Di pameran Revolusi! Kemerdekaan Indonesia di Rijksmuseum Amsterdam, terdapat lebih dari 20 kisah pribadi yang menceritakan sejarah Indonesia merdeka; mulai dari kisah bagaimana perjuangannya, bagaimana negosiasi berlangsung, bagaimana propaganda dilakukan hingga bagaimana revolusi menentukan kehidupan rakyat.
Serdadu, seniman, politisi, diplomat, dan jurnalis- setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda atas revolusi kemerdekaan Indonesia. Pameran Revolusi! adalah pameran tentang objek, seni, dan kisah-kisah atas perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam kurun waktu 1945-1949, dilihat dari kaca mata orang-orang yang menjalaninya.
Salah seorang kurator pameran itu, Bonnie Triyana menuturkan kini generasi ketiga di Belanda mulai mempertanyakan apa yang terjadi di Indonesia pada masa-masa itu dan mungkin sebelumnya, yang menimpa pada kakek nenek mereka, "Karena kebanyakan generasi keduanya itu, mereka tutup mulut ya karena mungkin trauma, mungkin juga trauma yang diturunkan oleh orang tuanya. Sehingga, generasi ketiga itu banyak bertanya-tanya atas apa yang terjadi di masa itu," kata Bonnie.
Pameran ini sendiri menurut Bonnie sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya, yakni sekitar tahun 2017. "Memang narasi besarnya yang sering kita dengar adalah versi Indonesia dengan versi Belanda. Kira-kira itulah mainstream perspektif yang ada. Tapi ternyata di antara dua itu, ada begitu banyak perspektif, ada begitu banyak cerita yang ada. Misalkan bagaimana perspektif orang-orang Indonesia melewati masa-masa ini, bagaimana orang Belanda, bagaimana seniman, bagaimana perempuan, bagaimana para pejuang di pihak Republik Indonesia, bagaimana serdadu dan istri dari serdadunya, kira-kira seperti itu," tutur Bonnie. Multiperspektif inlah yang ditampilkan di dalam pameran Revolusi! dengan menampilkan objek-objek dan juga karya seni yang sezaman atau memang diciptakan dan berasal dari periode tersebut.
Seniman dalam revolusi
Revolusi adalah periode eksperimentasi dan kreativitas bagi kaum nasionalis Indonesia. Seniman, bersama dengan politisi, membentuk garda depan revolusioner modern, lewat Lukisan, poster, grafiti, dan pamflet. Seni berfungsi sebagai instrumen politik untuk menyebarkan kemerdekaan Indonesia di dalam dan luar negeri. Seniman Indonesia yang terlibat secara politik menggambarkan tema-tema seperti persahabatan, kepemimpinan, pertempuran bersenjata, semangat pemuda, dan militansi. Upaya bersama rakyat Indonesia ini membentuk citra yang menentukan dari revolusi. Dalam pameran tersebut dipamerkan karya Trubus Soedarsono, S. Sudjojono, Otto Djaya, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Kusuma Affandi en Henk Ngantung.
Ratusan objek dipamerkan
Lebih dari 200 objek yang dipamerkan. Objek-objek itu merupakan barang pinjaman dari Australia, Belgia, Inggris, Indonesia, dan Belanda – yang menjadi saksi masa lalu yang penuh gejolak ini.
Pameran tersebut juga meliputi foto-foto dan dokumen-dokumen seperti poster dan pamflet yang disita oleh badan intelijen militer Belanda pada periode tersebut.
Barang yang dipamerkan adalah antara lain pinjaman dari Museum Affandi Yogyakarta, Galeri Nasional Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, Museum Seni Rupa Jakarta, Museum Komunikasi dan Informatika Jakarta, Museum Universtas Pelita Harapan Tangerang, Imperial War Museum London, Perpustakaan Nasional Australia, Tropenmuseum Amsterdam, Universitas Perpustakaan Leiden, Museum Bronbeek Arnhem, Arsip Nasional Belanda, Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam, Museum Nasional voor Wereldculturen, Nationaal Militair Museum, serta koleksi pribadi dan keluarga.
Apa saja yang unik?
Sebelum pameran kurator Bonnie Triyana sempat "membocorkan" contoh objek yang yang dipamerkan. Salah satunya adalah baju bayi yang dibuat dari sampul buku berbahan tekstil. "Zaman dulu saat zaman Jepang itu kan ada Kamp Interniran ya. Nah, Kamp Interniran ini adalah tempat penderita lepra, yang kemudian di masa Orde Baru digunakan juga sebagai penjara perempuan Plantungan' untuk perempuan-perempuan Gerwani. Si anak ini yang kemudian sekarang sudah tua menjadi ibu-ibu, waktu bayi sama orang tuanya dibuatkan pakaian, karena waktu itu ada kelangkaan kekurangan tekstil, dibuatkan baju dari sampul buku dan masih bisa dibaca judul bukunya, "Tarzan en Leeuwen Man atau Tarzan dan Manusia Singa," ungkap Bonnie.
Objek lainnya adalah celana yang juga dibuat dari sampul buku yang berbahan tekstil. Celana itu ungkap Bonnie, masih ada judul bukunya, "Alleen voor Zondaars”, atau "Hanya untuk Pendosa", "Nah itu yang mau kita pamerkan juga. Jadi baju yang dibuat ketika dia berada di kamp tahanan," ujar Bonnie.
Lalu ada pula sebuah kamera dari Sumatera Utara, tepatnya Tanah Karo, yang dimiliki oleh pejuang kemerdekaan Indonesia. Kamera ini didapat oleh dia pada waktu itu, dari seorang serdadu Belanda yang tertembak mati dalam sebuah pertempuran, "Kamera itu masih digunakan oleh pejuang Indonesia tersebut sampai beberapa tahun ke depan dan memproduksi foto. Jadi, kamera ini juga yang dipamerkan," tutur Bonnie.
Tidak ketinggalan dalam pameran ini terdapat lukisan lukisan Hendra Gunawan, bertajuk "Bride of Revolution” atau Pengantin Revolusi. Bonnie menjelaskan objek-objek ini memperlihatkan bagaimana lapisan di dalam revolusi itu sendiri dari kaca mata orang biasa yang melewati kehidupan di kamp tahanan, yang kemudian harus pergi ke Belanda gara-gara peralihan kekuasaan, "Lalu kemudian juga ada benda yang didapatkan dari satu pertempuran antara Indonesia dengan Indonesia, yakni kamera tadi. Dan juga ada rekaman para seniman Indonesia di dalam melihat revolusi itu sendiri, sebagaimana lukisannya Hendra Gunawan," tandas Bonnie.
Kerjasama kurator antarnegara
Di pameran ini, tim kurator Indonesia dan Belanda menyatukan cerita,benda bersejarah, karya seni, poster propaganda, film dan foto yang menjadi saksi masa lalu yang bergejolak. Selain sejarawan dan Pemimpin Redaksi Historia.ID, Bonnie Triyana, kurator lain yang bekerja di pameran ini adalah kurator sejarah Rijksmuseum, Harm Stevens, kurator dan peneliti, Amir Sidharta, yang merupakan Direktur Museum Lippo/Museum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, dan salah satu pendiri Balai Lelang Sidharta yang bermarkas di Jakarta, kurator junior sejarah Rijksmuseum, Marion Anker, dan masih banyak lagi.
Pameran, buku dan program yang diselenggarakan berkaitan dengan pameran ini merupakan hasil kerja sama yang luas dengan berbagai pakar, termasuk sejarawan, ahli warisan, pengusaha, budayawan, seniman, penulis, praktisi teater dan seniman, serta institusi.
Sebuah kelas sekolah menengah akan diundang untuk membuat pameran mereka sendiri yang terinspirasi oleh pameran Revolusi! Program ini akan diselenggarakan dalam kemitraan dengan Pusat Kenangan Indonesia (Indisch Herinneringscentrum).
Persiapan pameran ini diwarnai dengan kekisruhan kontroversi kata “Bersiap” yang dipicu oleh sebuah tulisan di Belanda dengan judul “Hapus Istilah Bersiap, karena Rasis“ yang ditulis oleh Bonnie Triyana sendiri, sang kurator. Dikutip dari Historia, kata bersiap menurut Bonnie hanya dikait-kaitkan dengan kekerasan ekstrem yang dilakukan pemuda revolusioner Indonesia dan bernuansa rasisme.