Keturunan budak-budak Afrika mengatakan kepada BBC bahwa mereka akan mengubah nama belakang, setelah kota Utrecht memutuskan untuk membebaskan biaya penggantian nama.
Dewan Kota Utrecht memutuskan untuk menghapus biaya sebesar €835 (sekitar Rp14 juta) dan memangkas birokrasi untuk membantu orang-orang menghapus "nama-nama budak" dan juga mempunyai pilihan untuk mengadopsi nama yang mencerminkan asal usul mereka dari Afrika.
Berdasarkan peraturan yang berlaku di Belanda, bila seseorang mempunyai nama belakang yang dianggap berlebihan misalnya Anus, Garlic atau Naked-born, tidak ada ketentuan untuk menyertakan bukti bahwa nama itu tidak diinginkan.
Namun, jika nama itu berasal dari warisan kolonial Belanda, yang punya nama seringkali harus menjalani tes kejiwaan yang mahal, selain harus membayar biaya perubahan nama.
"Tak benar meminta bayaran uang untuk mengubah nama," kata Linda Nooitmeer, kepala institut nasional untuk sejarah perbudakan Belanda.
Nama belakang Linda sendiri berarti Tidak Pernah Lagi. Walaupun ia cukup senang dengan nama itu karena dipilih oleh para leluhurnya, ia sedang mempertimbangkan untuk mengubahnya. Linda menilai langkah pemerintah kota Utrecht sebagai "bagian dari proses pemulihan, untuk mengembalikan kebebasan dan identitas mereka".
Perbudakan selama tiga abad
Antara tahun 1596 hingga 1829 Belanda mengirimkan lebih dari setengah juta orang Afrika melewati Samudera Atlantik untuk bekerja di perkebunan-perkebunan.
Mereka diperlakukan sebagai objek dan harta milik dan nama mereka dihapus, sebagai bagian dari hal yang oleh Linda Nooitmeer disebut sebagai proses "tak memanusiakan".
"Semuanya dihilangkan. Mereka bagian dari kargo, seperti ternak. Tidak hanya nama, kegiatan ritual, bahasa, identitas, seluruh bukti yang menunjukkan mereka orang Afrika dihapus."
Belanda tercatat sebagai salah satu negara terakhir yang menghapuskan perbudakan pada 1863, atau 30 tahun sesudah Inggris menghapuskannya. Sekalipun demikian, para budak Belanda di Suriname, di kawasan Amerika Selatan timur laut, harus menunggu 10 tahun kemudian untuk benar-benar bebas.
Para budak juga dikirim ke Brasil, Haiti, Curaçao dan tempat-tempat lain di Karibia.
Stigma bagi keturunan budak
Budak-budak yang dibebaskan diberi nama-nama palsu, seringkali dikaitkan dengan pemilik budak, perkebunan atau peleburan acak dari kota-kota di Belanda atau kata-kata yang terdengar seperti bahasa Belanda, namun nama belakang Belanda yang umum dilarang digunakan.
Berghout dan Seedorf digunakan sebagai nama, demikian juga dengan Madretsma, ejaan terbalik dari Amsterdam dan Eendragt, nama perkebunan yang berarti harmoni. Nama-nama lain dapat diartikan sebagai Patuh, Murah, Jinak dan Pasrah.
Linda Nooitmeer meyakini nama-nama itu mengingatkan pemiliknya bahwa mereka sebelumnya adalah bawahan, dan rantai perbudakan tidak sepenuhnya dilepaskan.
Ratusan orang mengaku tertarik mengubah nama
Karena ikatan dengan tempat asal sudah lama dihapus, banyak orang mencari asal-usul Afrika mereka guna menemukan nama yang lebih mencerminkan jati diri mereka.
Di antara orang itu adalah Yaw, yang berkunjung ke Ghana. Dan karena sekarang Utrecht menghapus biaya pengubahan nama, pria ini ingin meresmikan nama Yaw, untuk menggantikan nama yang sekarang Guno Mac Intosch.
"Begitu pintu dibuka," katanya sambil menunjuk ke arah balai kota, "Saya akan berada di antrean depan."
Tahun lalu hampir 3.000 orang memilih untuk mengubah nama keluarga, tetapi hanya satu orang yang menyebut alasan konotasi kolonial.
Baca juga:
- Ketika Belanda menghadapi masa lalu mereka sebagai penjajah
- Al-Qaida mencoba eksploitasi protes kematian George Floyd
- Yale ganti nama kampusnya yang terkait kontroversi perbudakan
Janji kota Utrecht untuk menggratiskan biaya dan persyaratan kelengkapan dokumen telah mengundang minat ratusan orang.
"Mungkin tidak persis sama dengan nama leluhur kami," jelas Nooitmeer, "Tetapi nama itu diberikan dengan semangat Afrika. Dan itu benar-benar bermakna untuk memberikannya kepada anak-anak dan keturunan." Nama-nama mereka adalah bagian integral dari identitas mereka, lanjut Linda Nooitmeer.
Setelah era emansipasi, sejumlah orang membentuk koperasi dan membeli perkebunan kapas.
Bagi mereka, mengadopsi nama baru adalah pemberdayaan, karena yang dulunya hak milik orang lain telah berubah menjadi pemilik. Nooitmeer yakin para budak akan memahami mengapa keturunan mereka berusaha menemukan kembali apa yang disebutnya sebagai energi Afrika.
Pameran perbudakan baru-baru ini digelar di Rijksmuseum, Amsterdam, dikurasi oleh kepala bagian sejarah museum nasional itu, Valika Smuelders.
Kami bertemu di Lange Voorhout, Den Haag pusat yang bersejarah, yang menurutnya dibangun dari kekayaan hasil perdagangan budak.
Smuelders berdarah campuran dan keturunan dari budak, pemilik budak dan kontraktor. Namanya mengandung unsur Belanda, Skotlandia dan Portugis. Ia menganggapnya "sarat akan sejarah kolonial".
Baginya, mengubah nama belakang rumit, pilihan pribadi dan kemungkinan tidak akan membuat orang terburu-buru melakukannya di kalangan satu juta orang keturunan budak di Belanda.
"Orang memberikan tanggapan sangat berbeda atas situasi yang terjadi. Jadi bagi sebagian orang, [nama mereka] mungkin saja menjadi sesuatu yang ingin mereka pertahankan," jelasnya.
Banyak orang yang mempunyai nama Belanda berencana tidak mengubahnya, karena berbagai penelitian menunjukkan nama yang terdengar asing di Belanda berisiko menimbulkan diskriminasi dalam bidang pendidikan, perumahan atau lapangan kerja.
Putra Yaw mengatakan bahwa nama Skotlandia Mac In Tosch mungkin membukakan pintu baginya di dunia korporasi.
Sambil duduk di balik bayang-bayang tugu peringatan perbudakan di taman Oosterpark yang ramai di Amsterdam, Linda Nooitmeer ingat saat Wali Kota Femke Halsema meminta maaf atas peran dewan kota dalam perdagangan budak.
"Itu benar-benar mempengaruhi saya. Saya tidak membayangkannya bahkan empat tahun lalu, tak pernah. Jadi kami mengalami kemajuan."
Ketika saya berbincang-bincang dengan Yaw di luar balai kota Utrecht, seorang laki-laki datang dan meneriakkan kata-kata berbau rasial: "Anda bukan orang Afrika, hanya karena kulit Anda hitam. Jika Anda berpikir sebagai orang Afrika, pulanglah! Datang ke sini untuk mendapatkan tunjangan."
Orang-orang melirik sampai seorang pria berkulit putih lain turun tangan.
Peristiwa itu mengejutkan tetapi Yaw tetap tenang. Ia memandang Belanda masih dalam perjalanan dan pengakuan atas keinginan warga untuk menghapus nama-nama budak menunjukkan adanya langkah kecil tapi penting.
"Orang Belanda mengaku sebagai orang yang bebas dan negaranya bebas, lalu kita mengalami hal-hal ini, sikap ini, " kata Yaw.
Gerakan Black Lives yang menyebar di seluruh dinia, menurutnya, telah membawa perubahan,dan perubahan nama belakang adalah bagian dari proses yang mencerminkan kesadaran lebih tinggi.
"Kami di sini, kami membangun negeri ini, dan kami tidak membiarkan orang mengusir kami dengan alasan kami tidak pantas berada di sini ."