Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Spanyol, Norwegia, dan Irlandia Akui Palestina, Apa Dampaknya?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Spanyol, Norwegia, dan Irlandia Akui Palestina, Apa Dampaknya?
Iklan

Seruan agar negara-negara Barat mengakui negara Palestina baru-baru ini semakin kencang terdengar.

Meskipun Jerman saat ini belum menganggap wilayah Palestina sebagai negara kesatuan, sebagian besar negara-negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru sebaliknya. Ada sebanyak 139 dari total 193 negara yang kini menganggap wilayah Palestina sebagai negara kesatuan.

Baca Juga:

Spanyol, Norwegia, dan Irlandia juga baru-baru ini mengaku berkomitmen untuk mengakui negara Palestina.

Bahkan Amerika Serikat (AS), negara yang kerap memveto hampir setiap upaya untuk mengakui bangsa Palestina, kini disebut-sebut sedang mempertimbangkan kembali pengakuan tersebut.

Inggris juga tampaknya mempertimbangkan hal serupa, walaupun sama seperti AS, negara tersebut kerap menentang pengakuan semacam ini di masa lalu.

Baca Juga:

"Apa yang perlu kita lakukan adalah memberikan cakrawala kepada rakyat Palestina menuju masa depan yang lebih baik, masa depan untuk memiliki negara sendiri,” kata Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron pada bulan Februari.

Meski begitu, pernyataan-pernyataan dari AS dan Inggris ini menurut para ahli perlu direspons dengan kehati-hatian.

Mereka mengindikasikan, pernyataan-pernyataan tersebut kemungkinan besar dibocorkan secara sengaja atau dalam kasus Inggris, secara terbuka disuarakan guna memberikan tekanan kepada pemerintah Israel, yang tampaknya tidak terpengaruh dengan ketidaknyamanan dari sekutunya terkait strategi perangnya di Gaza.

Saat dimintai klarifikasi, juru bicara pemerinah AS mengatakan kebijakan di Washington belum berubah untuk saat ini.

Mengapa gagasan pengakuan negara Palestina kontroversial?

Bagi banyak negara Barat, gagasan terkait perubahan status Palestina seharusnya terjadi di akhir perundingan tentang apa yang dikenal sebagai solusi dua negara, di mana negara Israel dan negara Palestina eksis berdampingan.

Inilah sebabnya, mengapa pernyataan dan rumor terkait pengakuan negara Palestina baru-baru ini menimbulkan begitu banyak perdebatan.

Ada yang mengatakan, pengakuan negara Palestina akan menjadi langkah pertama menuju sebuah solusi abadi dan damai terhadap konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Namun ada pula yang mengatakan, kecuali situasi di lapangan berubah, pengakuan tersebut tidak akan ada artinya dan hanya akan menutupi status quo, sehingga negara Israel tetap memiliki kekuasaan penuh.

Apa keuntungannya bagi Palestina?

Jika pengakuan diberikan, negara Palestina akan memiliki lebih banyak kekuatan politik, hukum, bahkan kekuatan simbolis.

Secara khusus, pendudukan Israel atau aneksasi wilayah Palestina akan menjadi masalah hukum yang lebih serius.

"Perubahan semacam itu akan menjadi landasan bagi perundingan status permanen antara Israel dan Palestina, bukan sebagai serangkaian konsesi antara penjajah dan yang dijajah, namun antara dua entitas yang setara di mata hukum internasional,” tulis Josh Paul di Los Angeles Times awal tahun ini.

Hingga baru-baru ini, Paul menjabat sebagai direktur kongres dan urusan publik di Biro Urusan Politik-Militer Departemen Luar Negeri AS, namun mengundurkan diri karena perbedaan pendapat mengenai kebijakan AS di Gaza.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Perselisihan, seperti mengenai status Yerusalem atau kendali atas perbatasan, hak atas air dan teritorial udara, akan dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase global yang sudah mapan,” kata Paul seraya menambahkan bahwa perselisihan semacam itu juga akan dapat diselesaikan dengan menggunakan aturan hukum, aturan penerbangan sipil, atau aturan telekomunikasi yang diterima secara internasional.

Namun, keuntungan terbesar bagi Palestina kemungkinan hanya bersifat simbolis. "Sebuah negara Palestina pada akhirnya mungkin akan menuntut Israel ke pengadilan ineternasional, namun hal itu akan memakan waktu yang lama," kata Philip Leech-Ngo, seorang analis Timur Tengah yang berbasis di Kanada dan penulis buku "The State of Palestina: A Crticial Analysis” yang diterbitkan pada tahun 2016.

Bagi Otoritas Palestina, yang memerintah sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel, yang juga merupakan bagian dari perwakilan resmi rakyat Palestina, "tujuan utamanya adalah mendapatkan pengakuan,” kata Leech-Ngo kepada DW.

"Mereka tidak bisa memberikan banyak hal lain kepada masyarakat Palestina. Mereka tidak bisa menghadapi Israel, mereka tidak mampu memperbaiki kehidupan warga Palestina di bawah yurisdiksi mereka, dan mereka juga korup dan tidak demokratis. Jadi, yang bisa mereka tawarkan adalah janji pengakuan internasional,” tambahnya.

"Bagaimanapun,” lanjut Leech-Ngo, "pengakuan sebagai sebuah negara akan menjadi sebuah cara untuk mengatakan bahwa komunitas internasional menerima perjuangan Palestina sebagai sesuatu yang sah dan dalam konteks pendudukan Israel yang berkepanjangan, hal ini menawarkan modal politik yang besar.”

Apa kerugian jika pengakuan diberikan?

Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan, sebagian besar warga Israel tidak menginginkan negara Palestina.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga telah mengatakan hal serupa selama bertahun-tahun.

Bagi masyarakat Israel dan para pendukungnya di luar negeri, ada kekhawatiran jika negara Palestina diakui sekarang, hal ini mungkin akan menjadi kemenangan bagi mereka yang menggelorakan kekerasan.

"Jika pengakuan tersebut terjadi sekarang, Hamas kemungkinan besar akan mendapat pujian,” tulis Jerome Segal, direktur International Peace Consultancy, di majalah Foreign Policy edisi Februari.

"[Hamas] akan menggunakan pengakuan ini untuk menunjukkan bahwa perjuangan dengan senjata saja yang akan membuahkan hasil,” tambahnya.

"Masalah besar di lapangan”

Meksipun memiliki keuntungan hukum dan simbolis, pakar menilai pengakuan terhadap negara Palestina tidak akan serta merta mengubah apa pun di lapangan.

"Hambatan terbesar bagi pembentukan negara Palestina pada bulan Februari 2024, serupa dengan hambatan terbesar yang sudah ada sejak sebelum 7 Oktober,” tulis Dahlia Scheindlin, seorang peneliti di lembaga pemikir AS, Century International, yang berbasis di Tel Aviv, pada bulan Februari lalu.

"Pertama dan terpenting, pemimpin politik Israel berdedikasi untuk mencegah kemerdekaan Palestina dengan segala cara. Kedua, kepemimpinan Palestina benar-benar terpecah dan hampir tidak memiliki legitimasi domestik. Semua hambatan ini semakin parah sejak 7 Oktober,” tulisnya.

"Jika Anda menggunakan katakanlah sebuah tongkat ajaib dan tiba-tiba menciptakan sebuah pengakuan terhadap negara Palestina, masih akan ada masalah besar di lapangan,” kata analis Timur Tengah Leech-Ngo.

"Ada pendudukan, pemukiman [ilegal], kehancuran di Gaza dan kurangnya kendali atas perbatasan serta pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan Yerusalem. Ada banyak masalah terkait status final yang tidak akan terselesaikan secara tiba-tiba, bahkan jika Anda bisa mengayunkan tongkat ajaib,” tutupnya. (gpt/rs/as)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada