Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Mengkritik PDB sebagai Indikator Kesejahteraan Lewat Seni

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Mengkritik PDB sebagai Indikator Kesejahteraan Lewat Seni
Iklan

Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi indikator pemerintah Indonesia untuk mengukur pertumbuhan ekonomi termasuk capaian pemerintah. Hanya saja, PDB tidak dirancang untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.

Artikel yang diterbitkan Harvard Business Review menyebutkan bahwa PDB hanya mengukur kapasitas produksi dan pertambahan nilai produksi dalam suatu perekonomian.

Baca juga:

Isu ini yang tengah diangkat Greenpeace dan Institut Kesenian Jakarta dalam pameran instalasi seni bertajuk "We are Hidden Gem Generation, Hide by GDP." Kritiknya adalah: Perlu ada alternatif untuk mengukur kesejahteraan manusia selain PDB.

"Sudah saatnya PDB tidak lagi menjadi indikator utama kesejahteraan, tetapi pendekatan pembangunan yang lebih holistik, inklusif, adil dan berkelanjutan yang perlu menjadi panduan ke depan," ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia dalam konferensi pers instalasi seni di Jakarta.

Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran hanya akan mendatangkan kerusakan ekologis dan sosial yang lebih parah daripada saat ini.

Baca juga:

Pendapat Leo didukung oleh penelitian Atlas Risiko Iklim G20 yang diterbitkan oleh Centro Euro-Mediterraneo sui Cambiamenti Climatic (CMCC) tahun 2021. Penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan Indonesia kehilangan 4,4% dari PDB pada tahun 2050.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Sekretaris Program Studi Seni Murni, Institut Kesenian Jakarta, Walid Syarthowi Basmalah, menuturkan ini adalah ajang kolaborasi antara seni dan aktivisme dalam menyampaikan pesan-pesan penting kepada masyarakat.

"Saat ini, tantangan bagi para seniman untuk membuat karya yang tidak lagi mengatasnamakan intuisi dan ekspresi pribadi seniman tetapi harus berangkat dari riset bagaimana karya itu punya andil buat lingkungan atau publik yang ada di sekitar," kata Walid.

Tidak hanya PDB, kekayaan nonmaterial juga penting

Sebelas orang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta ambil bagian dalam pameran instalasi seni ini. Pameran yang digelar pada Jumat (20/09) ini menilik generasi yang potensinya tertutup oleh Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Metafora hidden gem digunakan untuk menggambarkan bahwa potensi dan nilai-nilai manusia tidak dapat diukur hanya dengan materi atau angka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Delapan instalasi seni dipamerkan di Pos Bloc, Jakarta Pusat, menggambarkan kekayaan nonmaterial seperti hubungan sosial, kesehatan mental, kebahagiaan, serta keadilan sosial yang menjadi alternatif dalam mengukur kesejahteraan manusia.

Pengunjung pameran diajak untuk mencari instalasi yang ditempatkan di beberapa titik di Kawasan pameran. Ini merupakan simbol dari potensi dan nilai-nilai manusia yang ‘tersembunyi' akibat pengukuran tunggal PDB.

Athar Muwafaq, mahasiswa program studi seni murni IKJ yang berpartisipasi, membuat instalasi bertajuk Anti Destructive. Karya ini bercerita tentang manusia sebagai makhluk sosial yang saling mendukung. Hubungan sosial dan berkomunitas menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia.

"Saya terinspirasi dari hewan semut yang bergotong-royong dalam membuat sarangnya. Manusia sebagai makhluk sosial kalau kita saling membantu, mau bergotong-royong, kita bisa membuat sesuatu yang baru, sudut pandang baru seperti instalasi ini yang bisa dipindah-pindah menjadi sesuatu yang baru," tutur Athar.

Lain halnya dengan Valerie A. Wijaya dan Syaifurrahman yang membuat instalasi berjudul Harmoni Keadilan. Instalasi berbentuk timbangan ini merupakan gambaran pemerintahan dengan tanggung jawab memformulasikan kebijakan yang berdampak pada kehidupan sehari-hari.

Ekonomi kesejahteraan sebagai alternatif

Tahun 2008, Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy,meminta Joseph Stiglitz (Universitas Columbia, peraih Nobel Ekonomi 2001), Amartya Sen (Universitas Harvard, peraih Nobel Ekonomi 1998) dan Jean-Paul Fittousi (Institut Ilmu Politik Paris) untuk membentuk sebuah komisi yang kemudian disebut Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemampuan Sosial (CMEPSP).

Komisi ini dibentuk sebagai respons atas tidak memadainya ukuran-ukuran kinerja ekonomi yang ada pada saat itu, utamanya, kinerja yang berdasarkan angka-angka PDB. Ada pula kekhawatiran tentang relevansi angka-angka ini sebagai ukuran kesejahteraan sosial, keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial.

Komisi ini memberikan beberapa rekomendasi, antara lain agar kualitas hidup manusia, seperti kesehatan dan kebahagiaan, juga dijadikan tolok ukur untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, komisi ini juga mengangkat isu keberlanjutan dan lingkungan hidup untuk mengukur kesejahteraan, agar kesejahteraan juga dapat dinikmati di masa mendatang.

Editor: Arti Ekawati

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada