Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Panipat: Film Bollywood soal perang abad ke-18 picu kemarahan masyarakat Afghanistan

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
film panipat Panipat film
Sanjay Dutt (kanan) berperan sebagai pemimpin Afghan, Ahmad Shah Abdali.

Perdebatan mengenai peperangan pada abad ke-18 dimulai dengan cara modern: melalui cuitan.

"Kematian terjadi di tempat bayangannya muncul," tulis Sanjay Dutt, aktor veteran Bollywood pemeran pemimpin Afghanistan, Ahmad Shah Abdali, dalam film Panipat.

Baca juga:

Kalimat itu dimaksudkan untuk membangkitkan animo masyarakat agar menonton film tersebut, yang mulai ditayangkan di bioskop-bioskop sejak Jumat (06/12).

Akan tetapi, kata-kata itu justru membangkitkan amarah warga Afghanistan yang begitu gemar menyaksikan film-film Bollywood.

Mengapa masyarakat Afghanistan berang?

Baca juga:

Panipat mengisahkan peperangan pada 1761 antara Kerajaan India dan pasukan Afghan pimpinan Abdali.

Bagi masyarakat Afghanistan, Abdali adalah bapak bangsa dan seorang pahlawan. Namun, untuk khalayak India, dia merupakan seorang penjahat yang membunuh ribuan pejuang Maratha dalam perang Panipat di sebelah utara Delhi.

Arjun Kapoor (kiri) dan Kriti Sanon AFP
Arjun Kapoor (kiri) dan Kriti Sanon juga tampil dalam film Panipat.

Karena tema ini amat sensitif, Konsulat Afghanistan di Mumbai sempat berupaya menghubungi Kementerian Informasi dan Penyiaran India secara langsung pada 2017 lalu.

"Ahmad Shah Abdali dipandang dengan hormat dalam hati dan pikiran rakyat Afghanistan," kata Naseem Sharifi, konsul Afghanistan di Mumbai.

"Ketika film itu sedang dibuat, kami meminta untuk menyaksikannya tanpa mengungkapkan jalan ceritanya. Meski telah berupaya terus-menerus, kami tidak mendapat tanggapan apapun dari para pembuat film," sambungnya.

Tiba-tiba cuitan Sanjay Dutt muncul, lengkap dengan foto tokoh yang dia perankan, seorang pria yang disebut rakyat Afghanistan sebagai Ahmad Shah Baba (ayah). Kemarahan pun langsung muncul.

https://twitter.com/duttsanjay/status/1199984938625335296?s=20


"Dia tampak ganas. Dia mengenal kohl. Abdali tidak seperti itu. Dari cara dia berpakaian sampai dari cara dia berbicara; sama sekali bukan seorang Afghan. Dia digambarkan seperti orang Arab," kata Elaha Walizadeh, seorang blogger Afghanistan, kepada BBC.

Selama beberapa generasi, khalayak Afghanistan gemar dengan film-film Bollywood, seperti Khuda Gawah, film mengenai tokoh pemberani dan patriotis asal Afghanistan yang diperankan Amitabh Bachchan.

Film-film Bollywood menjadi sumber kebahagiaan dan harapan bagi banyak pengungsi Afghanistan selama masa kekuasaan Taliban.

Lagu-lagu Bollywood dimainkan dalam pernikahan orang Afghanistan. Mereka berjoget dengan irama lagu tersebut, menghapal dialog film-film Bolllywood, dan bahkan belajar bahasa Hindi dari film-film itu.

Akan tetapi, muncul film seperti Padmaavat pada 2018. Film itu mengisahkan Alauddin Khilji, seorang penguasa keturunan Turki-Afghan yang menginvasi dan menguasai Delhi pada abad ke-12.

Meski akting Ranveer Singh sebagai Khilji mendapat pujian dan banyak mendapat penilaian positif, penggambaran Khaliji sebagai penguasa yang bengis dan keji menyinggung banyak warga Afghanistan.

Selanjutnya muncul Kesari, drama pada 2019 yang menceritakan peperangan antara 21 serdadu Sikh dari pasukan Inggris dan lebih dari 10.000 orang Afghan. Drama itu dikritik karena membuat stereotipe orang Afghan adalah penyerang yang mengambil alih lahan dengan paksa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Media sosial seperti Twitter and Facebook menjadi wahana bagi mereka yang tersinggung untuk menggalang kekuatan.

"Orang-orang dapat melihat topik mengenai penggambaran yang keliru [soal orang Afghanistan] karena media sosial. Banyak kaum muda Afghan melihat tren itu dan mendiskusikannya," kata Walizadeh.

"Ketika sebelumnya mereka senang ketika Afghan disebut-sebut dalam film Hindi, mereka kini menyaksikannya dengan saksama. Walau penggambaran yang keliru adalah masalah global, mereka berharap yang lebih baik mengingat hubungan masyarakat Afghan dengan Bollywood," imbuhnya.

Beberapa kritikus film berpendapat perubahan penggambaran tokoh-tokoh Afghan boleh jadi karena pemahaman masyarakat Afghanistan kini meningkat.

Yang jadi sorotan para kritikus film justru semakin banyak film dengan tokoh-tokoh Muslim yang negatif sebagai upaya para petinggi Bollywood untuk mendekatkan industri film dengan kebijakan Partai Bharatiya Janata—partai nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi.

"Kami memiliki partai mayoritas Hindu yang cukup sadar dalam mengeksploitas soft power Bollywood," ujar Ankur Pathak, editor bidang hiburan di Huffington Post India.

"Apakah perdana menteri ber-selfie dengan bintang-bintang top, menggelar acara temu muka, atau partai berkuasa mendesak Bollywood menampilkan film tentang pembangunan bangsa, ada insentif tak kasat mata untuk membuat film yang menggambarkan India secara positif. India dalam hal ini adalah gagasan Modi soal India atau gagasan BJP soal India yang pro-Hindu."

Jalur itu berbahaya, tambah Pathak.

"Penggambaran keliru mengenai komunitas apapun menciptakan kerusakan besar. Karena kondisinya sekarang begini, hal semacam itu harus dijauhi," cetusnya.

Sutradara film, Ashutosh Gowariker, menepis penilaian tersebut.

Kepada laman Film Companion, dia berujar: "Film ini bukan tentang perang Hindu-Muslim, tapi soal menghentikan seorang penyerang. [Film] ini soal melindungi perbatasan, tanah, itulah tema patriotis dalam film ini. Karena itu, kami harus menunjukkan Abdali telah menginvasi, namun kami mempertahankan martabat karakternya."

https://twitter.com/duttsanjay/status/1201783670182277120


Bagaimanapun, Konsul Jenderal Afghanistan di Mumbai, Naseem Sharifi, tetap risau potensi bahaya yang ditimbulkan film Panipat—walau Sanjay Dutt mencoba meyakinkan bahwa dirinya tidak akan mengambil peran itu jika penggambarannya negatif.

Sang konsul jenderal, yang juga bertindak sebagai penasihat untuk presiden Afghanistan, menginginkan panel yang terdiri dari para ahli dari kedua negara guna meninjau film tersebut sebelum dirilis.

BBC meminta tanggapan Sanjay Dutt soal kritik ini, namun tidak mendapat respons.

Yang jelas, bagi sejumlah penikmat setia film-film Bollywood dari Afghanistan, film tersebut tampaknya akan mengecewakan.

"Ditinjau dari sejarah, sinema India memainkan peran penting dalam menguatkan hubungan India-Afghanistan," tulis Dr Shaida Abdali, mantan duta besar Afghanistan untuk India, dalam cuitannya.

"Saya sangat berharap film 'Panipat' mengingat fakta itu selagi berurusan dengan episode penting dalam sejarah bersama kita!"

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada