Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) meloloskan obat baru bernama tafenoquine yang diklaim bisa menyembuhkan pengidap kambuhan suatu jenis penyakit malaria.
Sejumlah ilmuwan merujuk obat tersebut sebagai "pencapaian fenomenal" mengingat jenis malaria yang dilawannya bisa bertahan di organ hati pengidap selama bertahun-tahun dan dapat kambuh sewaktu-waktu.
Jenis malaria yang dimaksud adalah Plasmodium vivax—salah satu dari empat jenis malaria paling umum di luar kawasan Sub-Sahara Afrika.
Tiga jenis lainnya adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae.
- Yarsagumba, 'obat kuat' Himalaya yang lebih mahal dari emas
- Mengenal MinION, alat revolusioner ‘penyelamat’ dari malaria di Sulawesi Utara
- Tiga negara lakukan vaksinasi massal malaria pertama di dunia
Malaria jenis Plasmodium vivax tercatat telah menyebabkan 8,5 juta orang jatuh sakit setiap tahun.
Anak-anak yang dijangkiti parasit ini kerap sakit sehingga sering absen dari sekolah. Kondisi kesehatan mereka lemah setiap kali penyakit ini kambuh.
Tanpa mereka sadari, tubuh mereka pun menjadi wadah bagi penyakit ini. Sebab, ketika seekor nyamuk menggigit tubuh mereka saat parasit tersebut sedang bangkit, parasit itu bisa terbawa dan menjangkiti orang lain.
Solusi memutus siklus tersebut bisa tercapai berkat obat tafenoquine yang diloloskan FDA. Obat itu diklaim dapat mengalahkan semua parasit Plasmodium vivax di organ hati manusia.
Sebelumnya, ada obat yang juga bisa digunakan untuk memerangi malaria di dalam hati bernama primaquine.
Tapi tidak seperti tafenoquine yang bisa diminum satu kali, primaquine kerap harus dikonsumsi selama 14 hari.
Sejumlah pakar khawatir banyak orang akan berhenti mengonsumsi obat tersebut setelah beberapa hari ketika kondisi tubuh mereka membaik sebab parasit malaria bisa bangkit di kemudian hari.
Perlu kewaspadaan
FDA menyatakan tafenoquine tergolong efektif dan menyetujui penggunaannya di Amerika Serikat. Meski demikian, badan tersebut mewanti-wanti bahwa perlu ada kewaspadaan soal efek samping.
Misalnya, orang-orang yang mengalami masalah enzim atau disebut kekurangan G6PD, dianjurkan tidak mengonsumsi obat ini karena bisa menyebabkan anemia parah.
FDA menyarankan khalayak menjalani uji medis untuk mengetahui apakah mereka mengalami masalah enzim sebelum mengonsumsi tafenoquine.
Ada pula kekhawatiran bahwa dosis tinggi bisa menimbulkan masalah bagi orang-orang yang mengalami masalah psikis.
Bagaimanapun, dibarengi dengan kelambu dan langkah pencegahan lainnya, diharapkan malaria jenis vivax dapat diberantas.
"Kemampuan tafenoquine memberantas parasit ini di organ hati dengan satu kali dosis merupakan pencapaian fenomenal. Dalam benak saya, ini mewakili kemajuan paling signifikan dalam pengobatan malaria dalam 60 tahun terakhir," kata Prof Ric Price, dari Universitas Oxford, kepada BBC.
Sementara itu, Dr Hal Barron selaku direktur riset dan pengembangan GSK—perusahaan yang membuat obat tersebut, mengatakan:
"Disetujuinya Krintafel (merk dagang tafenonquine), pengobatan baru pertama untuk malaria Plasmodium vivax selama lebih dari 60 tahun, adalah tonggak bersejarah signifikan bagi orang-orang yang hidup dengan malaria kambuhan.
"Bersama mitra kami, Medicines for Malaria Venture, kami meyakini Krintafel akan menjadi obat penting bagi pasien pengidap malaria dan bisa berkontribusi untuk upaya memberantas penyakit ini."
Tafenonquine sejatinya sudah ada sejak 1970an. Namun, setelah bekerja sama dengan Medicines for Malaria, GSK mengubah obat ini sehingga bisa memerangi parasit malaria di organ hati.
Langlah selanjutnya, obat ini harus ditinjau segenap regulator di berbagai negara tempat malaria jenis Plasmodium vivax berkembang biak dan menimbulkan masalah serius.