Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Orang Cina yang Hidup dalam Pengasingan di Jepang Hadapi Ancaman Beijing

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Orang Cina yang Hidup dalam Pengasingan di Jepang Hadapi Ancaman Beijing
Iklan

Ketika ayahnya meninggal, "D" mengatakan bahwa perasaannya luar biasa lega. Tinggal di pengasingan di Jepang, dia hanya dapat berkomunikasi dengan orang tuanya di Cina menggunakan kamera web selama beberapa tahun karena takut akan ditangkap jika dia kembali menginjakkan kaki di tanah airnya.

D hanya ingin disebut sebagai sebuah huruf dalam alfabet karena dia hidup dalam ketakutan akan pihak berwenang Cina yang terus-menerus menghantui.

Baca juga:

"Saya merasa lega karena dia tidak perlu mengkhawatirkan saya lagi,” kata D kepada DW.

D mengatakan bahwa ayahnya, yang merupakan seorang penulis pembangkang, telah dikucilkan, dihukum "dan menderita sepanjang hidupnya” karena menentang pemerintah Cina.

"Di dunia yang normal, orang tua ingin anaknya pulang,” katanya.

Baca juga:

"Tapi ayah saya tahu bahwa dia tidak bisa melindungi saya. Dia tidak punya pilihan selain mengatakan kepada saya untuk tidak pulang. Saya tidak bisa melihatnya secara langsung. Saya hanya bisa menangis di video.”

Namun pemerintah Cina memiliki cara untuk menekan para pengkritiknya - bahkan mereka yang tinggal di pengasingan.

Agen-agen Beijing meninggalkan pesan tertulis di kotak surat dan melakukan panggilan telepon tanpa suara. Mereka mengirim pesan di media sosial, menyarankan target mereka untuk segera pulang ke rumah dan yang paling berbahaya, mereka mengancam keluarga para pengasingan yang tetap tinggal di Cina.

Taktik ini secara teratur digunakan terhadap warga negara Cina yang telah melarikan diri ke Jepang yang relatif lebih aman. Banyak di antaranya yang terus berkampanye untuk kebebasan dan demokrasi.

Orang-orang buangan Cina 'dilecehkan'

Sebuah laporan yang dirilis awal bulan ini oleh kantor Human Rights Watch (HRW) di Tokyo mengatakan bahwa puluhan orang Cina, termasuk orang-orang dari etnis minoritas di Xinjiang, Tibet, dan Mongolia Dalam, "dilecehkan” secara sistematis oleh Beijing.

Laporan tersebut mengatakan bahwa pelecehan tersebut "bertujuan untuk mencegah anggota diaspora melakukan protes terhadap pemerintah atau terlibat dalam kegiatan yang dianggap sensitif secara politik.”

Meskipun tinggal di Jepang, D menggambarkan dirinya sebagai bagian dari "Generasi Tiananmen” yang terdiri dari anak-anak muda yang menuntut demokrasi pada musim panas 1989, yang menjadi saksi bahwa protes damai mereka justru ditindas secara brutal. Dia tidak berada di Beijing pada saat itu, namun peristiwa tersebut telah membentuk siapa dirinya.

Sekarang di usia 50-an, D adalah seorang penulis, penyair, penerjemah, dan peneliti di Jepang, bekerja di sebuah universitas untuk menerjemahkan karya-karya penulis Cina yang membangkang dan menerbitkan versi bahasa Jepang dari buku-buku mereka.

Pada tahun 2007, ia bertemu dengan penulis Liu Xiaobo di Beijing dan kemudian menerjemahkan beberapa karyanya.

"Pada masa itu, saya hanya memiliki ketertarikan yang jauh terhadap politik, namun saya khawatir dengan penulis Cina yang tidak bisa bersuara,” katanya.

Liu Xiaobo ditangkap pada bulan Desember 2008 karena keterlibatannya dalam manifesto "Piagam 08” tentang hak asasi manusia.

Terjemahan D atas karya-karya Liu ke dalam bahasa Jepang terbit pada tahun berikutnya dan Liu dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2010.

Sebagai tahanan politik paling terkenal di Cina, Liu mendapatkan pembebasan bersyarat medis pada bulan Juni 2017 setelah didiagnosis menderita kanker dan meninggal beberapa minggu kemudian.

Dikejar-kejar karena menulis puisi

Namun, hubungan D dengan Liu memiliki konsekuensi, termasuk terjemahan puisi-puisinya yang mengkritik rezim, wawancara dengan "kelas bawah” Cina, dan buku-buku tentang Tibet serta pembantaian di Mongolia Dalam selama Revolusi Kebudayaan.

"Bagi pemerintah Cina, para penulis ini adalah 'anakronisme'. Oleh karena itu, saya juga telah menjadi 'anakronisme'.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama beberapa tahun terakhir, keluarganya telah "dilecehkan,” kata D. Hal ini termasuk panggilan telepon yang mengancam dan ketukan keras di pintu dari polisi rahasia. Dalam sebuah kunjungan singkat untuk menemui orang tuanya beberapa tahun yang lalu, petugas keamanan mampir untuk "minum teh” dan menanyainya.

"Pada bulan Juni, pihak berwenang mengirim tiga orang ke rumah ibu saya yang berusia 87 tahun untuk meminta saya, melalui ibu saya, 'untuk tidak berteman dengan orang-orang yang tidak pandai dalam pekerjaan mereka dan tidak menulis artikel yang tidak benar,'” katanya.

"Tujuan mereka adalah untuk memaksa saya, dengan mengancam ibu saya, untuk berhenti menulis,” lanjut D.

"Saya tidak secara langsung mengkritik pemerintah Cina; saya adalah seorang penulis, bukan politikus, dan saya hanya memiliki ketertarikan yang kecil terhadap politik,” kata D.

"Tapi teman-teman saya di Cina sudah meninggal, dipenjara, atau dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka. Terlalu banyak,” tambahnya.

Apa yang bisa dilakukan Jepang?

Laporan HRW memperjelas bahwa banyak orang Tionghoa lain yang tinggal di Jepang mengalami tekanan yang sama.

Menurut "AB,” seorang etnis minoritas Mongol yang dikutip dalam laporan tersebut, petugas keamanan publik mengunjungi keluarganya di Mongolia Dalam setelah dia ikut serta dalam demonstrasi di Tokyo, dan kerabatnya sekarang hidup dalam ketakutan.

Keluarga "RS” juga menjadi sasaran setelah ia terlibat dalam protes pada tahun 2009 di Xinjiang. Tekanan tersebut membuat "korban mental pada keluarganya,” kata laporan itu.

"JK” dihubungi melalui WeChat dan ditekan untuk memberikan informasi mengenai warga Tionghoa lainnya yang tinggal di Jepang, termasuk dengan mengambil foto mereka.

Teppei Kasai, seorang petugas program di HRW di Tokyo, mengatakan bahwa pemerintah Jepang harus berbuat lebih banyak untuk melindungi hak-hak pembangkang Cina yang mengasingkan diri di Jepang.

Kementerian Luar Negeri Jepang menolak berkomentar untuk laporan ini dan Badan Kepolisian Nasional Jepang tidak menanggapi permintaan mengenai informasi terkait langkah-langkah yang telah diterapkan untuk melindungi warga negara Cina di Jepang.

"Jepang harus meninjau kembali kebijakannya untuk membangun mekanisme dukungan untuk membantu mereka yang menghadapi pelecehan dari pemerintah Cina,” kata Kasai dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan kepada DW.

"Jepang harus segera membentuk sistem nasional untuk menyelidiki kasus-kasus penindasan transnasional.”

D mengakui bahwa dia hidup dalam kekhawatiran

"Saya katakan saya tidak takut karena saya percaya pada Jepang dan negara demokratis, tetapi Jepang secara geografis dekat dengan Cina dan penetrasi Partai Komunis Cina di luar negeri sangat dalam,” katanya.

"Taktik yang mereka gunakan sangat licik. Saya tidak bisa mengatakan bahwa Jepang adalah tempat yang aman.”

Itulah sebabnya D mengatakan bahwa dia ingin tetap tidak teridentifikasi.

"Saya meminta Anda untuk tidak menggunakan nama asli saya, meskipun itu adalah tanda kepengecutan dan ketakutan,” katanya.

"Ini sangat menyedihkan.”

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada