Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Korut ledakkan jalan penghubung ke Korsel, mengapa ketegangan antara dua Korea meningkat?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Seorang warga Seoul menyaksikan tayangan berita mengenai aksi Korea Utara yang meledakkan jalan penghubung menuju Korea Selatan, pada Selasa (15/10). EPA
Seorang warga Seoul menyaksikan tayangan berita mengenai aksi Korea Utara yang meledakkan jalan penghubung menuju Korea Selatan, pada Selasa (15/10).

Ketegangan antara dua Korea yang sudah memanas selama beberapa bulan terakhir memasuki babak baru setelah Korea Utara meledakkan sebagian dari dua jalan yang menghubungkan negara itu dengan Korea Selatan, pada Selasa (15/10).

Sehari setelahnya, Korut mengeklaim setidaknya 1,4 juta pemuda telah mendaftarkan diri sebagai tentara—baik yang baru direkrut ataupun menyatakan kembali bergabung.

Baca juga:

Langkah tersebut diambil negara komunis itu setelah mereka menuduh Korsel menyebarkan selebaran propaganda ke Pyongyang dengan menggunakan drone.

Korut menggambarkan drone-drone itu sebagai provokasi yang bisa berujung “konflik bersenjata, bahkan perang”. Pyongyang kemudian memerintahkan pasukan perbatasan untuk bersiap-siap melancarkan serangan.

Para pengunjung menggunakan teropong untuk melihat sisi Korut dari zona demiliterasi. Getty Images
Para pengunjung menggunakan teropong untuk melihat sisi Korut dari zona demiliterasi.

Korsel menanggapinya dengan menyatakan pihaknya siap membalas. Bahkan, apabila keselamatan Korsel terancam, Seoul menyatakan itu adalah “akhir dari rezim Korea Utara”.

Baca juga:

Pertikaian terbaru ini menandai ketegangan yang terus meningkat antara kedua Korea. Kondisi ini adalah yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir—diawali dengan pernyataan pemimpin Korut, Kim Jong-un, pada Januari lalu bahwa Korsel adalah musuh nomor satu rezimnya.

Apa yang dituduhkan Korut terhadap Korsel?

Pada 11 Oktober, Kementerian Luar Negeri Korut menuduh Korsel mengirim drone ke Pyongyang selama dua minggu berturut-turut pada malam hari.

Kemenlu Korut mengatakan drone itu menyebarkan pamflet yang memuat “rumor yang menghasut dan pesan sampah”.

Kim Yo-jong, adik perempuan Kim Jong-un yang disegani, memperingatkan Seoul bahwa akan ada “konsekuensi yang mengerikan” apabila drone-drone ini kembali muncul.

Kim menambahkan ada “bukti yang jelas” bahwa “gangster militer” dari Korsel berada di balik dugaan provokasi tersebut.

Korut merilis gambar-gambar buram yang diklaim memperlihatkan drone-drone menebarkan foto-foto selebaran propaganda. Akan tetapi, tidak ada cara untuk memverifikasi klaim mereka secara independen.

Korsel awalnya membantah telah menerbangkan drone ke Korut. Namun, Kepala Staf Gabungan Korsel belakangan mengatakan pihaknya tidak dapat mengonfirmasi atau menyangkal tuduhan Pyongyang.

Baca juga:

Muncul spekulasi bahwa drone-drone itu diterbangkan para aktivis yang sebelumnya mengirimkan selebaran yang sama ke Korut dengan menggunakan balon gas.

Park Sang-hak, pemimpin Koalisi Gerakan Pembebasan Korea Utara, membantah klaim Korut.

Sebagaimana dilansir kantor berita resmi Korea Utara, KCNA, Kim mengadakan pertemuan dengan kepala angkatan darat, kepala militer, menteri keamanan dan pertahanan negara, dan pejabat tinggi pada Senin (14/10).

Kim, menurut KCNA, menetapkan “arah tindakan militer dalam jangka pendek” dan menugaskan para pejabat dengan “operasi penangkal perang dan pelaksanaan hak untuk membela diri”.

Pekan lalu, Pyongyang memperingatkan akan menutup rute antar-Korea sebagai bagian dari strateginya untuk mengonsolidasikan sistem “dua negara”.

Juru bicara Kepala Staf Gabungan Korea Selatan, Lee Sung-joon, mengatakan bahwa Korut dapat melancarkan “provokasi berskala kecil” seperti ledakan kecil di jalan yang menghubungkan kedua Korea.

Kemudian terjadi ledakan di jalan simbolis Gyeongui dan Donghae.

Seperti apa ledakan yang dilancarkan Korut?

Korut meledakkan beberapa ruas jalan dan jalur kereta api yang menghubungkannya Korsel pada Selasa (15/10).

Rute-rute ini terletak di bagian utara perbatasan yang sangat dijaga ketat oleh militer. Jalan-jalan penghubung yang tidak pernah dibuka untuk lalu lintas ini sebelumnya dibangun dengan harapan reunifikasi pada masa yang akan datang.

Ledakan tersebut merusak beberapa bagian rute jalan dan kereta api di sisi perbatasan Korut yang dibangun selama periode pemulihan hubungan kedua negara.

Gambar yang dirilis militer Korsel menunjukkan gumpalan asap setelah ledakan di Kaesong yang berada di sebelah barat garis demarkasi.

Terlihat sejumlah buldoser dan truk militer beraktivitas di wilayah tersebut di bawah pengawasan petugas.

Apa dampak dari peledakan jalan penghubung kedua Korea itu?

Langkah ini merupakan bagian dari strategi yang diumumkan rezim Kim Jong-un untuk memutus hubungan dengan Korsel sekaligus memperkuat pertahanan perbatasan Korut.

Untuk pertama kalinya sejak didirikan pada tahun 1948, Korut meninggalkan tekad penyatuan Semenanjung Korea.

Media pemerintah Korea Utara menyebut rezim memandang Korsel sebagai musuh bebuyutan dan akan diperlakukan sebagaimana mestinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jalan Gyeongui dan Donghae memang sudah lama ditutup. Akan tetapi, para analis menilai penghancuran keduanya mengisyaratkan keengganan Kim Jong-un untuk bernegosiasi dengan Korsel.

Menanggapi ledakan itu, militer Korsel mengatakan pihaknya telah melancarkan tembakan dari sisi perbatasannya untuk menunjukkan kekuatan dan meningkatkan pengawasan terhadap Korut.

Beberapa jam kemudian, pemerintah Provinsi Gyeonggi yang mengelilingi Seoul, menetapkan 11 daerah perbatasan antar-Korea sebagai “zona bahaya”.

Penetapan ini merupakan upaya mereka untuk menghentikan orang-orang mengirimkan selebaran propaganda anti-Korea Utara lintas perbatasan.

“Provinsi Gyeonggi telah menetapkan bahwa tindakan menyebarkan selebaran ke arah Korea Utara adalah tindakan yang sangat berbahaya dan dapat memicu konflik militer,” ujar Kim Sung-joong, Wakil Gubernur Provinsi Gyeonggi, dalam sebuah konferensi pers.

Penyebaran selebaran semacam itu dapat mengancam “kehidupan dan keselamatan warga kami”, tambah Kim, karena “hubungan antar-Korea memburuk dalam waktu singkat”.

Apa makna dari insiden ini?

Para analis berpendapat inside drone itu digunakan Korut untuk membangun dukungan dalam negeri. Negara itu, menurut pengamat, membuat seolah-olah ancaman terhadap pihaknya meningkat.

Profesor Kang Dong-wan, pengajar ilmu politik dan diplomasi di Universitas Dong-a di Busan, mengatakan Korut sekarang merujuk Korsel sebagai “negara terpisah” dan melenyapkan istilah “saudara sebangsa” dan “unifikasi”.

“Rezim Korea Utara mengandalkan ketakutan sehingga butuh musuh eksternal,” kata Prof Kang. “Setiap kali ketegangan meningkat, Korea Utara menekankan ancaman eksternal untuk meningkatkan kesetiaan kepada rezim.”

Para analis mengatakan bahwa aksi saling balas antara kedua Korea menunjukkan bagaimana mereka terkunci dalam “permainan adu nyali”.

“Tidak ada pihak yang mau mengalah,” kata Profesor Kim Dong-yup dari Universitas Studi Korea Utara di Seoul.

Rasa saling tidak percaya ini membuat Seoul “perlu mempertimbangkan secara strategis bagaimana mengelola krisis ini”, imbuh Prof Kim.

Apakah Korsel-Korut akan berperang terbuka?

Para analis berpendapat untuk saat ini tidak akan ada perang antara kedua Korea.

“Saya meragukan situasi ini meningkat ke perang. Korea Utara mengeksploitasi konfrontasi militer untuk memperkuat kohesi internal,” ujar Prof Kang.

“Saya meragukan kemampuan Korea Utara untuk berperang dalam skala penuh. Rezim ini sangat menyadari konsekuensi berat yang akan ditimbulkan oleh konflik semacam itu,” ucap Prof Kim.

Prof Nam Sung-wook, pengajar studi Korea Utara di Korea University di Seoul, mengatakan isu drone ini kemungkinan besar akan tetap menjadi sekadar “pertengkaran verbal”.

“Kemungkinan penggunaan senjata nuklir sangat kecil,” kata Prof Nam.

“Seoul dan Pyongyang tahu bahwa mereka tidak dapat menanggung biaya perang yang besar.”

Bagaimana memandang konflik dua Korea dari kacamata yang lebih besar?

Kim Jong-un dan putrinya, Kim Ju-ae Reuters
Kim Jong-un dan putrinya, Kim Ju-ae saat menghadiri jamuan makan malam peringatan 75 tahun Tentara Rakyat Korea, Februari 2023

Kedua Korea secara teknis masih berperang karena mereka tidak menandatangani perjanjian damai ketika Perang Korea berakhir pada 1953 lampau.

Sejak awal berdirinya Korut, bersatu kembali dengan Korea Selatan selalu menjadi bagian penting dari ideologi mereka—meskipun ini semakin tidak realistis.

Pada bulan Januari, Kim Jong-un meninggalkan wacana reunifikasi dengan Korsel.

Kim telah membawa Korut lebih dekat ke Rusia di bawah Vladimir Putin. Posisi ini menempatkan Korut di posisi yang berseberangan dengan AS dan Barat yang merupakan sekutu utama Korsel.

Hubungan jangka panjang Korut dengan China—sekutu terpentingnya—juga menjadi signifikan.

Setelah insiden drone tersebut, seorang juru bicara dari Kementerian Luar Negeri China pada Selasa (15/10) meminta semua pihak “untuk menghindari eskalasi konflik lebih lanjut” di Semenanjung Korea.

Ketegangan di Semenanjung Korea meningkat seiring dengan kampanye pemilihan presiden AS yang memasuki masa-masa akhir.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada