Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Tekad Leonika Sari Bikin Aplikasi Donor Darah, Reblood

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Tekad Leonika Sari Bikin Aplikasi Donor Darah, Reblood
Iklan

Berangkat dari kepedulian, berusaha berkontribusi lewat keahlian. Mungkin itu ungkapan yang bisa menggambarkan perjalanan Leonika Sari, pendiri sebuah aplikasi bernama Reblood. Aplikasi ini membantu para calon pendonor untuk mengetahui informasi kegiatan donor darah.

Reblood launching pertama kali pada September 2015. Saat itu, Leonika baru berusia 22 tahun.

Baca juga:

"Jadi sampai hari ini, Indonesia masih kekurangan satu juta kantong darah. Kekurangan darah ini masalah besar di Indonesia. Nah, hal itu yang akhirnya mendorong kami dan teman-teman lainnya untuk membangun sebuah solusi," kata Leonika kepada DW Indonesia.

Perempuan lulusan Sistem Informasi dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) ini kini berusia 31 tahun. Leonika mengakui bahwa Reblood awalnya merupakan sebuah tugas kuliah, yang mulai dengan berbasis web.

Dengan menggunakan fitur daftar dan peta, calon pendonor bisa menemukan jadwal penyelenggaraan donor darah terdekat dan bisa langsung mendaftar. Aplikasi ini pun akan mengingatkan pendonor kapan kegiatan akan dimulai.

Baca juga:

"Di kampus saya waktu itu tidak ada yang mengerti startup. Dosen saya saja tidak ada yang tahu. Jadi, startup masih hal baru banget. Cuma, saya waktu itu berani memulai," katanya.

Saat berkuliah, Leonika belajar mengembangkan aplikasi dengan pengkodean atau coding. Namun, ia tak memungkiri bahwa terkadang kurikulim di bangku kuliah belum tentu bisa mengejar perkembangan teknologi terbaru yang digunakan di dunia. Karena itu, ia merasa butuh mengasah kemampuannya lewat pelatihan di luar kampus.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Ikut Global Entrepreneurship Bootcamp di AS

Pada Agustus 2014, Leonika berkesempatan mengikuti Global Entrepreneurship Bootcamp di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Selama lima hari, Leonika bertemu dan belajar dengan para peserta dari berbagai negara. Di sana, ia bukan hanya diajarkan soal coding, tetapi juga bagaimana mengembangkan kemampuan untuk berjejaring. Dari 50 orang, Leonika adalah satu-satunya peserta dari Indonesia.

"Kalau yang saya lihat memang MIT melihat ide yang saya ingin bikin itu adalah aplikasi donor darah yang mereka rasa ini cukup unik. Dan mereka melihat ini permasalahan yang nyata di Indonesia," ungkap Leonika.

Meski sempat bergonta-ganti partner dan tim dalam mengembangkan aplikasi Reblood, kegigihan dan kontribusi Leonika membawanya masuk dalam 30 Under 30 Asia kategori kesehatan versi majalah Forbes tahun 2016.

Bertemu mentor yang tepat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Setelah MIT, lanjut ikutan program Start Surabaya. Jadi Start Surabaya ini adalah inkubator startup level kota yang diinisiasi salah satunya oleh pemerintah kota Surabaya, di mana Ibu Tri Rismaharini itu langsung menjadi mentor untuk startup-startup yang jadi partisipan di program tersebut," terang Leonika.

Tri Rismaharini yang saat itu menjadi Wali Kota Surabaya menghubungkan Reblood dengan PMI Kota Surabaya, yang akhirnya menjadi partner strategis Reblood sampai saat ini. Pada Juni 2016, Reblood resmi bekerja sama dengan PMI Kota Surabaya.

Mentor lain yang mendukung perjalanan Leonika adalah Nelson Matos, mantan Wakil Presiden Teknik di Google. Ia bertemu dengan Matos melalui program Google for Startup. Menurut Leonika, Matos membimbingnya dalam mengembangkan strategi agar Reblood sebagai perusahaan sosial dapat dikenal secara lebih luas lagi, terutama dengan memanfaatkan fitur-fitur yang tersedia di platform Google.

"Intinya tidak gampang mencari orang yang mau buka suara, cerita dan punya kepercayaan dengan kita. Itu penting sekali, karena kalau cuma ilmu-ilmu, online course ada. Di program akselerator inkubator juga ada, tapi yang pengalaman nyata itu sesuatu yang kita perlu tahu. Kalau kita dapat krisis, harus bagaimana, (karena) ini pasti terjadi," kata Leonika.

Reblood kini telah diunggah oleh sekitar 85 ribu pengguna.

Redblood, berangkat dari 'masalah'

Bagian terberat selama mengembangkan aplikasi ini adalah bagaimana menyempurnakan ide bisnisnya. Fakta bahwa hanya empat persen perusahaanstartup yang mampu bertahan dalam jangka panjang, sementara hanya satu persen yang pada akhirnya berhasil mendapatkan investasi, membuat Leonika sadar perjuangannya tidak akan mudah. Namun, ia tahu harus mulai dari mana.

"Yang pertama adalah bagaimana kita membuat aplikasi yang harus berangkat dari masalah. Kita harus mengobrol dengan calon pengguna kita, calon pelanggan kita, catat yang mereka alami itu apa? Karena banyak sekali orang itu bikin aplikasi, langsung loncat ke solusi, padahal kita harus mulai dari masalah yang mau diselesaikan itu apa?"

Juli 2024, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan Indonesia butuh stok darah sebanyak 5,2 juta kantong, tetapi baru bisa terpenuhi sebanyak 4,2 juta. Itu berarti masih kurang 1 juta kantong per tahun.

Lewat aplikasi Reblood, Leonika berharap bisa membantu banyak orang yang membutuhkan informasi kegiatan donor darah. Ia juga berharap meningkatkan partisipasi pendonor darah di Indonesia.

Editor: Arti Ekawati

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada