Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

eSports masuk Asian Games, tapi bisakah disebut sebagai olahraga?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
eSports, mobile game BBC

Menjelang kompetisi Asian Games 2018, para atlet yang akan berpartisipasi terus melatih fisik mereka—tapi tidak demikian bagi Ilham Bahrul.

Satu-satunya latihan fisik yang ia lakukan, kalaupun bisa disebut begitu, ialah meregangkan kedua ibu jarinya.

Baca Juga:

Laki-laki berusia 22 tahun itu lalu duduk di teras, mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan membuka mobile game bernama Arena of Valor, gim strategi di mana Anda terus-menerus menambah kekuatan karakter untuk menghancurkan markas lawan.

Ilham Bahrul adalah salah satu atlet yang terpilih untuk mewakili Indonesia di cabang olahraga eSports di Asian Games 2018 mendatang.

Untuk pertama kalinya, Dewan Olimpiade Asia (Olympics Council of Asia, OCA) menyertakan permainan video gim kompetitif alias eSports dalam ajang olahraga paling bergengsi di Asia itu. Kali ini eSports tampil sebagai cabang olahraga eksibisi, yang berarti pemenangnya akan mendapatkan medali namun perhitungan medali tersebut tidak ditambahkan ke klasemen umum.

Baca Juga:

Kompetisi eSports di Asian Games 2018 akan diselenggarakan oleh OCA, Komite Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc), Federasi Olahraga Elektronik Asia (AESF). Cabang ini akan melibatkan enam gim, yakni League of Legends, Pro Evolution Soccer, Arena of Valor, Starcraft II, Hearthstone, dan Clash Royale.

Ini bentuk pengakuan yang tidak sepele bagi eSports. Danny Buldansyah, juru bicara Inasgoc, mengatakan eSports mulai diikutsertakan karena merupakan "bagian dari olahraga modern yang banyak melibatkan kaum millenial, dan sport yang merupakan entertainment yang berkembang pesat di masyarakat."

eSports, mobile game BBC
Beginilah suasana 'latihan' eSports'—sekilas tampak seperti bermain biasa, namun sangat kompetitif.

Tapi apakah eSports, yang pada dasarnya bermain video gim, berhak disebut sebagai olahraga?

Menurut Ilham Bahrul, eSports sebenarnya mirip sepak bola dalam hal membutuhkan kerja sama individu sekaligus kerja sama tim. "eSports ini layak disebut sebagai sport juga karena ini membutuhkan latihan yang tekun, pelatih, dan dukungan semacam fasilitas," kata Ilham ketika ditemui BBC News Indonesia di kantornya di bilangan Jakarta Timur. Ia pun mengaku lebih suka disebut sebagai atlet daripada gamer.

Dan meski dilakukan di depan layar komputer atau ponsel, bermain eSports juga memerlukan fisik yang prima, kata Ilham."Sangat perlu malah ... kan biasanya kalau di (kompetisi) mobile game ini tempatnya ber-AC. Kedinginan itu jadi faktor kalah kita juga, jadi fisik itu juga perlu."

Ilham mengungkap bahwa ia bersama timnya, GGWP, menjadwalkan satu hari dalam sepekan untuk berolahraga, yang biasanya ia manfaatkan untuk jogging atau bermain bulu tangkis. Sisanya, ia gunakan untuk latihan bermain secara intensif selama minimal empat jam sehari.

Ilham Bahrul, GGWP BBC
Ilham Bahrul mengaku sempat kesulitan meyakinkan orang tua untuk mengizinkannya menekuni eSports.

Meski mengaku baru mulai menekuni eSports pada November 2017, Ilham telah memenangkan berbagai kompetisi di Jakarta, Palembang, dan Jogja. Ia terpilih untuk mewakili Indonesia di cabang Arena of Valor (AoV) setelah melalui proses seleksi yang melibatkan kompetisi tim dan voting.

Kepada BBC News Indonesia, ia mengaku sudah memutuskan untuk berkarier sebagai pemain eSports—keputusan yang awalnya ditolak orang tuanya.

"Saya dulu bener-bener main gim itu ngumpet-ngumpet," kata Ilham. "Ketika orang tua saya melihat saya main games, biasanya saya dihukum ... Namun setelah saya menjuarai satu kompetisi di Semarang, saya dapat kesempatan untuk berangkat ke Korea. Dari situ saya bicara kepada orang tua, dan orang tua mulai mendukung."

"Menurut saya, orang tua di Indonesia itu belum tahu prospek ke depannya eSport itu. Jadi mereka masih enggak suka, masih benci anak-anaknya main gim," imbuhnya.

Bukan sekadar bermain

Ericko Lim, atlet yang juga terpilih untuk mewakili Indonesia di cabang League of Legends (LoL), mengatakan perbedaan mendasar eSports dengan bermain gim biasa ialah segi kompetitifnya. "Saya main gim itu enggak sekadar cuma main tapi saya ingin menang," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Menurut Ericko, yang telah menekuni eSports sejak 2011, perkembangan kompetisi gim di Indonesia bermula dari komunitas gim-gim tertentu, misalnya Defense of The Ancient (DoTA), Counter Strike, dan Point Blank. Kini eSports telah berkembang menjadi industri bernilai miliaran rupiah.

Kepopuleran eSports mengalami lonjakan di Asia Tenggara dalam beberapa tahun belakangan ini—dan Indonesia termasuk pasar yang terbesar, dengan jumlah penggemar mencapai dua juta orang pada 2016. Lembaga riset konsumen Newzoo memperkirakan jumlah audiens eSports di wilayah itu akan melampaui 40 juta orang pada tahun 2019.

Perusahaan yang berbasis di Amsterdam, Belanda itu juga menempatkan Indonesia di peringkat 17 dalam daftar 100 negara yang menjadi pasar teratas video gim, memperkirakan pangsa pasar gim di Indonesia bernilai Rp16 triliun pada 2018.

Tapi perlu dicatat, eSports bukan cuma soal bermain gim. Menurut Ericko Lim, ada berbagai usaha yang bisa ditempuh di bidang eSports—bagaimanapun, tidak semua orang berbakat menjadi pemain profesional.

Selain pro player, Anda bisa bergelut sebagai pelatih (coach), brand ambassador yang fungsinya mirip seperti Humas tim eSports, shoutcaster alias komentator pertandingan eSports, atau streamer yang menyiarkan permainan gim Anda untuk ditonton orang banyak. Untuk yang terakhir, kepribadian menarik seringkali lebih dibutuhkan daripada kelihaian bermain gim.

Ericko sendiri juga menyambi sebagai shoutcaster dan sempat mendapatkan penghargaan pada 2017 lalu. Ia juga membuka kanal YouTube dengan lebih dari 800 ribu pelanggan, di mana ia (sebagian besarnya) berbicara tentang gim. Secara keseluruhan, ia mengaku telah meraup miliaran rupiah dari eSports.

Belajar untuk bermain

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Prospek eSports yang dianggap cerah mendorong sebuah SMA swasta di Jakarta untuk membuka program eSports—bahkan memberi beasiswa untuk itu.

Sudah dua tahun SMA 1 PSKD di Jakarta Pusat menawarkan program pembinaan untuk eSports, di mana anak-anak mendapatkan pelajaran tidak hanya tentang teknik bermain atau in-gaming tapi juga industri eSports secara keseluruhan.

Program pembinaan ini mirip dengan penjurusan, dengan kegiatan intensif selama sekitar 20 jam seminggu—di samping jurusan yang biasa ditawarkan di sekolah menengah, yakni IPA, IPS, dan Bahasa.

Menurut Kepala Sekolah Yohannes P. Siagian, program eSports di SMA 1 PSKD berawal dari ekstrakurikuler. Kemudian pihak sekolah melihat eSports sebagai bidang yang berkembang dan berpotensi untuk menjadi karier. "Lima tahun yang lalu, eSports mulai tampak menjadi pilihan karier yang valid," ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Tidak banyak sekolah yang menyediakan ruangan khusus bagi murid-muridnya untuk bermain Overwatch, tapi Yohannes berpendapat bahwa eSports melatih kemampuan interpersonal dan pemecahan masalah.

SMA 1 PSKD, eSports BBC
Apakah mendorong siswa untuk bermain gim baik untuk pendidikan mereka?

"Ada suatu miskonsepsi di masyarakat umum bahwa eSport itu membuat anak antisosial," kata Yohannes, "justru kebalikannya, di eSport itu anak mesti sangat berkomunikasi; dan untuk level kompetitif, level komunikasinya tinggi sekali. Mereka mesti bisa menyampaikan pendapat, mengatur strategi, dan mengimplementasikan dalam waktu hitungan detik."

Ia menambahkan, dalam pertandingan eSport – seperti halnya pertandingan lainnya – anak belajar menghadapi kegagalan.

Sedangkan dari segi pelajaran, eSport membutuhkan pemahaman matematika, fisika, teknologi, dan terutama ekonomi. "Konsep dasar ekonomi bukan berkaitan dengan uang, sebenarnya. Tapi pengelolaan sumber daya. Game-game dalam eSport itu semuanya tentang sumber daya: bagaimana mendapatkan sumber daya dalam game, bagaimana mengalokasikan sumber daya, bagaimana melihat semua aspek di dalam game - experience (XP), item, goal, komposisi tim, sebagai sumber daya," Yohannes menjelaskan.

Menurutnya, dalam pertandingan eSports anak bisa mempelajari konsep ini dan mengaplikasikannya secara riil, dengan lebih baik daripada di dalam kelas; dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari bermain gim bisa mereka terapkan di luar gim.

Yohannes P Siagian, SMA PSKD BBC
Yohannes P. Siagian yakin bahwa eSports membantu murid memahami pelajaran yang diterimanya di kelas.

Mengatasi risiko

Namun mendorong anak untuk bermain gim bukan tanpa risiko. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 ini memasukkan gaming disorder atau 'ketagihan gim' ke dalam International Classification of Diseases (ICD). Sementara satu studi mendapati bahwa keseringan menatap layar bisa membahayakan kesehatan jiwa anak.

Yohannes menyoroti bahwa para ilmuwan sebenarnya belum sepakat bahwa video gim buruk bagi anak-anak. Ia – juga atlet eSports Ilham Bahrul dan Ericko Lim – bersikeras bahwa dampak negatif yang disebutkan adalah akibat bermain video gim berlebihan, hal yang menurutnya sama sekali tidak dianjurkan dalam program eSports. "Di dalam dunia psikologi, kita juga mengenal konsep di mana anak terlalu di-push untuk belajar, untuk les, untuk privat; tapi karena landasannya di akademik, orang suka menyepelekan," ujarnya.

Demi mencegah ketagihan, kata Yohanes, pihak sekolah melakukan pemantauan ketat akan waktu murid-muridnya bermain gim. "Staf selalu memantau jam mereka in-game, banyak anak kita mendapatkan account dari sekolah di mana kita punya akses untuk parental control. Kalau dia terlalu banyak in-game, saya akan panggil," ungkapnya.

eSports, Overwatch BBC
Staf di SMA 1 PSKD memantau waktu bermain siswa secara ketat.

Yohanes menambahkan, pihak sekolah juga secara aktif menghindarkan siswa dari pelecehan di dunia maya—ia mengungkap bahwa program pembinaan eSports tidak lagi mendukung gim tembak-tembakan Point Blank karena lingkungan permainannya dinilai toksik.

Lalu bagaimana cara meyakinkan orang tua untuk mendukung anak mereka bermain gim di sekolah?

"Dengan data," kata Yohanes. "Saya tunjukan hasil-hasil penelitian kepada orang tua, kita tunjukan efek positifnya." Dan di samping semua itu, sekolah menetapkan persyaratan prestasi yang bagus untuk mengikuti program pembinaan.

"Dan orang tua, selama nilai (anak) oke biasanya confident kalau anaknya aman," kata Yohanes.

Pilihan karier?

Bagaimanapun, atlet eSports Ilham Bahrul mengaku bahwa ia belum bisa menyarankan anak-anak muda Indonesia untuk menjadikan eSports sebagai cita-cita. Alasannya, tidak seperti di negara lain, di Indonesia belum cukup banyak akademi yang mendukung olahraga ini.

Kecuali, kata Ilham, kalau Anda memang berbakat dan didukung orang tua. "Kalau orang tua dari awal sudah mendukung, bisa men-support anaknya biar menjadi atlet eSports Indonesia," kata Ilham.

Lain halnya dengan Ericko Lim. Baginya, menekuni bidang yang disukai adalah keharusan—meski ia mewanti-wanti agar jangan memaksakan diri.

"Ketika tujuan lo enggak tercapai, dan lo berpikir ini limit lo, berhenti. Berarti lo enggak cocok. Lo pindah. Misalnya lo enggak cocok jadi pro-player, lo bisa jadi streamer, lo bisa jadi shoutcaster; pilihannya banyak," pungkasnya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada