Waktu menunjukkan pukul 07.30 pagi di India dan seperti hari-hari lainnya, hari kerja Rohan* dimulai. Bekerja untuk perusahaan multinasional Inggris, sepanjang hari ia melakukan panggilan telepon dengan klien dan pemangku kepentingan yang berada di berbagai zona waktu. Ada waktu istirahat sejenak di antara panggilan telepon, tetapi harinya baru berakhir pada pukul 9.30 malam, setelah melewati 14 jam yang melelahkan.
Di kota lain di India, pada pukul 7.30 pagi, hal pertama yang dilakukan Aditi* saat bangun tidur adalah memeriksa email pekerjaannya. Pekerjaannya secara resmi dimulai pada pukul 9 pagi dan akan berlangsung hingga pukul 11 malam. Setiap hari, lima hari dalam seminggu. Aditi bekerja untuk sebuah perusahaan konsultan besar di Amerika Serikat.
Aditi mengatakan bahwa hari kerja yang panjang membuatnya "lelah dan cemas.” Dia akhirnya tidur larut malam untuk mencari waktu pribadi.
"Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang mengelola pernikahan, anak-anak, perawatan lansia bersamaan dengan jam kerja yang panjang,” katanya.
Aditi dan Rohan memiliki satu kesamaan - untuk jam kerja mereka yang panjang di multinational corporations (MNC) atau perusahaan multinasional besar, keduanya tidak mendapatkan bayaran untuk jam kerja ekstra tersebut.
Pengalaman Rohan dan Aditi menjadi rahasia umum, sekaligus menyoroti pola yang lebih luas dari praktik-praktik eksploitasi di tempat kerja di India.
Amit K. telah menghabiskan 17 tahun bekerja di sebuah perusahaan yang berkantor pusat di London, dan saat ini ia mengawasi sebuah tim yang beranggotakan orang-orang yang berbasis di India dan Filipina.
Dia mengatakan, meskipun mengerjakan proyek yang sama, karyawan Filipina menerima upah lembur, "sementara karyawan yang berbasis di India tidak menerima kompensasi tambahan, terlepas dari jumlah jam kerja mereka.”
Perusahaan multinasional 'mengakali' hukum
Di India, banyak karyawan sektor swasta kerah putih mengatakan bahwa mereka secara teratur bekerja 12 hingga 14 jam sehari.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 1948, yang menetapkan aturan lembur di India, jika seseorang bekerja lebih dari 8-9 jam sehari, atau 48 jam seminggu, mereka berhak mendapatkan bayaran dua kali lipat untuk jam kerja ekstra. Tetapi bahasa dalam undang-undang tersebut menetapkan bahwa ini adalah untuk "pekerja pabrik” atau "karyawan"
Karena Rohan dan Aditi bukan "pekerja pabrik” sesuai dengan definisi hukum, maka kompensasi lembur tidak berlaku untuk mereka.
Mahesh Godbole, yang memulai karirnya sebagai seorang profesional di bidang sumber daya manusia (SDM) hampir 40 tahun yang lalu, mengatakan: "Di lingkungan perkantoran, perusahaan-perusahaan mengelabui hukum lembur dengan menunjuk karyawan sebagai ‘pejabat' atau ‘eksekutif', kategori di mana hukum lembur untuk ‘karyawan' tidak berlaku, sehingga menciptakan area abu-abu secara hukum.”
DW menghubungi Meta, Apple, Amazon, Google, Ola Consumer, dan KPMG, di antara perusahaan-perusahaan lain, dan menanyakan tentang kebijakan lembur mereka di India, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang merespons.
Hukum yang tak mengikuti perkembangan zaman
Pergeseran ke pekerjaan jarak jauh atau remote working juga telah mengaburkan batas antara waktu profesional dan waktu pribadi di India, sehingga membuat karyawan MNC lebih sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan.
"Bagi perusahaan, ide keseimbangan kehidupan kerja adalah tipu muslihat pemasaran,” kata Isha* yang telah bekerja untuk sebuah konglomerat multinasional India selama lima tahun dan, dalam kata-katanya, ”telah bekerja tanpa henti.”
"Kita hidup di dunia pasca-pandemi sekarang, di mana jika Anda bekerja dari rumah, manajer Anda mengharapkan Anda untuk selalu siap sedia setiap saat.”
Ini adalah contoh lain dari bagaimana hukum yang mengatur hak-hak pekerja India - yang dibuat 76 tahun yang lalu - gagal untuk mengatasi praktik-praktik ketenagakerjaan modern.
Selama ini, pemerintahan India tidak memiliki kemauan politik untuk mengatasi masalah ini.
Dapatkah undang-undang tersebut digugat?
Mengenai pertanyaan apakah para pekerja MNC dapat mengajukan petisi ke pengadilan untuk mendapatkan upah lembur, Suresh Chandra Srivastava, seorang pengacara dan profesor hukum ketenagakerjaan, mengatakan bahwa belum ada preseden langsung.
Ia menyebutkan sebuah kasus di mana Mahkamah Agung India memutuskan tahun lalu bahwa pegawai pemerintah tidak berhak untuk mengklaim tunjangan lembur ganda di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Pengadilan mengklarifikasi bahwa undang-undang tersebut secara khusus berlaku untuk pekerja di pabrik-pabrik, bukan pegawai pemerintah, yang diawasi oleh peraturan dan regulasi yang berbeda. Hasilnya, tuntutan pegawai pemerintah untuk mendapatkan upah lembur dua kali lipat.
Putusan pengadilan tinggi ini menggambarkan keterbatasan undang-undang ketenagakerjaan saat ini. Berada di wilayah abu-abu hukum yang sama, pekerja MNC akan menghadapi rintangan yang sama dengan pegawai pemerintah.
Namun Sophy KJ, profesor hukum dan direktur Pusat Penelitian dan Advokasi Hukum Perburuhan di National Law University di Delhi, merujuk pada keputusan pengadilan tenaga kerja di kota selatan Chennai pada tahun 2022.
Pengadilan memutuskan bahwa seorang analis TI dapat diklasifikasikan sebagai "pekerja” di bawah Undang-Undang Perselisihan Industrial, menolak klaim MNC perangkat lunak India bahwa karyawan tersebut tidak memenuhi syarat karena peran pengawasannya.
Sophy mengatakan, "jika kita mengikuti jalur yurisprudensi” di mana sifat pekerjaan lebih dipertimbangkan daripada gaji, para insinyur perangkat lunak (kecuali mereka yang berada di posisi penyelia dan manajerial) mungkin bisa mengajukan perselisihan industrial di bawah Undang-Undang Perselisihan Industrial, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan jam kerja dan tunjangan.
Dari liberalisasi ekonomi tahun 1990-an hingga kini
Para ahli melihat kecenderungan ini dimulai pada tahun-tahun setelah liberalisasi ekonomi India pada tahun 1991, ketika sektor swasta yang berkembang pesat menciptakan melonjaknya permintaan tenaga kerja. Namun, pertumbuhan ini terjadi dengan pengawasan pemerintah yang lemah, yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeksploitasi celah-celah dalam undang-undang yang kuno, kata mereka.
Sophy KJ menunjukkan bahwa, secara historis, serikat pekerja melindungi dari eksploitasi tenaga kerja. Namun, pasca liberalisasi, praktek-praktek seperti "kontraktualisasi dan outsourcing menjadi hal yang biasa,” ujarnya.
Pekerja kontrak tidak dapat membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja tanpa ancaman langsung kehilangan pekerjaan, tidak seperti pekerja tetap.
"Pergeseran ini telah menyebabkan melemahnya serikat pekerja sejak tahun 1990-an,” katanya.
"Dalam beberapa kasus, serikat pekerja yang kecil dan independen telah muncul di sektor swasta, tetapi tanpa dukungan dari serikat pekerja yang lebih besar dan mapan, serikat pekerja ini sering kali dibeli oleh pengusaha dan menjadi tidak efektif.”
Hal ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya hak-hak dan hak-hak pekerja, yang pada akhirnya berimbas pada pekerja kerah putih saat ini yang hampir tidak memiliki perwakilan serikat pekerja.
Apa kata industri?
Prasheel Pardhe adalah seorang profesional senior di bidang SDM dengan pengalaman 25 tahun. Pardhe, yang saat ini bekerja di sektor TI, mengatakan bahwa tidak ada upah lembur yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan di India karena perusahaan-perusahaan ini menawarkan "kompensasi yang kompetitif di pasar.”
"Untuk mempertahankan talenta-talenta yang baik dan terampil di industri TI, selalu ada kompensasi yang kompetitif di pasar yang dibayarkan perusahaan-perusahaan di India saat ini,” katanya.
Selain itu, karyawan diberikan kompensasi waktu istirahat untuk jam kerja ekstra dan juga bonus kinerja atas upaya mereka.
Pardhe juga menyinggung topik tentang bagaimana banyak pekerja India yang mengatakan mereka tidak menerima pembayaran lembur ketika bekerja di India, tetapi mereka mendapatkannya setelah pindah ke luar negeri. Ia menyebutkan contoh-contoh dari Jerman, beberapa negara bagian di AS.
"Struktur kompensasi mereka kurang kompetitif dan lebih didorong oleh kepatuhan,” katanya.
Jadi, dalam skenario seperti ini, pemerintah dapat memiliki aturan kepatuhan yang mewajibkan pembayaran lembur, menurut Pardhe.
Pada akhirnya, mereka tak punya pilihan
Pada akhirnya, dengan tidak adanya peraturan yang kuat yang melindungi hak-hak pekerja di India, orang-orang seperti Rohan, Aditi, dan Isha harus terus berjuang untuk mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan mereka.
Seperti yang dikatakan Isha, orang-orang menerima jadwal kerja yang melelahkan tanpa mengeluh dengan harapan pekerjaan mereka diakui atau ada imbalan di masa depan.
"Akhirnya mereka hanya berganti pekerjaan ketika kedua hal tersebut tidak terjadi dan kembali bekerja, dengan harapan hal ini dapat berhasil.” (fr/hp)
*bukan nama sebenarnya