Di tengah perayaan HUT Kemerdekaan Ke-76 Republik Indonesia, penulis Akmal Nasery Basral, 53, berharap agar bangsa ini lebih menghargai para pahlawan, termasuk Mr. Assaat dan Sjafruddin Prawiranegara, yang keduanya sempat menjadi presiden sementara pada saat Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan.
Ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta diasingkan di Pulau Bangka pada 1948, Sjafruddin Prawiranegara menggantikan peran mereka dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan negeri ini. Namun dalam perjalanannya, Prawiranegara justru pernah dicap sebagai pemberontak pada masa Orde Lama, dan hak-hak perdatanya dicabut saat Orde Baru.
Perjuangan Prawiranegara ditulis oleh Akmal di dalam novel sejarah yang berjudul Presiden Prawiranegara. Akrab disapa Uda Akmal, mantan wartawan Majalah Tempo ini termasuk salah satu penulis yang berjuang memulihkan nama baik Prawiranegara hingga negara akhirnya mengakui gubernur pertama Bank Indonesia ini sebagai pahlawan nasional pada tahun 2012.
Dalam wawancara dengan DW Indonesia, Uda Akmal bercerita banyak hal, mulai dari motivasinya menulis novel sejarah, kekagumannya pada sosok Sjafruddin Prawiranegara, hingga keinginannya untuk menulis novel sejarah tentang tokoh perempuan Indonesia untuk pertama kalinya.
DW Indonesia: Mengapa Uda Akmal begitu suka menulis novel tentang tokoh-tokoh sosial dan politik?
Akmal Nasery Basral: Ketika dulu kuliah di FISIP Universitas Indonesia, saya terbiasa membaca referensi-referensi sosial dan politik Indonesia. Jurusan saya sosiologi, tetapi saya juga belajar ilmu politik. Ketika menjadi jurnalis dan bekerja di dua majalah berita, yakni Tempo dan Gatra, saya menulis banyak hal, mulai dari isu sosial, isu politik, hingga hal-hal remeh-temeh, tetapi politik tetap menjadi fokus terbesarnya. Karena lingkungan pendidikan dan kerja saya seperti itu, novel-novel saya juga bercirikan itu.
Menurut Uda Akmal, apa saja kriteria tokoh yang ceritanya menarik untuk dijadikan novel sejarah?
Kriterianya ialah rekam jejaknya. Tokoh tersebut sudah mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk memikirkan bangsa dan membangun negerinya. Entah dia seorang arsitek seperti Soekarno, ekonom seperti Moh. Hatta, dokter seperti Tjipto Mangoenkoesoemo atau profesi-profesi lainnya.
Memikirkan bangsanya ini tidak hanya berarti mengembangkan perekonomian semata, tetapi juga menegakkan keadilan dan memberantas kesewenang-wenangan, korupsi, dan penyakit-penyakit sosial lain.
Ketika seorang tokoh memenuhi kriteria tersebut, kisah hidupnya layak ditulis karena bisa memotivasi dan menginspirasi pembaca, terutama pembaca-pembaca muda yang tidak kenal langsung dengan sosok tersebut.
Apakah mungkin penulis bisa menghindari bias personal ketika menulis novel sejarah?
Bias personal tidak bisa dihindari 100 persen. Semua penulis pasti akan memasukkan opini personalnya, banyak atau sedikit.
Buat penulis, godaannya ialah: sejauh mana ia bisa mengontrol agar pandangan subjektifnya tidak mendominasi ceritanya. Saya pribadi berusaha mengontrol agar pandangan subjektif saya sesedikit mungkin ada di dalam karya-karya saya.
Seberapa jauh unsur fiksi bisa dimasukkan ke dalam novel sejarah?
Novel sejarah terdiri dari dua kata, yakni historical dan novel. Kata historical mensyaratkan bahwa nama tokoh, kejadian, dan tempat dan tanggal peristiwa harus ditulis dengan benar. Jadi, aspek sejarah dalam novel sejarah itu tetap harus akurat. Akan tetapi, kata novel memberi ruang kepada penulis untuk memberi dramatisasi sepanjang tidak menyimpang dari peristiwa sejarahnya. Jika tidak ada dramatisasi, itu karya dokumenter.
Apakah Uda Akmal mengonsultasikan unsur-unsur fiksi ke anggota keluarga dari tokoh yang kisah hidupnya akan ditulis untuk mendapatkan persetujuan mereka?
Pada saat akan menulis novel Presiden Prawiranegara, misalnya, saya bertemu terlebih dahulu dengan anak-anak Prawiranegara dan mereka memberi izin. Mereka tidak campur tangan dan tidak bilang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, karena mereka sudah tahu niat saya bahwa saya ingin menceritakan ulang kisah ayah mereka yang dizalimi oleh Orde Lama dan Orde Baru.
Pernah diprotes oleh anggota keluarga dari tokoh yang ceritanya jadikan novel?
Karena saya sudah kulo nuwun ke anggota keluarganya, Alhamdulillah tidak ada satu pun protes, baik dari anak maupun cucu mereka. Saya sebelumnya mewawancara mereka, melakukan riset, dan terus menjalin komunikasi yang baik dengan mereka.
Dari sekian banyak tokoh di Indonesia, apa yang membuat Uda Akmal mengagumi Prawiranegara dan menuliskan ceritanya dalam novel?
Semasa hidupnya, Sjafruddin Prawiranegara pernah menjadi menteri kemakmuran, menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, hingga wakil perdana menteri. Akan tetapi, ia diperlakukan secara tidak adil dan zalim oleh Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama, ia dianggap pemberontak karena keterlibatannya dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dan pada masa Orde Baru, hak sipilnya dimatikan karena menandatangani Petisi 50.
Selain itu, negara juga melupakan perannya pada waktu PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Pada saat ibu kota di Yogyakarta dibom oleh tentara sekutu dan tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir, ditangkap dan kemudian diasingkan ke Bangka, pemerintahan seketika lumpuh. Pada saat itu, negara ini bisa dikatakan tidak lagi eksis karena syarat sebuah negara ialah ada wilayah, penduduk, dan pemerintahan.
Sebelum ditangkap, Soekarno dan Hatta mengirimkan radiogram bahwa pemerintahan dilanjutkan oleh Prawiranegara yang pada saat itu berusia 37 tahun.
Lalu, Prawiranegara memproklamasikan PDRI di Sumatra Barat. Ia berpindah-pindah tempat, dan dari dalam hutan, bersama anggota TNI AU yang memegang radio, ia mengabarkan ke dunia internasional bahwa Indonesia masih ada.
Bagaimana mungkin, dengan jasa seperti itu, orang seperti Prawiranegara dianggap sebagai pengkhianat oleh Orde Lama dan hak perdatanya diberangus oleh Orde Baru? Di mana logikanya? Novel ini merupakan sebuah ikhtiar untuk mengembalikan martabat Sjafruddin Prawiranegara agar negara memperlakukannya secara patut dan proporsional.
Mengapa Uda Akmal menyebut Prawiranegara sebagai presiden?
Secara de jure, apakah Sjafruddin Prawiranegara layak disebut presiden merupakan bahasan pakar tata negara. Saya bukan ahli tata negara sehingga tidak berhak berpendapat. Akan tetapi, secara de facto, pada tahun 1948 dan 1949, bagi saya, Pak Sjafruddin itu memang presiden. Karena pada saat itu, seluruh menteri yang tidak ditangkap Belanda, termasuk Panglima Jendral Besar Sudirman, melapor ke beliau.
Kembali ke soal menulis novel, apa tantangan yang Uda Akmal hadapi dalam menulis novel sejarah?
Tantangannya ialah memastikan fakta sejarah tetap akurat. Dalam fakta sejarah, ada tiga elemen yang harus benar, yakni tokoh utama, tempat dan waktu kejadian, dan plot cerita. Pada saat akan menulis novel Presiden Prawiranegara, misalnya, saya mewawancarai beberapa anak dari Prawiranegara untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah. Misalnya, pada saat ayah mereka bertugas di Bukittinggi dan tidak pernah pulang selama 207 hari, ibu mereka berjualan sukun goreng untuk bertahan hidup. Kisah ini tidak ada di dalam buku sejarah mana pun, tapi ada di dalam novel saya.
Dari semua karya Uda Akmal, novel apa yang paling sulit ditulis?
Yang paling sulit itu novel yang saya tulis tahun 2020. Judulnya Disorder. Novel fiksi ilmiah ini bercerita tentang pandemi, tetapi mengandung unsur sejarah karena saya mengaitkannya dengan Deklarasi Balfour pada tahun 1917.
Karena saya bukan dokter, saya jungkir balik ketika melakukan riset. Saya lulusan FISIP, tapi harus menulis cerita tentang virus, dunia biologi molekuler, dan virologi. Saya ditantang oleh Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, untuk menyelesaikan novel ini dalam waktu empat bulan. Setelah selesai, saya bed rest. Karena kelamaan duduk, saya mengalami peradangan sendi yang serius di lutut. Saya menulis setiap hari dari jam 9 pagi sampai 12 malam selama tiga bulan nonstop.
Siapa tokoh yang Uda Akmal ingin ceritakan di masa mendatang?
Selama ini saya menulis novel sejarah tentang bapak-bapak bangsa. Saya belum pernah menulis novel tentang ibu-ibu bangsa. Jika punya stamina dan kesempatan lagi, saya ingin menulis novel sejarah tentang tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang inspiratif. Tetapi saya belum bisa sebut namanya sekarang.
Pada awal Agustus ini, saya membuat sebuah buku yang judulnya Taman Iman Taman Peradaban. Ini bukan novel, tetapi kumpulan puisi esai tantang 10 tokoh agama di Indonesia, termasuk dua tokoh perempuan, yakni Gedong Bagus Oka, pandita yang mengembangkan ajaran Mahatma Gandhi di Indonesia, dan Syekhah Rahmah El Yunusiyah, pendiri Sekolah Diniyah di Padang Panjang pada masa sebelum kemerdekaan. Syekhah Rahmah sangat luar biasa karena model sekolahnya itu telah diadopsi oleh Universitas Al-Azhar Mesir, dan tidak banyak orang di luar Tanah Minang yang tahu hal ini.
Ada banyak tokoh perempuan yang kontribusinya untuk negeri ini tidak main-main. Ini bagian dari upaya kita dalam mengedukasi publik, terutama generasi muda, bahwa kesempatan berbakti kepada negara bukan hanya dominasi laki-laki. Perempuan juga sama pentingnya, dan mungkin akan lebih penting di masa depan. (ae)
Wawancara untuk DW Indonesia oleh A. Kurniawan Ulung dan telah diedit sesuai konteks.