Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Krisis Iklim Berdampak pada Kubis, Selamat Tinggal Kimchi?

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Krisis Iklim Berdampak pada Kubis, Selamat Tinggal Kimchi?
Iklan

Kimchi, makanan pendamping yang khas dari Korea Selatan, terdampak krisis iklim. Para ilmuwan, petani, dan produsen mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas kubis napa yang diasinkan untuk membuat hidangan khas tersebut, mengalami penurunan akibat peningkatan suhu.

Kubis Cina atau yang dikenal juga sebagai kubis napa tumbuh subur di iklim yang lebih dingin, dan biasanya ditanam di daerah pegunungan di mana suhu selama musim panas yang krusial jarang melampaui 25 derajat Celsius.

Baca juga:

Studi menunjukkan bahwa cuaca yang lebih hangat akibat krisis iklim mengancam tanaman ini sehingga kemungkinan suatu hari nanti Korea Selatan tidak lagi dapat menanam kubis napa karena panas yang semakin intens.

"Kami berharap prediksi ini tidak terjadi," kata ahli patologi tanaman dan virologis Lee Young-gyu.

"Kubis tumbuh di iklim dingin dan beradaptasi dengan kisaran suhu yang sangat sempit," kata Lee. "Suhu optimalnya adalah antara 18 hingga 21 derajat Celsius."

Baca juga:

Di ladang dan di dapur, baik komersial maupun rumah tangga, petani dan pembuat kimchi sudah merasakan perubahan ini.

Lahan pertanian yang terus menyusut

Kimchi dibuat dari beragam sayuran, seperti lobak, mentimun, dan daun bawang, tetapi hidangan yang paling populer tetaplah kimchi berbahan dasar kubis.

Menjelaskan dampak suhu yang lebih tinggi pada sayuran tersebut, Lee Ha-yeon, yang memegang gelar Master Kimchi dari Kementerian Pertanian, mengatakan bahwa inti kubis "rusak, dan akarnya menjadi lembek".

"Jika ini terus berlanjut, maka di musim panas kami mungkin harus berhenti mengonsumsi kimchi kubis," kata Lee, yang gelarnya mencerminkan kontribusinya pada budaya makanan.

Data dari badan statistik pemerintah menunjukkan bahwa luas lahan pertanian kubis di dataran tinggi tahun lalu kurang dari setengah dibanding 20 tahun yang lalu. Saat ini Korea Selatan memiliki sekitar 3.995 hektare kebun pertanian kubis, padahal dua dekade lalu negara ini memiliki 8.796 hektare.

Menurut Badan Pengembangan Pedesaan, sebuah lembaga think tank pertanian milik negara, skenario krisis iklim memproyeksikan area pertanian akan menyusut secara dramatis dalam 25 tahun ke depan menjadi hanya 44 hektare, dengan tidak ada kubis yang ditanam di dataran tinggi pada 2090.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para peneliti menyebutkan suhu yang lebih tinggi, hujan lebat yang tidak terduga, dan hama yang menjadi lebih sulit dikendalikan pada musim panas yang lebih hangat dan lebih lama sebagai penyebab penyusutan tanaman ini.

Infeksi jamur yang membuat tanaman layu juga menjadi masalah bagi para petani karena baru terlihat jelas saat mendekati panen.

Tantangan krisis iklim dan impor bahan pangan

Krisis iklim menambah tantangan yang dihadapi industri kimchi Korea Selatan, yang sudah berjuang melawan impor yang lebih murah dari Cina, yang sebagian besar disajikan di restoran.

Data bea cukai yang dirilis pada hari Senin (02/09) menunjukkan bahwa impor kimchi hingga akhir Juli tahun ini naik 6,9 persen menjadi US$98,5 juta (sekitar Rp1,53 triliun), hampir semuanya dari Cina dan merupakan jumlah tertinggi yang pernah ada untuk periode tersebut.

Sejauh ini, pemerintah mengandalkan penyimpanan dalam suhu terkontrol untuk mencegah lonjakan harga dan kekurangan stok. Para ilmuwan juga berlomba mengembangkan varietas tanaman yang dapat tumbuh di iklim yang lebih hangat dan lebih tahan terhadap fluktuasi besar dalam curah hujan dan infeksi.

Namun, petani seperti Kim Si-gap, yang telah bekerja di ladang kubis di wilayah timur Gangneung sepanjang hidupnya, khawatir varietas ini akan lebih mahal untuk ditanam dan tidak akan memiliki rasa yang sama.

"Ketika kami melihat laporan bahwa akan datang waktu di Korea ketika kami tidak bisa lagi menanam kubis, itu mengejutkan di satu sisi dan juga menyedihkan di sisi lain," papar lelaki 71 tahun itu.

"Kimchi adalah sesuatu yang harus ada di meja. Apa yang akan kami lakukan jika ini terjadi?"

rs/ha (Reuters)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada