Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Ubah Stereotip: Perempuan Juga Mumpuni dalam Bidang Teknologi

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Ubah Stereotip: Perempuan Juga Mumpuni dalam Bidang Teknologi
Iklan

"Yang bikin sedih itu stigma di masyarakat yang menganggap kalau perempuan itu tidak cocok untuk punya profesi di bidang teknologi, karena banyak anggapan bahwa laki-laki itu lebih logis dan perempuan itu lebih emosional," ujar Amanda Simandjuntak, seorang programmer yang ikut membangun gerakan Perempuan Inovasi dan Markoding.

Di tengah anggapan bahwa teknologi bukan bidang yang cocok bagi perempuan, Amanda berhasil membuktikan hal yang sebaliknya. Ia tak menampik bahwa stereotip itu membuat banyak perempuan ragu ketika ingin berkarier di dunia teknologi.

Baca juga:

"Dari awal aku lihat sendiri, perempuan itu tingkat kepercayaan dirinya jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Belum apa-apa mereka sudah mikir, 'Aduh, aku bisa enggak ya? Ini kayaknya coding susah banget. Kayaknya mungkin aku enggak bisa deh,'" kata Amanda.

Susah-susah belajar coding, akhirnya jadi istri orang…

Ia mengawali kariernya sebagai programmer di sebuah perusahaan di Australia. Pada tahun 2017, ia tergerak untuk memberikan pelatihan pengkodean (coding) bagi anak-anak kurang mampu, salah satunya di daerah Cilincing, Jakarta Utara.

Lewat Markoding atau Mari Kita Coding, Amanda merangkul ratusan anak untuk mendapatkan pelatihan coding. Namun, saat itu ia kaget saat melihat para peserta perempuan yang jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki.

Baca juga:

Ternyata, stigma yang berkembang di masyarakat turut memengaruhi kepercayaan diri para perempuan termasuk anak-anak perempuan untuk belajar dan terjun ke bidang teknologi.

Saat merintis Markoding, Amanda dan timnya sering melakukan pelatihan di akhir pekan agar tidak bertabrakan dengan hari sekolah. Ia mengaku sedih ketika mendengar ada orang tua yang bertanya kenapa anak perempuannya juga perlu mengikuti pelatihan coding.

"Kenapa harus susah-susah belajar (coding) hari Sabtu-Minggu? 'Kan akhirnya juga dia akan jadi istri orang, jadi ibu rumah tangga mengurus rumah, mengurus anak. Itu sedih banget mendengar anggapan seperti itu dan itu masih banyak terjadi," kenang Amanda.

Pentingnya role model perempuan di dunia STEM

Stigma perempuan tidak cocok berkarier di bidang teknologi bisa terbentuk karena beberapa hal, seperti adanya stereotip gender, yang menganggap laki-laki lebih mampu secara teknis, kurangnya role model dan dukungan, serta akses pendidikan yang terbatas.

Amanda tumbuh dalam keluarga yang secara penuh mendukungnya terjun di dunia STEM (science, technology, engineering, mathematics). Ibunya adalah seorang peneliti di bidang lingkungan.

"Waktu kecil aku ingat di saat teman-teman aku yang lain pada suka main boneka, aku beda sendiri. Aku itu sukanya main yang namanya electronic kit. Selain itu, aku juga mempunyai privilege bahwa ibu aku profesinya environmental scientist. Jadi dari awal, aku melihat women in STEM itu sebagai konsep yang tidak asing," jelas Amanda.

Pelatihan digital gratis untuk perempuan

Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, pada tahun 2019, sebanyak 1,9 juta perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja, dan hanya 56% di antaranya yang kembali ke dunia kerja. Secara umum, ada sekitar 60 juta ibu rumah tangga di Indonesia. Jumlah ini sama dengan 40% dari total populasi perempuan di Indonesia.

"Ternyata di Indonesia ini banyak ibu rumah tangga yang ingin berdaya. Jadi, banyak di antara mereka yang ingin cari pekerjaan yang bisa mereka kerjakan sambil berada di rumah, sambil mengurus anak dan ini bisa dibilang ideal ya, karena pekerjaan di dunia digital itu bisa dikerjakan secara jarak jauh, secara online. Banyak fenomena ibu rumah tangga yang ingin kembali ke dunia kerja karena mungkin mereka anaknya sudah besar," jelas Amanda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Berangkat dari masalah tersebut, pada tahun 2021 terbentuklah Perempuan Inovasi. Perempuan Inovasi merupakan program kolaborasi Markoding dengan Magnifique Indonesia dan Yayasan Dian Sastrowardoyo yang memberikan beasiswa pelatihan keterampilan digital untuk perempuan Indonesia, khususnya yang kurang mampu.

"Pas mereka mau balik (kerja) lagi, skill-nya itu mungkin sudah kurang update dengan teknologi sekarang. Jadi makanya mereka join program kita, itu untuk memperbaharui skill-nya, supaya kesempatan kerja mereka juga bisa lebih tinggi," tambah Amanda.

Perempuan bisa membuat inovasi dan perubahan

"Kenapa kita bikin namanya Perempuan Inovasi? Karena kita pengen perempuan itu bukan sekadar belajar coding. Itu sebenarnya adalah kendaraannya, tapi yang kita ingin adalah dia bisa menjadi perempuan yang inovatif. Perempuan yang bisa membuat perubahan, bisa membuat karya, dan bisa membuat dampak untuk sesamanya," ujar Amanda.

Selain belajar tentang teknologi, para peserta Perempuan Inovasi pun belajar kesetaraan gender.

"Yang pertama kali terjadi harusnya adalah perubahan mindset dulu. Itu yang kita lakukan, bikin sharing session, kita kasih edukasi tentang kesetaraan gender. Jadi, kita mau menumbuhkan kepercayaan diri mereka dulu. Kalau mereka itu juga bisa (berkarya). Mereka tidak kalah dengan laki-laki untuk belajar. Mereka itu setara," tambah Amanda.

Para peserta belajar bagaimana membuat resume, dan menghadapi interview. Selain itu, mereka pun mempelajari keterampilan dan teknologi-teknologi terbaru, yang saat ini sedang dipakai oleh industri, seperti web development, app development, UI/UX web design, serta berbagai elemen kecerdasan buatan (AI). Saat ini ada sekitar 10 ribu peserta yang bergabung dalam Perempuan Inovasi.

Hingga kini Indonesia menduduki posisi terendah di Asia Tenggara, dengan hanya 22% perempuan yang bekerja di sektor teknologi. Posisi pertama adalah Thailand, menyusul Singapura, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Namun, Amanda percaya bahwa stigma tentang perempuan tak mumpuni di bidang teknologi, akan bisa berubah.

"Saya optimistis dengan keadaan Indonesia sekarang, karena di awal pada saat saya memulai Markoding, itu juga hampir semua teman-teman saya dan orang-orang di sekitar saya meragukan. Tapi, kita lihat sekarang, 7 tahun kemudian bisa, bahkan (anak-anak yang kami bimbing) sudah dapat kerja, sudah bisa berkarya membuat inovasi-inovasi. Jadi menurut saya tidak ada yang tidak mungkin," tutup Amanda.

Editor: Arti Ekawati

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada