Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo DW

Uni Eropa-Thailand Ingin Segera Sepakati Perjanjian Perdagangan Bebas

Reporter

Editor

dw

image-gnews
Uni Eropa-Thailand Ingin Segera Sepakati Perjanjian Perdagangan Bebas
Iklan

Pekan ini, Uni Eropa (UE) akan melangsungkan negosiasi putaran kedua mengenai free trade agreement (FTA) dengan Thailand. Pemerintah di Bangkok juga berambisi menuntaskan perundingan pada awal tahun 2025. Diharapkan, pakta FTA akan mampu merangsang pertumbuhan pesat perekonomian Thailand yang melesu sejak beberapa tahun terakhir.

Sebaliknya buat UE, perjanjian perdagangan bebas dengan Thailand akan memperkuat posisinya di Asia Tenggara. Saat ini, UE sudah menjalin kesepakatan FTA dengan Vietnam dan Singapura. Negosiasi tahap akhir juga sedang berlangsung dengan Indonesia dan Filipina.

Baca juga:

Namun serupa dengan di Indonesia, fase terakhir perundingan FTA antara UE dan Thailand dipenuhi banyak hambatan. Batu sandungan terbesar muncul karena kedua pihak ingin melindungi industri perikanan domestik. Thailand mengatakan, UE menuntut perjanjian yang lebih komprehensif dan berkaliber lebih tinggi dibandingkan dengan semua perjanjian perdagangan bebas yang dirangkai Thailand dengan negara lain.

Rampung di tahun 2025?

Putaran pertama perundingan berlangsung bulan September lalu di Brussel. UE adalah mitra dagang terbesar keempat Thailand, setelah Cina, Amerika Serikat, dan Jepang. Volume perdagangan bilateral antara kedua pihak berkisar USD34,8 miliar atau sekitar Rp540 triliun dalam 10 bulan pertama tahun 2023.

Desember lalu, Menteri Perdagangan Thailand Phumtham Wechayachai mengatakan bahwa pihaknya berharap pembicaraan akan selesai pada tahun 2025.

Baca juga:

"Saya kira kemungkinannya cukup baik bagi UE dan Thailand untuk menuntaskan perundingan pada 2025, dengan asumsi bahwa Partai Pheu Thai tetap berkuasa dan Thailand mampu menjaga stabilitas politik," kata Syetarn Hansakul, analis senior di lembaga penelitian, Economist Intelligence Unit.

Pheu Thai adalah fraksi terbesar dalam koalisi 11 partai yang dibentuk secara kontroversial pada Agustus lalu setelah pemilihan umum. "Mereka sangat ingin perjanjian perdagangan bebas UE-Thailand ditandatangani dan berharap ini akan menjadi kemenangan besar bagi pemerintah koalisi,” tambah Hansakul.

Thailand bidik pertumbuhan ekonomi

Tahun ini, pemerintahan baru di Bangkok juga berambisi menyelesaikan pembicaraan perdagangan bebas dengan Sri Lanka, Uni Emirat Arab, dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa, sebuah blok perdagangan yang mencakup Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss.

Perekonomian Thailand urung pulih sejak pandemi COVID-19 dan hanya tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2023.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Thailand juga memiliki salah satu tarif bea masuk tertinggi dari UE, yaitu sebesar 11,5%, dibandingkan dengan 5,6% di Malaysia dan 8,1% untuk Indonesia, menurut Economist Intelligence Unit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diperkirakan, perjanjian perdagangan bebas dengan UE akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan Thailand sebesar 1,2%, sementara ekspor dan impor tahunan akan tumbuh sebesar 2,8%, menurut Institute of Future Studies for Development, sebuah lembaga penelitian ekonomi nirlaba Thailand.

Chotima Iemsawasdikul, Direktur Departemen Negosiasi Perdagangan Thailand, mengakui ada "tantangan" karena perjanjian dengan UE yang bersifat "komprehensif dan berstandar tinggi di semua bidang” khususnya dalam perlindungan hak atas kekayaan intelektual, daya saing perusahaan milik negara dan akses pasar untuk pengadaan pemerintah.

Klausul tersebut selama ini "belum pernah menjadi komitmen” Thailand dalam perjanjian perdagangan bebas sebelumnya, katanya kepada DW.

Hambatan di sektor perikanan

Juni lalu, beberapa bulan setelah dimulainya kembali perundingan, Parlemen Eropa merilis resolusi yang mewanti-wanti betapa "perjanjian perdagangan bebas dengan Thailand dapat menimbulkan ancaman serius terhadap industri ikan kaleng dan makanan laut UE,” yang merupakan sumber utama kemakmuran dan lapangan kerja di wilayah pesisir.

Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh pemerintah di Bangkok. Sebulan setelah menjabat, Perdana Menteri Srettha Thavisin mengatakan bahwa pemerintah akan meninjau ulang Undang-Undang Perikanan. Regulasi ketat yang dirancang untuk membasmi perikanan ilegal itu dikeluhkan asosiasi industri perikanan karena dianggap melumpuhkan. Industri perikanan Thailand menyumbang sekitar USD3,6 miliar kepada ekonomi tahun 2022.

Padahal tahun 2019 lalu, Komisi Eropa mengeluarkan Thailand dari daftar "negara yang diberi peringatan" sebagai pengakuan atas kemajuan pemerintah dalam memberantas penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur. "Meskipun ada tantangan, pemerintah Thailand menganggap pembentukan perjanjian perdagangan bebas Thailand-UE sebagai prioritas utama,” kata Chotima Iemsawasdikul.

"Thailand sangat ingin terlibat dalam diskusi produktif dengan UE pada pertemuan mendatang, yang bertujuan untuk mencari solusi inovatif dan saling menguntungkan. Tujuan awal Thailand adalah mencapai kesepakatan pada tahun 2025,” tambahnya.

(rzn/hp)

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada