Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Kisah perakit bom molotov yang memilih merawat perdamaian di Maluku

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Ketika konflik agama menghancurkan Ambon dan wilayah lainnya di Maluku, perempuan ini sempat terjebak dalam pusarannya, tetapi akhirnya mampu melewatinya dan tampil sebagai perawat perdamaian.

Ketika usianya belum genap 25 tahun, hidupnya saat itu seolah-olah hanya terbatas pada dua sisi, yaitu lawan atau kawan, Muslim atau Kristen, bunuh atau dibunuh.

Baca Juga:

Dalam atmosfir seperti itulah, sebagai warga kota Ambon yang beragama Islam, perempuan kelahiran 1974 ini pun "dipaksa" untuk bersikap. Tidak ada kata maaf untuk anak manusia yang memilih absen, kira-kira begitulah keadaannya.

ambon AFP
Bentrokan antara kelompok Islam dan Kristen di kota Ambon, ibu kota provinsi Maluku, 11 September 2011

Pada bulan-bulan panas, tahun 1999, perempuan asal kampung Waringin, Ambon ini berada di pusat pusaran konflik ketika kampungnya terancam dibakar oleh kelompok "lawan". Kaum pria, terutama anak-anak muda, pun mati-matian mencoba melindungi tempat tinggalnya.

Pusaran kekerasan atas nama agama itu pun akhirnya menyeretnya -dan seperti melumpuhkan akal sehatnya. Itulah sebabnya, saat warga kampung itu menyiapkan puluhan bom molotov, dia pun seperti "dituntun" untuk melibatkan diri.

Baca Juga:

"Ketika semua laki-laki melakukan hal itu untuk melakukan kekerasan, atau dibilang peperangan, saya juga ikut terlibat," ungkap Baihajar Tualeka, nama perempuan itu, dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia, Agustus 2017 lalu, di Jakarta.

ambon AFP
Sejumlah anggota TNI melakukan patroli di salah-satu sudut kota Ambon, provinsi Maluku, 29 April 2004.

Baihajar diundang ke Jakarta oleh Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi (UKP) sebagai salah-seorang dari 72 orang yang berprestasi.

Dalam jarak waktu yang relatif lama, Baihajar seperti tidak ada beban untuk mengisahkan ulang potongan peristiwa pahit itu. Dia kemudian mencoba merekonstruksi ulang latar belakang yang membuatnya terlibat aksi kekerasan.

"Mati sahid lebih bermakna daripada mati biasa." Itulah seruan yang sering didengar Bai ketika Ambon terbakar konflik sektarian. "Karena setiap hari kita mendengar seruan-seruan dan bahkan dibilang mati hari ini pun, sama saja dengan mati untuk beberapa tahun yang akan datang, karena ini jihad, pasti masuk surga."

maluku AFP
Orang-orang dari kelompok Islam, yang disebut sebagai anggota Laskar Jihad, di salah-satu sudut pulau Ternate, Provinsi Maluku, 22 Februari 2000.

Dihantui kegelisahan akibat dihadapkan penderitaan bertubi-tubi yang seperti tidak berujung, Bai mulai tergerak untuk lebih mendengarkan akal sehatnya. Dia lantas meragukan anggapan dominan yang menyebut konflik di kampung halamannya semata-mata masalah agama.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Sebenarnya ini peristiwa apa." Pertanyaan hakiki inilah yang kelak makin menyadarkannya bahwa tidak ada gunanya memelihara dendam di balik konflik atas nama agama di Maluku.

Pikirannya kemudian membandingkan situasi Ambon sebelum dan sesudah dilanda perpecahan sektarian. "Tidak biasanya terjadi seperti ini." Sebuah pengakuan jujur yang sedikit-banyak pernah dirasakan oleh orang-orang di Maluku ketika konflik itu berakhir.

ambon AFP
Dua anggota TNI terlihat melakukan penjagaan di antara kerumunan massa di salah-satu sudut kampung Batu Gantung, Waringin, kota Ambon, 1 Mei 2004.

"Dan di situlah kita mulai merasakan bagaimana menderitanya ketika situasi konflik," ungkapnya. Jika sebagian orang di Maluku menyadari hal itu belakangan, tidak begitu halnya dengan Bai. Inilah yang mungkin membuatnya cepat tersadar dan mulai berani mempertanyakan ulang klaim-klaim tafsir agama yang menghalalkan jalan kekerasan, dan lebih memberi tempat sisi kemanusian - walaupun tidak gampang, awalnya.

Di titik mana Bai'berubah'

"Saya melihat tubuh-tubuh manusia berserakan," kalimat ini meluncur pelan dari mulut Bai, saat saya menanyakan kapan dia persisnya berubah dalam memandang konflik agama di kampung halamannya, Ambon.

Di salah-satu ruas jalan di kota itu, kira-kira 18 tahun silam, saat Bai berada dalam angkutan kota, tiba-tiba dia dikagetkan bunyi ledakan bom. Sesaat kemudian, dari pusat ledakan itu, matanya tidak bisa menghindar dari "potongan tubuh yang berserakan di jalan".

ambon AFP
Seorang warga Kristen di kota Ambon, Provinsi Maluku, di hadapan lukisan Yesus Kristus, di sebuah bangunan gereja yang setengah jadi, 12 November 2003.

"Lalu darah ada di mana-mana," sambungnya, nyaris tidak terdengar. Angkutan kota yang ditumpanginya kemudian melaju kencang, menjauhi lokasi ledakan, tetapi pikiran Bai tetap sulit beranjak dari pemandangan horor itu tadi. "Saya takut..."

Dia kemudian menyadari bahwa dirinya tinggal di wilayah yang berbahaya. Dan, sesampai di kediamannya, dia dihajar lagi peristiwa horor: ledakan baru saja terjadi tidak jauh dari rumahnya - dan korban tidak bersalah kembali berjatuhan.

Di hadapkan dua peristiwa kekerasan dalam waktu hampir bersamaan, Bai mengaku mengalami apa yang disebutnya semacam kesadaran.

"Kok tubuh kita tidak punya arti apa-apa. Saya kemudian berpikir, kita tidak mungkin hidup di situasi seperti ini." Bai mencoba menggambarkan apa yang ada di benaknya kira-kira 18 tahun silam. "Masak kita harus seperti ini terus."

Dia kemudian bertanya lagi kepada dirinya sendiri: sebetulnya siapa yang kita bela dan siapa sebenarnya musuh kita?

Dalam rentang beberapa bulan, sejumlah kejadian nestapa terus bertubi-tubi menerpa, dan tampaknya membuat kesadarannya makin menguat. Di tempat penampungan para pengungsi, dia melihat langsung kaum perempuan dan anak-anak yang seperti kehilangan masa depan.

"Orang-orang mulai stres, orang-orang mulai merasa hidup ini tidak ada artinya. Anak-anak mulai sakit."

Dia kemudian menyimpulkan apa yang dia saksikan di lokasi penampungan pengungsi: "Hidup mereka seperti tidak ada maknanya lagi. Tidak ada sesuatu yang lain, kecuali penderitaan, kekerasan, penderitaan, kekerasan."

Dan, seperti orang-orang yang mengalami kesadaran dan kemudian tergerak untuk melakukan perubahan, Bai kemudian seperti berjanji kepada dirinya sendiri. "Saya harus mengubah situasi ini."

Bagaimana Bai mulai melangkah?

Pertanyaan berikutnya, dari mana Baihaqi harus melangkah untuk mengakhiri praktik kekerasan yang seolah tak berujung, padahal orang-orang yang bertikai di kota Ambon saat itu masih menghunus pedang dan siap menyalakkan senapannya?

Rupanya, dia menyadari sepenuhnya, tidak mungkin membangun interaksi antara kedua pihak yang masih dihantui kemarahan dan dendam, kala itu. "Waktu itu kami belum bicara soal perdamaian, itu sangat berbahaya."

"Nanti orang berpikir: kita berpihak kepada kelompok tertentu. Resikonya besar."

Di sinilah, di tingkat awal, Baihajar kemudian memutuskan untuk terlebih dulu menyebarkan ide-ide perdamaian di lokasi pengungsian orang-orang Muslim. Bersama rekan-rekannya, dia awalnya membuat "berbagai kegiatan" untuk mengisi waktu luang kaum ibu dan anak-anak.

"Kalau lewat anak dan perempuan, itu sesuatu yang tulus, sesuatu yang secara alami, dan dilakukannya dengan hati," jelasnya saat saya menanyakan alasannya memilih kaum perempuan dan anak-anak.

Dalam interaksi itulah, Baihajar perlahan-lahan mengenalkan konsep dan idenya tentang pentingnya perdamaian. Misalnya saja, dia mengenalkan pentingnya pertemanan, persahabatan, tanpa melihat latar belakang agama.

"Kami juga selalu menguatkan dengan nilai-nilai bagaimana kita saling memaafkan, bagaimana kita bisa menerima orang yang berbeda dalam kehidupan kita hari-hari," ungkapnya.

Di hadapan anak-anak, Bai dan kawan-kawan menjelaskan pula bahwa perbedaan agama, suku, atau tempat tinggal, bukanlah penghalang untuk saling menghunjungi dan menghormati.

Tidak gampang baginya untuk menularkan ide-ide seperti itu kepada anak-anak. Seperti diketahui, mereka sejak awal telah dipisahkan secara fisik berdasarkan latar belakang agama orang tuanya.

"Karena dengan segregasi itu orang itu hidup di dalam ruang sendiri," katanya.

Itulah sebabnya, di masa itu, Bai merasakan ada fanatisme golongan yang luar biasa besar. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing menganggap pihaknya paling benar dan kelompok lain dilihat sebagai sesuatu yang sepenuhnya negatif.

"Jadi kami selalu berusaha mengubah imej itu kepada anak-anak," tambahnya menekankan.

Libatkan teman-teman non-Muslim

Ketika eskalasi konflik di Ambon dan sekitarnya mulai menurun, Bai dan teman-temannya yang non Muslim memberanikan diri untuk membuka sekat-sekat halangan berdasarkan agama.

Digelar di wilayah yang aman, mereka kemudian berusaha mempertemukan anak-anak dari kelompok Islam dan Kristen untuk bermain bersama. "Kita selalu bilang ini aman." Bai teringat ketika dia bersusah payah meyakinkan para orang tua anak-anak tersebut.

Apa yang Anda rasakan ketika pertama kali membuka komunikasi dan berinteraksi dengan teman-teman Anda yang Kristen? Tanya saya.

"Saya saat itu juga takut, saya juga sempat curiga kepada mereka," katanya, kemudian tertawa pelan. Ketika ini yang memulai 'membuka pintu' adalah teman-temannya yang beragama Kristen.

"Bahkan dalam beberapa kali pertemuan, kami enggak pernah duduk sama-sama. Selalu curiga dan bahkan kami mulai berinteraksi, kayak ada anggapan bahwa 'itu musuh saya, itu musuh saya'."

Kecurigaan seperti itu secara perlahan-lahan mulai menipis, ketika mereka bertemu dan masing-masing menceritakan penderitaan yang dialami selama konflik berlangsung. "Lalu di situlah kami melakukan refleksi."

"Kalau kita dendam, dendam buat siapa? Dan kalau kita mau marah, marah buat siapa? Yang kita mau marah sebetulnya buat pemerintah, karena tidak mampu melindungi kita dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk merubah situasi ini," ungkapnya, mengenang kembali apa yang mereka pikirkan saat itu.

Melepas jilbab, masuk ke kampung Kristen

Awalnya, demikian Baihajar, upaya membangun interaksi itu dilakukan secara rahasia, termasuk saat menentukan tempat pertemuan. Di masa Ambon dilanda konflik agama, tempat tinggal masyarakat sudah terpecah berdasarkan latar belakang agama.

Dia mencoba mengingat-ingat lagi percakapannya dengan temannya yang beragama Kristen: "Saya bilang 'saya akan tunggu di sini, kamu jemput saya, terus kita pergi ke wilayah yang non Muslim. Begitu juga sebaliknya'."

Konsekuensinya, lanjutnya, simbol-simbol agama itu tidak bisa digunakan. "Waktu itu saya pakai jilbab, dan ketika saya harus ke wilayah non-Muslim, maka saya harus lepas (jilbab), dan setelah itu dipakai lagi."

Pilihan "melepas sementara jilbab", tentu saja, merupakan tindakan yang berbahaya saat ketegangan antar agama masih membara di kota Ambon. Namun demikian, Baihajar mengambil resiko itu dengan sadar.

"Sangat berbahaya, karena kalau orang melihatnya, bisa berpikir bahwa saya ini mata-mata dan saya bisa dibantai," katanya dengan kalimat datar.

Perspektif korban

Dan saat berinteraksi bersama, kepada para ibu dan sebagian anak-anak, Bai dan kawan-kawan juga memberi pemahaman bahwa mereka adalah sama-sama korban. Mereka juga mengalami penderitaan yang sama akibat konflik tersebut.

Dengan melihat langsung atau melalui tangan kedua, anak-anak itu diberi pemahaman bahwa baik keluarga Muslim atau Kristen juga tinggal di lokasi pengungsian.

"Apa yang dialami keluarga Muslim, sama juga dirasakan keluarga non-Muslim. Jadi kita adalah sama-sama korban, mengalami penderitaan yang sama," ungkap Bai.

Sempat dihantui rasa was-was, mereka memilih untuk terus melangkah demi perubahan yang lebih baik. "Tidak mungkin kita membiarkan anak-anak ini dalam situasi seperti ini terus."

Secara bergantian, mereka lantas melihat lokasi pengungsian baik keluarga Muslim atau Kristen. "Apa yang dialami keluarga Muslim, sama juga dirasakan keluarga non-Muslim. Jadi kita adalah sama-sama korban, mengalami penderitaan yang sama," ungkap Bai.

Di sinilah, rasa kemanusiaan mereka mulai tergerak untuk kemudian saling membutuhkan dan saling membantu, sebelum akhirnya bertekad untuk melakukan sesuatu.

"Di situlah, kita mulai berempati, dan mulai bertekad bahwa kita harus bangun solidaritas bersama," Baihajar berkata. Pada awalnya, mereka tidak banyak menarasikan kata perdamaian, tetapi lebih bertolak pada keinginan untuk membahagiakan anak-anak mereka.

"Supaya anak-anak ini bisa bahagia, anak-anak ini bisa tersenyum kembali. Dalam situasi yang sulit ini, setidaknya mereka bisa menemukan harapan hidup yang baru."

Tentu saja, upaya yang dibangun Baihajar dan kawan-kawan ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tidak sedikit kendala yang membuat interaksi itu tersendat prosesnya, misalnya soal makanan.

"Jangan-jangan diberi makanan babi," Baihajar, seraya terkekeh, mengingat lagi percakapan anak-anak Muslim ketika berencana mendatangi komunitas Kristen di pinggiran kota Ambon. Ketika itu Baihajar dkk menginisiasi pertemuan tersebut.

Di hadapkan cara pandang seperti itulah, mereka kemudian mengenalkan nilai-nilai baru sehingga dapat mengurangi kecurigaan seperti itu. Kelak, melalui pendekatan ini, anak-anak Muslim itu akhirnya mau mengkonsumsi makanan yang disediakan oleh keluarga non-Muslim.

"Jadi dengan membuat acara kunjungan (ke kelompok yang beda agama) dapat mengubah imej seperti itu, selain membangun persahabatan di antara anak-anak. Jangan sampai kita takut hanya gara-gara makanan," jelasnya.

'Bunyi-bunyian itu membuat saya trauma'

Mengalami langsung dan menjadi korban konflik berdarah atas nama agama, tentu saja, tidak terbayangkan betapa mengerihkan dan pedih yang dirasakan bagi siapapun. Begitu pula Baihajar.

Tinggal di kampung Waringin, di tengah kota Ambon, yang mayoritas dihuni orang-orang Islam, tetapi ditinggali pula keluarga Kristen, dampak kerusakan akibat konflik itu dirasakan pula perempuan kelahiran 1974 ini.

Dihantam konflik 1999, 2004, dan rumah orang tuanya terbakar ketiga kalinya saat konflik agama melanda lagi Ambon pada 2011, tentu saja tidak muda bagi Bai untuk menghadapi kenyataan seperti itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Awalnya memang saya trauma," ungkapnya terus terang.

ambon AFP
Aksi pembakaran di sebuah sudut di kota Ambon, Provinsi Maluku, 24 April 2004. "Dulu saya paling takut kalau dengar suara petasan, karena saya selalu menganggap petasan itu identik dengan suara senjata," ungkap Baihajar.

Kepada Baihajar, saya meminta maaf apabila pertanyaan seputar trauma itu dapat membuatnya teringat lagi kejadian tersebut. Saya juga mempersilakan Bai untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi Bai, dengan kalimat yang sangat datar, tidak menolaknya.

"Traumanya itu, kadang-kadang rasa takut berlebihan, terus kalau dengar bunyi-bunyian," ungkapnya mengenang. Pada masanya, bunyi petasan pada perayaan Natal, lebaran atau Tahun baru, bisa membuatnya berkeringat dingin.

"Dulu saya paling takut kalau dengar suara petasan, karena saya selalu menganggap petasan itu identik dengan suara senjata."

Lainnya? Bunyi "teng, teng, teng" dari tiang listrik saat dipukul dengan batu atau besi. " Itu saya juga suka gemetar."

ambon AFP
Sekelompok orang warga kota Ambon berkerumun tidak jauh dari lokasi pembakaran, 24 April 2004.

"Karena dulu, kalau tiang listrik dibunyikan, itu ada ketegangan terjadi, bahwa itu konflik akan terjadi."

Ketakutan berlebihan itu pernah menghinggapinya saat menggelar interaksi di antara anak-anak Islam dan Kristen di awal 2000. Ketika itu dia mendengar selentingan kabar seseorang "dibantai" oleh kelompok agama tertentu karena melakukan interaksi dengan komunitas berbeda agama.

"Kadang-kadang saya suka gemetar. Jadi kalau mendengar informasi seperti itu, saya selalu memilih tinggal saja dulu di kamar, nanti kalau suasananya agak tidak terlalu tegang, barulah keluar lagi."

Sesekali Baihajar juga mengalami mimpi buruk, dan tidak dapat tidur nyenyak, akibat ketakutan yang berlebihan.

ambon AFP
Sejumlah anggota kepolisian melakukan patroli di sudut kota Ambon, provinsi Maluku, 25 April 2004, dengan latar belakang kepulan asap akibat aksi pembakaran.

"Karena berpikir 'jangan-jangan mereka datang ke rumah, mendobrak rumah, terus membantai kami."

Hilangkan trauma dengan menolong orang lain

Selain pasrah kepada Tuhan, Baihajar mengaku berhasil melampaui trauma karena dukungan kuat keluarga, sahabat-sahabat dekat dan teman-temannya, serta berinteraksi dengan banyak orang.

"Saya banyak melakukan refleksi, banyak belajar," akunya. Keputusannya untuk membantu orang-orang lain yang menjadi korban konflik juga membuatnya dapat mengurangi trauma.

Karena itulah, ketika rumah orang tuanya di kampung Waringin terbakar habis pada 2011, Baihajar memilih untuk tidak terlalu memanjakan perasaan sedih pada dirinya.

ambon AFP
Seorang anggota TNI melakukan penjagaan di sebuah bangunan pertokoan di kota Ambon, 28 April 2004, ketika wilayah itu dikoyak konflik agama.

Dia justru mendatangi masyarakat sekitar untuk menanyakan "apakah ada yang meninggal atau apakah rumahnya terbakar".

Lalu, seperti digerakkan oleh energi yang besar, Bai melakukan apa yang disebutnya "mengorganisasi" para ibu-ibu di kampung Waringin.

Dia memilih tidak menghubungi para pria dewasa karena menganggapnya masih dikungkung "emosi yang meledak-ledak".

"Jadi saya minta ibu-ibu dan saya bilang: 'Ibu-ibu harus meredam suami-suami mereka dan anak-anak laki-laki, karena kita bukan mau balas dendam. Kalau mau balas dendam, buat siapa?"

ambon AFP
Dalam sebuah patroli di jalanan kota Ambon, dua anggota TNI bersiaga dengan senapan mesinnya, 1 Mei 2004.

Menempatkan dirinya sebagai korban, Bai kemudian meminta ibu-ibu ikut berperan agar aksi pembakaran itu tidak berlanjut ke kampung-kampung lainnya - termasuk kampung yang dihuni komunitas non-Muslim.

"Kita sebagai korban, harus solid, harus saling menguatkan. Kita tidak usah sedih, wajar, tapi jangan kita sesali lagi apa yang memang sudah terjadi. Mari kita lihat ke depan," Baihajar megulang kembali apa yang dia katakan saat kampungnya terbakar akibat kerusuhan 2011.

Setahun setelah kerusuhan 2011, sebagian warga Waringin kembali ke rumahnya masing-masing, dan sebagian lainnnya memilih pindah dan menjual rumahnya. Dan Baihajar sendiri terus melangkah dengan misi perdamaiannya.

Mendirikan Lappan

Bersama kawan-kawannya, perempuan kelahiran 1974 ini mendirikan Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak, atau Lappan, sekitar tahun 2002.

Intinya, pendirian organisasi ini merupakan wujud kongkrit dari tekad mereka untuk merajut dan merawat perdamaian di Maluku. Pesertanya adalah anak-anak baik dari keluarga Kristen maupun Islam.

Secara bergiliran, Lappan mendatangi desa-desa di pinggiran kota Ambon, juga di berbagai tempat di luar kota tersebut.

"Kita biasanya bikin temu persahabatan," ungkap Baihajar, saat saya tanya tentang salah-satu kegiatan lembaga yang dipimpinnya.

Selain kegiatan kemah bersama, mereka juga membikin pendidikan anak usia dini, sekolah keberagaman, hingga kegiatan kunjungan antar komunitas, serta festival seni dalam skala kecil-kecilan. "Di sanalah, kita banyak memberikan nilai-nilai perdamaian."

Baihajar kemudian mengenang, salah-satu acara yang cukup strategis untu memasukkan pesan-pesan perdamaian adalah menyanyi bersama. "Potong di kuku, rasa di daging... Sagu salempang dipatah dua... Bahwa kamu rasa kesedihan, saya juga rasa kesedihan... Sehingga kita berdua adalah bersaudara."

Di hadapan saya, mata Bai terlihat basah ketika melafalkan lirik lagu ini. "Jadi, jangan lagi satu dengan lainnya saling membenci."

Dalam setiap acara, Baihajar selalu melibatkan orang tua dari anak-anak tersebut agar melihat dan merasakan langsung pesan, harapan dan keinginan anak-anak tersebut. "Anak-anak itu lebih natural, karena tidak punya kepentingan apa-apa, tapi dari ketulusan hati yang dalam."

"Juga agar mereka, orang-orang dewasa, bisa melindungi dan menciptakan suasana damai buat anak-anak itu."

Kepada para orang tua, Baihajar membuat koperasi yang diharapkan dapat memperkuat basis ekonominya. Apabila mereka sudah memiliki usaha yang permanen, Lappan berusaha membantu mereka untuk bisa mengakses dana perbankan.

Pemberdayaan ekonomi ini menjadi penekanan program Lappan, karena menyadari betapa pentingnya basis ekonomi untuk menopang program perdamaian. "Karena rata-rata mereka miskin."

Lima belas tahun kemudian...

Baihajar terlihat terharu ketika mengenang kembali apa yang diperbuatnya selama 15 tahun belakangan dan melihat hasilnya sekarang.

Sebagian anak didiknya (yang berjumlah lebih dari 1000 orang) kini telah memasuki usia dewasa, dan yang membuatnya terharu di antara mereka ada yang melanjutkan apa yang dikerjakan oleh Baihajar dkk.

"Mereka menjadi agen perdamaian di daerahnya. Anak-anak itulah yang justru mendamaikan di kawasan tempat tinggalnya," ungkapnya. "Akhirnya desanya aman sampai sekarang."

Salah-satu contohnya, lanjutnya, "mereka mulai membuat mural-mural perdamaian, mulai melakukan kegiatan interaksi sosial untuk memperbaiki kohesi-kohesi sosial."

Baihajar kemudian mengisahkan salah-seorang alumninya yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, yang terinspirasi oleh kerja-kerja sosial yang telah dibangunnya di Ambon.

"Di kantornya ada CSR dan dia menjadi relawannya. Dia mengaku belajar dari Lappan. Dan, bosnya kemudian bertanya 'kamu kok bisa dapat materi itu bagaimana ceritanya?'"

Dalam berbagai kesempatan, Baihajar beberapa kali bertemu para orang tua yang ingin agar anaknya dapat terlibat dalam kegiatan Lappan. "Mereka bertanya dimana lagi sekolah Lappan dibuka?"

Dari pengalaman seperti itulah, dirinya tetap meyakini bahwa upaya merajut dan merawat perdamaian di Maluku merupakan langkah penting yang harus terus-menerus dilakukan.

"Memang dampaknya dalam jangka panjang, yang baru bisa kita lihat hasilnya, yaitu perubahan."

Merawat perdamaian

Dalam wawancara, Baihajar berulangkali menekankan bahwa hal yang lebih penting saat ini adalah bagaimana merawat perdamaian secara terus-menerus.

Pentingnya merawat perdamaian didasarkan pengalaman Baihajar sendiri ketika dihadapkan konflik agama 1999 di Maluku yang kemudian terulang pada 2004 dan sempat meletus lagi pada 2011.

"Kalau tidak dirawat, tidak dikuatkan, ini ibaratnya pondasi yang rapuh. Artinya begitu kita bangun, lalu tiba-tiba rubuh lagi," katanya.

Menurutnya, menyatukan kembali hubungan sosial yang renggang, tidak bisa diselesaikan dalam rentang satu atau dua tahun. Inilah yang terjadi di wilayah Maluku setelah dihantam konflik agama.

"Orang bilang Ambon itu seperti api dalam sekam, begitu diprovokasi sedikit, sudah tegang," katanya lagi.

"Memang kami punya slogan 'damai yang berkelanjutan'. Kita tidak hanya membangun, tapi kita harus rawat, kita harus pelihara, termasuk kita harus mengintegrasikan dengan nilai-nilai keberagaman dalam kehidupan hari ini, yang harus terus menerus disuarakan secara bersama," katanya.

Dia juga menuntut agar peran strategis negara dalam merawat perdamaian agar lebih diperkuat. "Misalnya, harus dicarikan ruang-ruang interaksi sosial yang lebih nyaman untuk masyarakat saling berinteraksi."

Ruang publik untuk berinteraksi ini, lanjutnya, sangat dibutuhkan untuk tempat membangun kepercayaan. "Siapa tahu di ruang-ruang publik itu masyarakat dapat memperbaiki kohesi-kohesi sosial yang semula renggang menjadi lebih baik lagi."

Dengan saling bertemu di ruang publik itulah, masyarakat diharapkan dapat melakukan kegiatan bersama, saling belajar dan mendukung serta mempertahankan perdamaian yang sudah dilakukan.

"Karena perdamaian itu bukan hanya slogan, tapi damai itu bagaimana diciptakan bersama-sama, dinikmati dan harus dirasakan."

Upaya pembangunan infrastruktur di Maluku yang terus digenjot oleh pemerintah diakuinya berdampak positif, tetapi ini pun harus dibarengi pula pemulihan sosial akibat konflik tersebut.

"Karena orang juga belum selesai dengan trauma dan dari rasa marahnya. Jadi bagaimana pemerintah memperhatikan pemulihan dan juga kekuatan-kekuatan yang diinisiasi masyarakat ini juga perlu diperkuat, dan terus menerus harus dirawat," jelasnya.

Pemerintah juga dituntut untuk memikirkan bagaimana memenuhi hak-hak dasar ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Mengintegrasikan perawatan perdamaian dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, begitulah. "Karena sampai sekarang orang masih hidup dalam lingkar kemiskinan."

Menyadari sepenuhnya bahwa sebagian masyarakat di Maluku masih gampang terprovokasi isu agama, Baihajar memiliki keinginan untuk terus melakukan pendampingan kepada masyarakat agar memiliki apa yang disebutnya sebagai ketahanan diri.

"Entah melalui pendidikan atau ruang belajar bersama,agar tidak termakan isu-isu yang sifatnya provokatif," ungkapnya. Dia kemudian menyebut betapa provokasi itu gampang ditemukan di dunia maya.

Dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat, Baihajar meyakini masyarakat akan mampu menyaring informasi secara benar.

"Isu sara atau pun yang sifatnya provokatif itu sangat berbahaya buat kami yang berada di daerah konflik," katanya.

Meraih penghargaan

Pada 2012, Baihajar meraih penghargaan Anugerah Saparinah Sadli sebagai perempuan yang menginspirasi karena pemikiran dan tindakannya dalam meuwujudkan perdamaian di Maluku.

Setahun kemudian, dia mendapatkan penghargaan Indonesian Women of Change Award 2013 dari pemerintah Amerika Serikat (AS).

"Penghargaan itu harus saya persembahkan kepada komunitas yang selama ini saya belajar, bergelut bersama mereka," ungkapnya.

Alasannya, Bai mengaku belajar langsung dari kaum ibu dan anak-anak yang menjadi korban konflik agama di Maluku.

"Artinya mereka bisa survive dalam situasi yang sulit, dan itu saya belajar itu, bahwa bagaimana mengubah situasi menderita, menjadi sesuatu yang bahagia , dan bagaimana hidup dalam keterbatasan."

Dari pengalamannya selama ini, Bai kemudian memiliki pengertian apa yang disebutnya sebagai berbuat kebaikan. "Yaitu bagaimana kita membuat orang lain menjadi bahagia."

Membuat bahagia orang lain tanpa melihat latar belakang agamanya, tapi murni karena alasan kemanusiaan yang tulus, tambahnya.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada