Taiwan baru saja dilanda topan Kong-rey yang dahsyat. Kong-rey menghantam pantai timur Taiwan Kamis sore dan merupakan badai terbesar yang melanda pulau tersebut dalam hampir 30 tahun. Gangguan penerbangan masih berlanjut pada hari Jumat (1/11), dengan 58 penerbangan internasional dan 139 penerbangan domestik dibatalkan. Menurut laporan terbaru Asian Development Bank (ADB) yang dirilis hari Kamis (31/10), Asia akan makin sering dilanda badai dahsyat dan cuaca ekstrem.
Laporan itu mengatakan, negara-negara di Asia akan mengalami kerusakan yang lebih parah akibat krisis iklim dibandingkan kawasan lain. Asia juga sangat jauh tertinggal dalam pengeluaran untuk perbaikan guna membatasi kerusakan. Kebutuhan pembiayaan di negara-negara berkembang Asia untuk mengatasi perubahan iklim berkisar antara USD102 miliar hingga USD431 miliar per tahun. Jumlah tersebut jauh melebihi besaran anggaran USD34 miliar yang dikomitmenkan untuk tujuan tersebut pada tahun 2021-2022.
Sebagian besar negara di Asia memang telah meratifikasi perjanjian tentang perubahan iklim dan mengajukan rencana nasional untuk memangkas emisi karbon mereka, tetapi sebagian besar juga masih belum memiliki peta jalan yang jelas untuk mencapai emisi karbon "nol bersih", kata laporan ADB yang bermarkas di Manila.
Pemerintahan negara-negara di Asia saat tahun 2022 menyediakan USD600 miliar untuk mendukung dan mensubsidi bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara, kata ADB. Subsidi besar ini membuat bahan bakar fosil lebih murah, sehingga menghambat peralihan ke energi yang lebih bersih.
Akan ada lebih banyak badai dan cuaca ekstrem
Laporan ADB mencatat bahwa laju kenaikan permukaan laut di Asia sekitar dua kali lipat dari rata-rata global. Sekitar 300 juta orang di kawasan tersebut juga akan menghadapi risiko banjir pesisir, jika es di kutub meleleh. Gelombang badai yang semakin parah juga berarti bahwa Cina, India, Bangladesh, dan Vietnam akan menjadi yang paling terdampak, dengan kerusakan mencapai rata-rata USD3 triliun per tahun.
Pada saat yang sama, suhu yang lebih tinggi merusak produktivitas dan kesehatan pekerja, kata laporan ADB, yang memperkirakan bahwa ekonomi regional mungkin mengalami penurunan produk domestik bruto sebesar 17% pada tahun 2070 dalam skenario terburuk emisi karbon tinggi. Skenario seperti itu juga akan mengakibatkan lebih banyaknya siklon dan badai tropis yang merusak, karena cuaca menjadi lebih tidak stabil dan ekstrem.
Pemanasan akan terus berlanjut selama beberapa dekade, meskipun implikasi penuh dari "titik kritis" iklim, seperti pemanasan laut yang mencairkan lapisan es kutub, belum sepenuhnya dipahami, kata ADB. Sementara itu, lingkungan yang biasanya akan "menangkap" emisi karbon, seperti lautan dan hutan tropis, telah berubah sangat dramatis, sehingga malahan menjadi sumber emisi karbon, melalui kebakaran hutan dan kejadian lainnya.
Adaptasi terhadap perubahan iklim bisa cegah ratusan ribu kematian
Manfaat dari pembatasan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, jauh lebih besar daripada biayanya, kata laporan itu. ADB memperkirakan bahwa "dekarbonisasi agresif" dapat menciptakan 1,5 juta lapangan pekerjaan di sektor energi pada tahun 2050, sekaligus mencegah hingga 346.000 kematian per tahun akibat polusi udara pada tahun 2030.
Menurut beberapa perkiraan, kemiskinan dapat meningkat sebesar 64%–117% pada tahun 2030 dalam skenario iklim beremisi tinggi, dibandingkan dengan tidak ada perubahan iklim, dan seluruh ekonomi regional dapat jatuh sekitar 17%. Penurunan terburuk diperkirakan akan terjadi di Bangladesh, Vietnam, Indonesia, dan India.
Laporan ADB lebih jauh menyebutkan, kerugian terbesar akan terjadi melalui penurunan produktivitas dan penurunan di sektor perikanan dan pertanian. Namun pemerintah dapat bertindak untuk mengurangi kerusakan terburuk, kata laporan itu, dengan menunjuk contoh tempat perlindungan banjir di Bangladesh, yang berhasil mengurangi kematian akibat badai dahsyat dari ratusan ribu orang di masa lalu menjadi kurang dari 100 orang dalam beberapa tahun terakhir.
"Dampak perubahan iklim tidak dapat dihindari, jadi respons kebijakan yang lebih kuat diperlukan untuk meminimalkan kerugian dan kerusakan," kata ADB.
hp/as (AP, AFP, Reuters)