Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

India: Cuaca Ekstrem Suburkan Wabah Penyakit

Reporter

Editor

dw

image-gnews
India: Cuaca Ekstrem Suburkan Wabah Penyakit
Iklan

India sejatinya tidak asing dengan suhu udara tinggi. Tapi terik matahari di puncak musim panas kali ini terasa ekstrem dan mematikan. Antara April dan Juni, jarum termometer secara rutin menyentuh kisaran 50 derajat Celsius di New Delhi, atau juga negara bagian Rajasthan dan Uttar Pradesh.

Tahun ini India menghadapi gelombang panas paling intensif sejak lebih dari satu dekade. Ratusan orang dikabarkan meninggal dunia akibat sengatan panas, sementara ribuan lainnya mengalami gangguan kesehatan sebagai dampak tingginya suhu udara.

Baca juga:

Para ahli memperingatkan, gelombang panas mungkin lebih mematikan daripada yang disadari, karena banyak kasus kematian terkait gelombang panas yang tidak tercatat pada sertifikat kematian.

"Kebanyakan orang yang meninggal selama gelombang panas tidak tercatat sebagai korban suhu panas. Perlu ada formulasi yang tepat untuk kota-kota besar dan kecil," kata Dileep Mavalankar, mantan kepala Institut Kesehatan Masyarakat India kepada DW.

Ketika gelombang panas menyapu wilayah utara di perbatasan Himalaya, hujan yang biasa mencurah di musim panas malah datang membawa banjir dan tanah longsor di timur laut. Bencana tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan ratusan ribu penduduk kehilangan tempat tinggal.

Baca juga:

Bagi penduduk setempat, kedua fenomena cuaca ekstrem, gelombang panas dan banjir, menyisakan ancaman lain yang lebih mematikan, yakni wabah penyakit.

Di luar batas toleransi

Di India, ahli kesehatan mewanti-wanti betapa perubahan iklim meningkatkan penyebaran malaria, demam berdarah dan demam kuning, kolera, chikungunya, serta penyakit kronis lainnya. Penyakit-penyakit ini khususnya mengancam jutaan penduduk yang hidup dengan sanitasi buruk, polusi, kekurangan gizi, dan mengalami kekurangan air minum.

Di sejumlah kota di India, "suhu meningkat melebihi toleransi manusia, kelembapan meningkat, dan begitu pula panasnya malam hari," kata Sunita Narain, kepala Pusat Sains dan Lingkungan, CSE, sebuah organisasi penelitian dan advokasi kepentingan publik yang berpusat di New Delhi.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa udara panas yang meningkat beberapa derajat di atas suhu tubuh manusia memiliki serangkaian efek berbahaya pada kondisi mental dan fisik. Perempuan yang bekerja di sektor sensitif panas seperti pertanian atau konstruksi berisiko mengalami komplikasi terkait kehamilan.

Narain memperingatkan bahwa kolera, penyakit yang dianggap hampir punah, kini "muncul kembali dengan ganas," ujarnya.

"Bukan perubahan iklim yang menyebabkan kolera. Faktanya, sumber masalah terbesar adalah salah urus lingkungan," kata Narain.

Meningkatnya risiko wabah

Krisis iklim diyakini menyuburkan pertumbuhan patogen penyakit yang sensitif terhadap suhu hangat. Dalam banyak kasus, kemunculan penyakit berkaitan dengan curah hujan ekstrem dan gelombang panas.

Pemerintah juga menyadari hubungan antara kematian dan suhu panas. Kementerian kesehatan, misalnya, sudah mencanangkan pembangunan kapasitas dan mempersiapkan layanan medis nasional untuk mengurangi risiko kesehatan akibat gelombang panas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, semua upaya perbaikan sering kali terbentur masalah mendasar, ​​yakni kurangnya data.

"Ketiadaan data adalah rintangan pertama yang perlu kita atasi jika kita ingin menyelamatkan nyawa," kata ilmuwan iklim Roxy Mathew Koll dari Institut Meteorologi Tropis India kepada DW.

Mitigasi layanan kesehatan

Sebuah riset teranyar oleh pemerintah India mencoba meneliti hubungan antara parameter iklim dan penyakit menular dalam studi tiga tahun yang melibatkan 461 anak di bawah 16 tahun di kota Varanasi di wilayah utara.

Para peneliti menetapkan bahwa parameter iklim seperti suhu, kelembapan, curah hujan, radiasi matahari, dan kecepatan angin secara signifikan terkait dengan penyakit menular seperti penyakit gastrointestinal, penyakit pernapasan, penyakit yang ditularkan melalui vektor, dan penyakit kulit pada anak-anak.

Chandra Bhushan, kepala Forum Internasional untuk Lingkungan, Keberlanjutan & Teknologi yang berbasis di Delhi mengatakan kepada DW bahwa membangun ketahanan infrastruktur kesehatan sangat penting untuk menghadapi iklim ekstrem.

Tahun ini, misalnya, pemerintah Delhi meminta rumah sakit untuk memulai rencana aksi penanggulangan panas dan memastikan kesiapan untuk menangani Insiden Terkait Panas atau HRI. Pada bulan Mei, terjadi peningkatan antara 10 dan 15 persen jumlah pasien terkait panas yang dirawat di rumah sakit dan sekitar 10 persen di unit gawat darurat.

"Di Delhi, rumah sakit diminta untuk segera menyiapkan bangsal berpendingin ruangan untuk menangani pasien dengan penyakit terkait panas. Banyak kota lain menghadapi tantangan serupa," kata Bhushan.

Pertanian tahan iklim

Menurut aktivis kawakan itu, dampak krisis iklim terhadap gizi dan kesehatan juga kini tengah dikaji. Hal ini juga diperkirakan akan berdampak pada pertanian India.

"Jadi, kini ada fokus yang lebih besar pada tanaman yang tahan terhadap iklim dan dalam anggaran terbaru pemerintah telah mengumumkan akan merilis lebih dari seratus tanaman baru yang tahan terhadap iklim."

Dengan perubahan iklim yang berdampak besar pada kesehatan masyarakat, peneliti itu mengatakan India harus "beradaptasi dan berinvestasi" untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan yang tangguh.

rzn/as

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada