 'Grow Stronger' menjadi slogan di satuan tertentu di militer Amerika Serikat? Momen itu menyentuh hati banyak orang."

Momen lain yang menonjol adalah ketika pemimpin Viking bertanya apakah Ahmad bisa "menggambar bunyi" (maksudnya: menulis). Adegan ini menyandingkan orang Arab yang terpelajar dengan orang Utara yang buta huruf.

Untuk menunjukkan bahwa ia bisa, Ahmad memilih untuk menulis dalam bahasa Arab: "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi-Nya."

Sungguh menyegarkan melihat kalimat syahadat muncul dalam sebuah film Barat dengan cara yang mendidik tanpa nada jahat sama sekali.

"Ia bisa saja menulis nama-nama orang itu atau apa pun, tetapi ia langsung menyampaikan apa yang ada di hatinya," kata Lewis.

"Mungkin membingungkan bagi penonton Barat untuk melihat tulisan dan ilmu pengetahuan dikaitkan dengan aksara Arab dan Islam, yang bertentangan dengan budaya Barat," kata Dr. Lynn Shutters, profesor di Colorado State University.

Bagaimana film ini 'membalikkan budaya Timur'

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika menggambarkan Ahmad sebagai seorang Muslim yang taat, film ini menghindari cap negatif yang diabadikan Hollywood. Ahmad adalah orang yang simpatik bukan karena ia menjauhkan diri dari imannya, tetapi karena imannya.

Meski demikian, bukan berarti Ahmad digambarkan selalu baik. Ia awalnya dikirim dari Baghdad sebagai hukuman karena hubungan asmaranya dengan seorang perempuan yang sudah menikah—sebuah pelanggaran besar bagi seorang Muslim yang taat.

Di awal alur karakternya, Ahmad suka menghakimi, sombong, dan congkak—atau seperti yang dikatakan Lewis "sedikit dandy".

"Ada pria dari peradaban maju yang karena dosa-dosanya, diasingkan ke tempat dengan orang-orang yang sedang berada dalam konflik mengerikan yang sebenarnya tidak dapat ia lawan. Hampir seperti film luar angkasa," kata Lewis.

"Dia bukan orang yang paling dihormati di kampung halamannya. Tapi jika bersama orang Viking, dia selalu dipandang sebagai orang paling beradab. Dia seperti seorang Muslim dari budaya maju yang bergaul dengan orang-orang seperti geng motor."

"Menarik menyaksikan sudut pandang seorang Muslim Arab dalam mengamati Viking dan melihat betapa biadab dan kasarnya perilaku mereka, terutama di bagian awal film," kata Shutters.

Dinamika ini bukan sekadar perubahan besar dari penggambaran standar Hollywood tentang pencerahan dan keunggulan Barat yang sudah ada sejak tahun 1920-an dalam film-film seperti The Sheik.

Film The 13th Warrior hampir seperti pembalikan total dari kiasan tersebut. Ada karakter Arab yang terpisah dari budayanya, memasuki dunia Barat alternatif, lalu kembali ke "masyarakat beradab" sebagai pria yang lebih baik.

Shutters menyebutnya sebagai "embalikkan Timur".

Persahabatan dan rasa saling menghormati yang berkembang antara Ahmad dan Viking dalam film ini terasa sampai ke hati.

Menurut Lewis, The 13th Warrior bahkan ditampilkan dalam kelas tentang kekompakan unit di akademi militer West Point milik Angkatan Darat AS.

"Salah satu hal yang saya banggakan dalam film ini adalah bahwa para Viking tidak pernah mempertanyakan keyakinannya," kata Lewis.

"Mereka sarkastik dan sinis—seperti halnya anggota geng motor—tetapi mereka selalu ada bersamanya."

Sifat inklusif dari karakter Viking membuat film ini lebih sulit diambil oleh kaum supremasi kulit putih. Menurut Shutters, inklusivitas tersebut menjadi perhatian penting dalam hal penggambaran fiksi Abad Pertengahan.

Viking sebenarnya bersifat multiras dan multikultural, namun kaum sayap kanan terus berusaha mendorong penggambaran yang tidak akurat tentang sejarah mereka.

Kritik yang masih mengemuka

Namun, meskipun terpuji karena menghindari beberapa klise yang berbahaya, film ini juga bersalah karena mengabadikan aksi kekerasan. Ini mungkin terjadi karena film itu bergenre aksi-petualangan.

"Salah satu masalah yang saya temukan dalam film ini adalah promosi kekerasan maskulin," kata Shutters.

"Bahkan ketika menampilkan Ahmad secara positif sebagai seorang pria terpelajar, ada kesan bahwa dia bukanlah pria 'sejati' di awal film. Dia harus menjadi pria 'sejati' dengan memasuki budaya prajurit Viking."

" Fantasi di balik versi maskulinitas ini bisa sangat berbahaya, bahwa menjadi pejuang dan petarung itu penting karena ada orang jahat di luar sana yang melakukan hal-hal jahat dan Anda harus kuat secara militer untuk mengalahkan mereka."

Ada juga masalah seputar keaslian yang mungkin pada saat itu diabaikan karena kelangkaan representasi Muslim positif lainnya di layar.

film, the 13th warriors, muslim, islam, Hollywood, Antonio Banderas Getty Images
Film ini mengoreksi stereotip Hollywood tentang Timur Tengah yang diabadikan sejak film-film tahun 1920-an seperti The Sheik.

"Saya tidak dapat memisahkan perasaan pribadi saya soal film ini—yang sangat saya nikmati—dengan kenyataan bekerja di Hollywood saat ini," kata Aslan.

"Saya memperhatikan bahwa film ini menggunakan orang Spanyol untuk berperan sebagai orang Arab. Film tersebut sepenuhnya ditulis, disutradarai, dan diproduksi oleh orang non-Arab dan non-Muslim. Meskipun film itu menyenangkan, proses pembuatannya dan produk akhirnya sama sekali tidak memiliki keaslian apa pun."

Ia meyakini bahwa jika film tersebut dibuat saat ini, umat Islam akan dilibatkan.

The 13th Warrior sama sekali bukan film yang sempurna. Namun, bahkan seperempat abad kemudian, film tersebut tetap menjadi tontonan yang menyenangkan dengan alur cerita yang menarik, set dan kostum yang hebat, dan rangkaian aksi yang intens.

Apakah hal itu sulit dilakukan karena konsensus kritis yang brutal pada saat itu?

"Pirates of the Caribbean adalah pembanding yang cukup bagus untuk The 13th Warrior," kata Aslan.

"Film tersebut memiliki nuansa petualangan yang sama yang menjadi film 'empat kuadran' yang sangat diinginkan Hollywood—yaitu film yang menarik bagi semua kelompok umur dan demografi. Saya pikir jika The 13th Warrior dibuat hari ini, film itu akan jauh lebih sukses karena sudah ada model untuk ditiru."

"Saya benar-benar bangga dengan pekerjaan saya di The 13th Warrior," kata Lewis.

"Bukan tugas saya untuk menebak-nebak kritikus, tetapi saya tidak bisa membayangkan apa yang mereka harapkan. Ini bukan fiksi ilmiah, tetapi memang demikian."

"Ini bukan film koboi, tetapi memang begitu. Ini bukan film horor, tetapi memang begitu. Jadi mungkin mereka merasa film ini seperti seekor ikan berbulu."

Versi Bahasa Inggris dari artikel ini,The 13th Warrior: The Hollywood blockbuster that pioneered a Muslim hero bisa Anda simak di laman di BBC Culture.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada