Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jason Jeremy Wijadi (21), dan Jason Christian Hailianto (21), keduanya mahasiswa Binus International, datang ke acara World Braille Day dengan tema ‘Let's Go Hand in Hand for a More Inclusive Society!’ di Pusat Kebudayaan Amerika, @america, di Pacific Place, Jakarta, pada 19 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada acara tersebut, panitia juga mengundang penyandang tuna netra dan organisasinya untuk berinteraksi dengan pengunjung yang hadir. “Mereka mengajak pengunjung yang datang ke acara untuk merasakan seperti orang tuna netra,” kata Jason J, yang tengah studi di semester 6 Computer Science. Pengunjung dipersilakan menggunakan alat baca Braille yang dibawa dari luar negeri, ada juga yang diminta berjalan menggunakan tongkat dengan mata tertutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sana, Jason C, mahasiswa semester 8 Computer Science, mencoba menulis Braille secara manual menggunakan jarum yang ditempelkan ke kertas yang dilapisi papan. Ia mencoba menulis nama dirinya, “Nulis 5 huruf saja lama,” katanya mengenang saat itu kepada Tempo, 16 Agustus 2023 di kampus yang berlokasi di FX Sudirman. Menurutnya, cara menulis juga harus terbalik dan menggunakan kertas khusus supaya hasilnya timbul dan bisa diraba.
Kedua mahasiswa itu juga melihat adanya alat pembaca Braille dari luar negeri. Ketika mengetahui harga alat berukuran kecil sekitar Rp 8 juta, hati mereka terketuk. “Kenapa kita nggak bikin juga alat pembaca Braille yang lebih terjangkau, karya lokal,” kata Jason J. mendapatkan ide. Apalagi, sejauh ini belum ada alat sejenis yang komersial.
Kebetulan keduanya akan mengikuti program Google Solution Challenge 2023. Bersama dua rekan lain, Philipus Adriel Tandra (19), Aric Hernando (21) yang juga mahasiswa di tempat yang sama, mereka bergabung dalam satu tim untuk membuat proyek yang memiliki dampak yang baik. Tidak hanya itu, minimal ada satu teknologi Google yang digunakan dalam berkontribusi terhadap satu atau beberapa program United Nations Sustainable Development Goals. PBB yang memiliki 17 tujuan pembangunan berkelanjutan untuk kehidupan bersama di dunia ini.
Niat untuk membantu sesama yang membutuhkan akhirnya menghasilkan alat bernama Wonder Reader. Nama tersebut terinspirasi dari penyanyi dunia yang kebetulan tuna netra, Stevie Wonder.
Perjalanan Membuat Wonder Reader
Mewakili dua rekannya yang berhalangan hadir saat wawancara, duo Jason menceritakan pengalaman membuat proyek ini.
Niat baik tim untuk membantu tuna netra membaca, menulis, membaca buku, belajar matematika serta belajar musik disambut baik oleh Yayasan Mitra Netra. Pada 3 Februari 2023, mereka bertemu pihak Mitra Netra untuk belajar dan meminta berbagai masukan seputar dunia tunanetra terutama belajar menggunakan huruf Braille.
Revisi alat untuk pertama kali selesai dalam 1,5 bulan dengan aplikasi masih berbasis web dan diikutsertakan pada program Google Solution Challenge 2023.
“5 Mei 2023 pengumuman Top 100, dan kami terpilih,” kata Jason J. Hal ini membuat tim dapat melanjutkan proyeknya dengan waktu yang diberikan selama satu bulan. Adanya masukan dari mentor yang disediakan Google membuat tim membongkar aplikasi berbasis web dan berpindah ke Android pada ponsel. Mentoring tersebut dilakukan secara daring seminggu sekali selama satu jam.
Di bulan Juni, mereka kembali ke Mitra Netra untuk meminta masukkan atas alat yang telah direvisi. Kali ini ada rekan tuna netra yang pertama kali mencoba alat tersebut. Jason C menuliskan kata ‘Hello’ pada aplikasi di ponsel dan mengirimkan ke Wonder Reader. Satu demi satu titik muncul ke permukaan dan siap untuk diraba. Setelah merasakan dengan jari, sang rekan tuna netra menyebut, “Hello”.
“Haduh, rasanya bangga banget. Dari waktu yang kita sisihkan selama ini untuk membuat alat, rasanya nggak sia-sia,” kata Jason C.
Jason J. juga menceritakan berdebarnya hati saat alat dicoba oleh pengguna yang sebenarnya. “Deg-degan banget. Ini bisa apa nggak ya?” jelasnya. Adanya penguji dari penyandang disabilitas yang sesungguhnya memberikan berbagai masukkan baru bagi tim. Mereka mengucap syukur karena beruntung pihak Mitra Netra mau bekerja sama membantu proyek ini.
Pembuatan Wonder Reader memakan waktu empat bulan, dengan keadaan anggota tim terpencar dan masa libur pada bulan April. Jason J. mengerjakan bagiannya sembari magang selama satu bulan. Philips yang masih studi di semester 2, tentu masih ada kelas. Aric masih kuliah di Australia dan Jason C. sebagai team leader Wonder Reader, tengah melakukan skripsi.
Aric bersama Jason J. bekerja di bagian pengembangan aplikasi. Sebagai software developer, mereka bisa kerja dari tempat manapun, termasuk luar negeri.
Tim berhasil masuk ke 10 besar
Google Solution Challenge 2023 Demo Day yang diselenggarakan pada 3 Agustus 2023 merupakan acara puncak yang menghadirkan 10 tim terbaik, setelah melewati seleksi ketat lebih dari 2.000 pendaftar dari 76 negara. Tim yang tersisa diminta mempresentasikan solusi yang mereka kembangkan.
Akhirnya Wonder Reader masuk tiga besar bersama tim dari Singapura dan Bolivia. Setiap pemenang akan menerima hadiah sebesar US$ 3.000 per anggota tim, disertakan dalam Google Developers Blog dan masih terus mendapatkan pendampingan dari pakar Google untuk mengembangkan alat.
Mereka menyatakan kegembiraan bukan hanya karena hadiah, melainkan juga karena dapat berkesempatan langsung berbicara dengan program manager Google dari Amerika. Selain itu, mereka dapat melihat dan merasakan bekerja bersama tim Google.
Revisi ketiga
Walau sudah dinyatakan menang, tapi alat tersebut masih butuh penyempurnaan. Mereka telah menetapkan revisi di beberapa bagian seperti motor penggerak susunan metal Braille agar bekerja lebih cepat. Saat alat tersebut dipraktekkan di depan Tempo, bagian metal yang menonjol untuk diraba terlihat kurang cepat naiknya.
Dimensi huruf juga akan diperkecil sesuai standar, karena yang mereka buat berukuran dua kali lipat dari standar. Masukan tersebut datang dari penguji tuna netra karena saat diraba terasa lebih besar dibanding Braille yang selama ini ia dirasakan.
Urusan ketersediaan barang juga menjadi perhatian. Seperti ketahui saat ini alat hanya berjumlah satu dan nantinya ditargetkan sebanyak 10 buah.
Mengenai harga yang dijanjikan lebih terjangkau dibandingkan produk sejenis dari luar negeri, tim membuka rahasianya. Salah satunya pada motor penggerak titik. Untuk diketahui, satu huruf Braille terdiri dari enam titik. Sedangkan, alat baca memiliki sembilan huruf Braille yang artinya ada 54 titik.
Pada alat dari luar negeri yang mereka lihat, tiap titik dibekali motor yang artinya ada 54 motor. “Kalau kami hanya memakai empat motor. Itu yang bikin murah,” jelas Jason C. Tim mempelajari banyak video dan jurnal ilmiah demi mencari metode baru yang dapat digunakan agar harga alat dapat lebih terjangkau.
Jika dibandingkan, keunggulan alat yang sudah ada, karena masing-masing titik memiliki motor, maka semua titik yang dibutuhkan bisa naik serentak. Contoh, kembali ke kata ‘Hello’, produk lain langsung naik lima set titik. Sedangkan, pada Wonder Reader huruf naik satu per satu.
Hal lain yang membuat harga lebih murah karena casing produk terbuat dari 3D Print. Saat dilihat memang agak kasar namun tim sudah memiliki rencana untuk hal ini. Hadiah uang akan dibelikan mesin yang dapat menghasilkan casing yang lebih bagus.
Pesan Kemerdekaan
Masih dalam rangka hari kemerdekaan untuk menghormati jasa pahlawan dan orang-orang yang berjasa bagi negara. Jason C mengajak warga agar lebih peduli pada sesama. “Lihat ke sesama kita, lihat ke orang yang membutuhkan bantuan dan bantu mereka,” katanya. Ia berharap, jika memiliki ide baik, kembangkanlah terus dan jangan berhenti di situ saja. Usaha mengembangkan terus sampai menjadi produk yang jadi, tidak dilakukan dengan setengah hati. “Langsung lakukan dan komitmen,” jelasnya.
Sedangkan, Jason J. mengajak untuk terus berkembang demi kebaikan sesama.