Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Debat Pilpres 2024 yang kelima atau yang terakhir digelar di antara para calon presiden atau capres pada Minggu malam ini, 4 Februari 2024. Salah satu temanya adalah teknologi informasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar sekaligus praktisi keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, menyebutkan ada tiga hal penting dalam perkembangan teknologi informasi di Tanah Air saat ini yang seharusnya mendapat perhatian dari para capres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerataan Akses Internet
Yang pertama adalah kecepatan internet. Alfons menuturkan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika menargetkan kecepatan minimal 100 Mbps yang harus dipenuhi operator atau perusahaan penyedia jasa layanan internet di Indonesia.
Alasannya, kecepatan internet di Indonesia termasuk yang paling rendah di antara negara-negara Asean. Alfons menilainya baik tapi bukan itu prioritas yang seharusnya dikejar.
Menurutnya, jauh lebih penting untuk Kominfo memastikan pemerataan akses internet di seluruh Indonesia. Kecepatan 20- 50 Mbps dianggapnya sudah cukup optimal untuk pemanfaatan internet bagi masyarakat.
"Memang lebih tinggi lebih baik tetapi lebih baik tidak terlalu tinggi tetapi lebih merata," katanya via aplikasi perpesanan WhatsApp, Minggu siang, 4 Februari 2024.
Alfons menjelaskan, Indonesia adalah negara besar dan jauh lebih luas dibandingkan negara lain di Asean. Jadi jika kecepatan internet rata-rata kalah bisa dimaklumi. Tapi di kota-kota besar, Alfons meyakini, kecepatan internetnya tidak kalah dari Singapura dan Malaysia.
"Daripada memfokuskan pada menaikkan speed internet pada area yang sudah cukup baik, lebih baik usaha lebih keras dilakukan pada pemerataan akses internet dengan speed yang wajar saja."
Standar Pengelolaan Data
Hal kedua yang seharusnya mendapat perhatian dari para capres, menurut Alfons, adalah problem kebocoran data. Dia menyoroti profesionalisme jabatan dan standarisasi pengelolaan data.
Alfons mengatakan, kebocoran data di Tanah Air selama ini terjadi karena pengelolaan data yang tidak disiplin. "Tidak mengikuti standar pengelolaan data yang sebenarnya sudah ada dan tinggal diikuti seperti ISO 27001, 27701 dan lainnya," katanya.
Dia menekankan bahwa celah keamanan baru selalu muncul setiap hari. Karenanya, menjaga celah keamanan dengan patch secara disiplin akan mengamankan dari ancaman. "Ddapat ISO hari ini, bukan berarti minggu depan atau bulan depan aman jika tidak disilin menjalankannya," kata Alfons.
Kekayaan Data
Hal ketiga yang menjadi masalah penting dalam perkembangan teknologi informasi adalah kesadaran atas kekayaan data digital orang Indonesia. Alfons menyindir gembar gembor kebijakan hilirisasi yang tak menyentuh 'komoditas' data.
Dia menuturkan kalau secara de facto data orang Indonesia sudah dikelola oleh negara asing. Contohnya, Google Maps berisi data pergerakan orang Indonesia, Whatsapp memuat data komunikasi orang Indonesia, atau Tiktok yang berisi data aktivitas media sosial orang Indonesia.
Data itulah yang dikatakan sebagai komoditas paling berharga dan sekarang diolah oleh negara asing. Perusahaan seperti Google, Meta, dan TikTok menggenggam big data dari Indonesia dan mengolahnya.
"Parahnya lagi," kata Alfons menambahkan, "Justru perusahaan yang mengelola data dan milik Indonesia seperti Tokopedia malah dengan bangga dijual ke Tiktok, itu isinya data transaksi e-commerce orang Indonesia."
Pilihan Editor: Alumni ITB Bicara Beda Tunggakan Uang Kuliah Dulu dan Sekarang